Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Pendidikan dan Filsafat
fikriamiruddin.com - Ilmu pendidikan banyak dijumpai dalam berbagai literatur banyak berbicara mengenai berbagai aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Dalam ilmu ini antara lain dibahas mengenai rumusan tujuan pendidikan, materi pelajaran (kurikulum), guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan, bimbingan, proses belajar-mengajar dan lain sebagainya.
Semua aspek pendidikan tersebut ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan ini dalam pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas manusia yang berakhlak. Misalnya, secara empirik dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yakni menjadi hamba Allah yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya.
Demikian pula dapat dikatakan, bahwa pendidikan budi pekerti adalah jiwa dan pendidikan Islam, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna merupakan tujuan sebenarnya dalam pendidikan. Tujuan pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia yang baik, sedangkan bahwa tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah yang memiliki kemampuan memahami dan mengaplikasikan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya.
Jika rumusan dan keempat tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan antara satu dengan yang lainnya, maka dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya seorang hamba Allah yang patuh dan tunduk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta memiliki sifat-sifat dan akhlak yang mulia. Rumusan ini dengan jelas menggambarkan bahwa antara pendidikan Islam dengan ilmu akhlak ternyata sangat berkaitan erat.
Pendidikan Islam merupakan sarana yang mengantarkan anak didik agar menjadi orang yang berakhlak karimah. Bertolak dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, maka seluruh aspek pendidikan lainnya, yakni materi pelajaran, dosen, guru, metode, sarana, dan sebagainya harus berdasarkan ajaran Islam. Kajian terhadap persoalan ini secara lebih khusus dapat kita jumpai dalam banyak referensi yang membahas mengenai pendidikan Islam.
Menggambarkan secara keseluruhan (kaffah) dan aspek pendidikan Islam rasanya bukan hanya di sini tempatnya. Pendidikan dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan orang tua di rumah, guru di sekolah, pimpinan serta tokoh masyarakat di lingkungan. Seluruh lingkungan ini merupakan bagian integral dari pelaksanaan pendidikan yang berarti pula sebagai tempat dilaksanakannya pendidikan akhlak.
Baca Juga: Hubungan Ilmu Akhlak dengan Psikologi
Hubungan Ilmu Akhlak dengan Filsafat
Filsafat sebagaimana diketahui merupakan suatu upaya berpikir mendalam, radikal, sampai ke akar-akarnya, universal dan sistematik, dalam rangka menemukan inti atau hakikat mengenai segala sesuatu. Dalam filsafat, segala sesuatu dibahas untuk ditemukan hakikatnya. Kita, misalnya melihat berbagai merek kendaraan, lalu kita memikirkannya, membandingkan antara satu dan lainnya.
Kemudian kita menemukan inti atau hakikat kendaraan, yakni sebagai sarana transportasi. Dengan menyebut sarana transportasi, maka seluruh jenis dan merek mobil apa pun sudah tercakup di dalamnya. Di antara objek pemikiran filsafat yang erat kaitannya dengan ilmu akhlak adalah mengenai manusia. Para filosof muslim seperti Ibnu Sina dan al-Ghazali (1059-1111 M) keduanya mempunyai pemikiran mengenai manusia sebagaimana terlihat dalam pemikirannya mengenai jiwa.
Ibnu Sina, misalnya mengungkapkan bahwa jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian, ia tidak berhajat pada badan, namun untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir.
Jiwa masih berhajat pada badan. Sebab pada permulaan wujudnya, badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berpikir. Pancaindera yang lima dan daya-daya batin dan jiwa binatanglah seperti indera bersama, estimasi dan rekoleksi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Jika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan.
Dan apabila ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, sebab semasa bersatu dengan badan ia selalu dipengaruhi oleh hawa nafsu badan, maka ia akan hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat. Pemikiran filsafat mengenai jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut memberi petunjuk bahwa dalam pemikiran filsafat terdapat bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ilmu akhlak.
Karena itu, al-Ghazali membagi umat manusia ke dalam tiga golongan. Pertama, kaum awam yang berpikirnya sederhana sekali. Kedua, kaum pilihan yang akalnya tajam dan berpikir secara mendalam. Ketiga, kaum penengkar. Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasihat dan petunjuk.
Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmat, sedang kaum penengkar dengan sikap mematahkan argumen-argumen. Pemikiran al-Ghazali ini memberi petunjuk adanya perbedaan cara dan pendekatan dalam menghadapi seseorang sesuai dengan tingkat dan daya tangkapnya. Pemikiran yang demikian akan membantu dan merumuskan metode dan pendekatan yang tepat dalam mengajarkan akhlak.
Pemikiran mengenai manusia dapat pula kita jumpai pada Ibnu Khaldun. Dalam melihat manusia, Ibnu Khaldun mendasarkan diri pada asumsi-asumsi kemanusiaan yang sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat manusia sebagai makhluk berpikir. Oleh karena itu, manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.
Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, namun juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini akan melahirkan peradaban. Namun, dalam pandangan Hans Kung, kelengkapan serta kemampuan manusia tidak lahir dengan begitu saja, melainkan melalui simulasi tertentu. Proses tersebut dewasa ini dikenal dengan nama evolusi.
Berbeda dengan Charles Darwin (1809-1882 M) yang melihat proses kejadian manusia sebagