Berbagai Pandangan dan Aliran tentang Baik dan Buruk
fikriamiruddin.com - Apabila berbagai definisi mengenai baik dan buruk dicermati secara serius, maka memberi kesan bahwa pemahaman kata baik dan buruk tersebut sangat subjektif, sebab diukur dengan, misalnya perasaan individu, tujuan individu, dan penilaian individu. Demikian juga, menurut analisis etika, sebab yang menjadi parameternya adalah tujuan yang dicita-citakan individu. Padahal, antar-individu di dunia ini (berdasarkan ragam budaya, suku, orientasi, dan juga agama) jelas tidak dapat disamakan dan disatukan.
Oleh karenanya, konsep baik dan buruk pun menjadi relatif. Misalnya, baik menurut orang Islam, dalam kasus menyembelih binatang qurban sapi, merupakan jelas-jelas dinilai buruk dan jahat oleh orang Hindu. Demikian juga, orang Hindu yang membakar mayat/jenazah dalam rangka pencapaian kebaikan si mayyit untuk bersatu dengan Dewa Api Suci mereka adalah sangat buruk dan bahkan sebuah kejahatan menurut orang Islam, dan lain-lain.
Oleh karenanya, sangat penting kiranya dilacak mengenai paramater yang digunakan untuk menilai baik dan buruk tersebut. Asmaran As, dalam buku Pengantar Studi Akhlak, menyebutkan terdapat 4 (empat) perspektif yang menjadi parameter tentang baik dan buruk, yakni perspektif sosialisme, hedonisme, intuitionisme dan evolusi. Sedangkan Poedjawijatna menyebutkan, bahwa menurut etika (filsafat moral) terdapat 6 (enam) parameter untuk dapat ditentukan baik dan buruknya perbuatan.
Yakni pandangan hedonisme, utilitarianisme, vitalisme, sosialisme, religiosisme, dan humanisme. Dari beberapa parameter yang ditawarkan para ahli tersebut, kiranya masih dimungkinkan terdapat beberapa perspektif tertentu -yang tentunya bersifat filosofis atau pandangan paradigmatik tertentu- yang dapat dijadikan sebagai parameter mengenai baik dan buruk. Adapun uraian detail dari beberapa parameter atau landasan mengenai konsep baik dan buruk tersebut adalah sebagai berikut.
1. Perspektif Hedonisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, bahwa kata hedonisme berasal dari bahasa Yunani yang diderivasinya adalah “hedon” (pleasure: kenikmatan/kelezatan) dan “isme” yang berarti pandangan atau aliran berpikir. Hedonisme berarti cara berpikir yang menjadikan kesenangan dan kelezatan sebagai pusat tindakan dan sebagai motifnya. Dengan demikian, hedonisme dapat didefinisikan sebagai sebuah doktrin etika yang berpegangan bahwa tingkah laku itu digerakkan oleh keinginan atau hasrat terhadap kesenangan dan menghindar dari segala penderitaan.
Pandangan ini memang bersifat aktif untuk menuju kelezatan, dan negatif menghindari kesengsaraan. Menurut parameter hedonisme ini, bahwa perbuatan yang dinilai baik adalah perbuatan yang mendatangkan kebahagiaan dan kenikmatan/kelezatan.” Pandangan hedonistik ini terdiri dari tiga aliran, yakni: (1) hedonisme individualistik (individual hedonistic) yang berpandangan bahwa suatu perbuatan bernilai baik apabila membuahkan kelezatan bagi pribadi, atau ego. Apabila perbuatan itu tidak memberikan kepuasan dan kelezatan pribadi, atau ego, maka dinilai buruk.
Tokoh aliran ini adalah Epicurus, filosof klasik Yunani (341 – 270 SM); (2) hedonisme rasional (rasionalistic hedonism). Aliran hedonisme ini merupakan penajaman lebih lanjut dari hedonisme egoistik yang berpendapat bahwa kebahagiaan atau kelezatan individual tersebut haruslah didasarkan atas pertimbangan akal sehat (common sense); (3) hedonisme universal/umum (universalistic hedonism) yang mengungkapkan bahwa perbuatan yang bernilai baik perbuatan yang melahirkan kesenangan atau kebahagiaan bagi seluruh makhluk.
Semakin menyeluruh kenikmatan yang diberikan oleh perbuatan tersebut, maka semakin tinggi pula kebaikannya. Tokoh aliran ini adalah Bhentam, filosof Inggris (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Menurut paham hedonisme ini, perbuatan yang baik adalah perbuatan yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan nafsu biologis. Tidak ada kebaikan dalam hidup selain kelezatan dan kebahagiaan, serta keutamaan.
Keutamaan itu tidak mempunyai nilai tersendiri, namun terletak pada kelezatan yang menyertainya. Oleh karenanya, yang dapat merancang dan merencanakan kelezatan itu adalah akal dan rohani, maka kelezatan akal dan rohanilah yang lebih nyata, lebih lama, dan lebih kekal daripada kelezatan badan. Hedonisme model pertama yang individualistik itu lebih banyak mewarnai masyarakat Barat yang bercorak liberal dan kapitalistik, sementara hedonisme model kedua yang sosialistik banyak mewarnai masyarakat Eropa yang bercorak komunis.
Baca Juga: Pengertian Baik dan Buruk dalam Islam
2. Perspektif Intuitionisme
Intuisi diartikan dengan bisikan hati (intuition), suara hati, atau juga dikenal dengan istilah hati nurani. Bisikan hati merupakan kekuatan batin/hati yang dapat mengidentifikasi apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk tanpa terlebih dahulu melihat akibat yang ditimbulkan perbuatan itu. Aliran ini sebetulnya merupakan penolakan dari paham hedonisme. Tujuan utama dari aliran ini adalah terwujudnya keutamaan, keunggulan, keistimewaan yang dapat juga diartikan sebagai “kebaikan budi pekerti.”
Ini disebabkan di dalam diri/batin manusia terdapat benih kemuliaan manusia. Oleh sebab itu, intuisi ini diyakini sebagai potensi yang harus dikembangkan sebagaimana potensi-potensi kejiwaan yang lain agar dapat mendapat kesempurnaannya. Dari intuisi inilah manusia mendapat jalan menjadi makhluk sempurna yang berbeda dari makhluk-makhluk lain. Intuisi adalah kekuatan batin yang dapat menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk yang sekilas tanpa melihat akibatnya.
Paham ini berpendapat bahwa pada setiap manusia mempunyai kekuatan instinct batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan sekilas pandang. Kekuatan batin ini terkadang berbeda refleksinya, sebab pengaruh masa dan lingkungan, namun dasarnya ia tetap sama dan berakar pada tubuh manusia.
Menurut paham ini, perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan penilaian yang diberikan oleh hati nurani/kekuatan batin yang ada dalam dirinya. Dan sebaliknya, perbuatan buruk adalah perbuatan yang menurut hati nurani dipandang buruk. Paham ini selanjutnya dikenal dengan paham humanisme.
3. Perspektif Evolusionisme
Aliran ini berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini selalu (berangsur-angsur mengalami perubahan, yakni tumbuh dan berkembang menuju kesempurnaannya. Aliran ini tentunya berangkat dari teori Darwin yang didasarkan pada tiga proposisi dari konsep selection of nature, strunggle for life, dan survival for the fittest. Yang pertama berbunyi, bahwa sesuatu itu dapat eksis/berwujud dan ada karena memang sudah dikehendaki dan dipilih oleh alam ini.
Sesuatu yang sudah dipilih adalah sesuatu yang bernilai baik. Sedangkan yang kedua berbunyi, bahwa segala sesuatu mengalami persaingan dan perjuangan untuk bertahan hidup. Begitu juga, nilai-nilai suatu perbuatan, adalah bersaing ketat untuk dapat bertahan. Dengan demikian, selanjutnya sesuatu yang ketahanannya sangat tinggi dan bisa mengalahkan yang lain-lain akan dapat berlangsung hidup.
Adapun proposisi teori ketiga berbunyi, bahwa sesuatu itu dapat bertahan apabila memiliki daya tahan yang terbaik, sehingga dengan demikian, bahwa sesuatu yang bernilai baik adalah pasti yang dapat bertahan hidup, sebab memang dipilih masyarakat. Aliran evolusi ini menjelaskan bahwa perbuatan baik itu adalah perbuatan yang terpilih melalui proses seleksi ketat, dan ia bersaing dan berkompetisi dengan yang lain, sehingga dapat dipilih oleh manusia dan akhirnya dapat bertahan.
Dengan demikian, kebaikan tersebut berjalan secara natural mengikuti gerak evolusinya. Dalam kaitan ini, Alexander mengungkapkan bahwa nilai moral harus selalu berkompetisi satu sama lain, dan bahkan dengan segala yang ada di alam ini, sehingga pada akhirnya, nilai moral yang baiklah yang bertahan (tetap) eksis. Sedangkan, nilai-nilai yang buruk dapat dipastikan tidak dapat mempertahankan dirinya sehingga musnah sendiri.
Mereka yang mengikuti paham ini mengungkapkan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini mengalami evolusi, yakni berkembang dari apa adanya menuju kepada kesempurnaannya. Herbert Spencer (1820-1903) berpendapat bahwa perbuatan akhlak itu tumbuh secara sederhana, kemudian berangsur-angsur meningkat sedikit demi sedikit berjalan ke arah cita-cita yang dianggap sebagai tujuan.
Perbuatan itu baik apabila dekat dengan cita-cita itu, dan buruk apabila jauh dari padanya. Sedang tujuan manusia dalam hidup ini ialah mencapai cita-cita atau paling tidak mendekati sedikit mungkin. Akhlak itu termasuk bidang ikhtiar manusia. Oleh karenanya, akhlak seseorang dapat berubah dari yang jahat menjadi baik, atau pun sebaliknya.
4. Perspektif Eudaemonisme
Prinsip pokok paham ini adalah bahwa kebahagiaan bagi diri sendiri dan kebahagiaan bagi orang lain. Menurut Aristoteles, bahwa untuk mencapai eudaemonia ini diperlukan 4 hal di antaranya kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan, kekuasaan, kemauan, perbuatan baik, dan pengetahuan batiniah.
5. Perspektif Pragmatisme
Aliran ini menitikberatkan pada hal-hal yang berguna untuk diri sendiri, baik yang bersifat moral maupun material. Dalam aliran ini, yang menjadi titik beratnya adalah pengalaman. Oleh karenanya, penganut paham ini tidak mengenal istilah kebenaran, sebab hal itu bersifat abstrak dan tidak akan diperoleh dalam dunia empiris.
6. Perspektif Naturalisme
Menurut aliran ini, tolok ukur baik dan buruk adalah kenyataan alamiah. Sesuatu yang natural-alamiah adalah yang tepat dan baik, dan sesuatu yang tidak natural adalah tidak tepat dan buruk. Tokoh aliran ini adalah J.J. Rousseau yang mengemukakan pendapatnya bahwa kemajuan, pengetahuan, dan kebudayaan merupakan perusak alam semesta ini.
7. Perspektif Vitalisme
Aliran ini merupakan bantahan terhadap aliran naturalisme di atas. Sebab menurut paham vitalisme ini, yang menjadi parameter baik dan buruk itu bukanlah alam, namun “vitae” atau hidup (sesuatu yang sangat diperlukan dalam dan untuk hidup). Aliran ini terdiri dari dua kelompok, yakni vitalisme pessimistis (negative vitalistis), dan vitalisme optimistis. Untuk kelompok yang pertama ini terkenal dengan bersemboyan “homo homini lupus.”
Dalam artian, bahwa manusia merupakan serigala (pemangsa) bagi manusia yang lain. Sedangkan aliran kedua bersemboyan bahwa perang untuk meraih tujuan adalah halal, sebab dengan berperanglah orang akan memperoleh dan memegang kekuasaan. Tokoh utama yang terkenal dalam aliran vitalisme ini adalah Frederich Nietsche. Dia memberikan pengaruh besar terhadap Adolf Hitler.
Dengan demikian, diketahui bahwa aliran ini berperan besar dalam membentuk watak Hitler sebagai sosok yang vitalistis untuk mendapatkan kebaikan yang menurut pandangannya sebagai kekuasaan itu sendiri. Dan kebaikan tersebut diperolehnya dengan daya optimismenya. Menurut paham ini, yang baik adalah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia, kekuatan dan kekuasaan yang menaklukkan orang lain yang lemah dianggap sebagai yang baik. Paham ini lebih lanjut cenderung pada sikap binatang dan berlaku hukum siapa yang kuat dan menang itulah yang baik.
8. Perspektif Gessingnungsethik
Aliran ini diprakarsai oleh Albert Schweitzer, seorang ahli teologi, musik, medika, filsafat, dan etika. Hal yang utama dalam aliran ini adalah “penghormatan akan kehidupan,” bahwa sedapat mungkin setiap makhluk harus saling menolong dan berlaku baik, dan standart kebaikan itu adalah “pemeliharaan akan kehidupan” itu sendiri. Dengan demikian, setiap usaha yang berakibat pada kebinasaan dan menghalang-halangi hidup adalah buruk atau keburukan.
9. Perspektif Idealisme
Idealisme merupakan sebuah pandangan filsafat yang menganggap hal yang abstrak di dalam pikiran yang berupa cita-cita atau keinginan (ide) adalah sesuatu yang real, nyata. Dengan ungkapan berbeda, bahwa hakekat segala sesuatu adalah apa yang berupa esensi di dalam pikiran. Aliran ini tampaknya sangat mementingkan eksistensi akal pikiran manusia, sebab pikiran manusialah yang menjadi sumber ide.
Ungkapan terkenal dari aliran ini adalah “Segala yang tampak alamiah ini hanyalah yang tiada” sebab yang semua itu hanyalah gambaran/perwujudan dari alam pikiran, dan bersifat imitasi (bersifat tiruan). Dan sebaik apa pun tiruan itu adalah tidak akan seindah aslinya (yaitu ide). Jadi yang baik dalam pandangan ini adalah apa yang ada di dalam ide itu sendiri.
10. Perspektif Eksistensialisme
Aliran ini berpandangan bahwa eksistensi di atas dunia selalu terkait dengan keputusan-keputusan individu, dalam artian, andaikan individu tidak mengambil suatu keputusan maka pastilah tidak ada yang terjadi. Individu sangat menentukan terhadap sesuatu yang baik, terutama sekali bagi kepentingan dirinya. Ungkapan dari aliran ini adalah “Truth is subjectivity.” Dalam artian, apabila kebenaran itu mengena pada pribadinya maka disebutlah baik, dan sebaliknya apabila hal itu tidak baik bagi pribadinya, maka itulah sesuatu yang buruk.
11. Perspektif Marxisme
Berdasarkan “Dialectical Materialisme” yakni segala sesuatu yang ada dikuasai oleh keadaan material dan keadaan material pun juga harus mengikuti jalan dialektikal itu. Aliran ini memegang motto “Segala sesuatu jalan dapatlah dibenarkan asalkan saja jalan dapat ditempuh untuk mencapai sesuatu tujuan.” Jadi, apa pun dapat dipandang baik asalkan dapat menyampaikan/menghantar kepada tujuan.
12. Perspektif Sosialisme
Menurut aliran ini, baik dan buruk ditentukan berdasarkan adat-istiadat. Pandangan berdasar pada adat istiadat ini dinamakan pandangan sosialisme karena berdasarkan manusia yang saling bersosialisasi. Mengenai hal ini, Poedjawijatma berkomentar bahwa “Adat istiadat Timur dan Barat, misalnya adalah berbeda. Kita tidak punya hak untuk menghukumi adat yang ini buruk dan yang itu buruk, namun yang dapat dikatakan adalah bahwa adat itu sukar dijadikan ukuran umum, sebab ketidakumumannya itu.” Tampaknya, pandangan sosialisme ini melihat baik dan buruk bersifat subjektif.
13. Perspektif Tradisionalisme (adat-istiadat)
Orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada adat dipandang baik dan orang yang menantang dan tidak mengikuti adat-istiadat dipandang buruk dan kalau perlu dihukum secara adat. Di dalam masyarakat, dijumpai adat-istiadat yang berkenaan dengan cara berpakaian, makan, minum, bercakap-cakap, bertandang, dan lain sebagainya. Kelompok yang menilai baik dan buruk berdasarkan adat-istiadat ini dalam tinjauan filsafat dikenal dengan istilah aliran sosialisme sebagaimana di atas.
Paham ini muncul bertolak dari anggapan bahwa masyarakat itu terdiri dari manusia, maka ada yang mengatakan, bahwa masyarakatlah yang menentukan baik buruknya tindakan manusia yang menjadi anggotanya tersebut.
Baca Juga: Persamaan dan Perbedaan antara Akhlak, Etika, Moral, dan Susila
14. Perspektif Utilitarianisme
Secara harfiah, utilis adalah berguna. Kegunaan dalam arti bermanfaat yang tidak hanya berhubungan dengan materi, melainkan juga dengan yang bersifat rohani. Dan kegunaan itu dapat juga diterima apabila yang digunakan itu hal-hal yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Nabi Muhammad, misalnya menilai bahwa orang yang baik adalah orang memberi manfaat pada yang lainnya.
Dari ungkapan tersebut, dapat ditarik pengertian balik, bahwa seburuk-buruk orang adalah manusia yang paling merugikan dan membahayakan terhadap sesamanya. Terkait dengan topik ini, pandangan utilitarianisme menjadikan nilai guna sesuatu sebagai tolok ukur mengenai baik dan buruk.
15. Perspektif Religiusisme (teologi)
Menurut paham ini, yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam paham ini, keyakinan teologis, yakni keimanan kepada Tuhan sangat memegang peranan penting, sebab tidak mungkin orang mau berbuat sesuai dengan kehendak Tuhan, apabila yang bersangkutan tidak beriman kepada-Nya.
Aliran etika teologi ini tampaknya masih memberi peluang perbedaan pandangan dalam menentukan nilai baik maupun buruk suatu perbuatan. Hal itu disebabkan penganut keyakinan ketuhanan itu sendiri berbeda-beda dalam memegangi ajaran Tuhan. Diyakini bahwa Tuhan memiliki kitab-kitab suci yang mengajarkan kebaikan dan keburukan, dan kitab suci tersebut diturunkan kepada manusia dalam kurun yang berbeda-beda.
Dari ajaran Tuhan tersebut memang terdapat kebaikan yang bersifat universal, seperti perintah berbuat adil, dan larangan berbuat aniaya. Namun, terdapat nilai-nilai baik dan buruk yang bercorak lokal dan temporal, misalnya ajaran menutup aurat di mana batas aurat untuk umat terdahulu adalah lebih minus dibanding dengan yang dibawa oleh Nabi berikutnya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pengertian Etika Moral dan Susila. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Berbagai Pandangan dan Aliran tentang Baik dan Buruk"
Posting Komentar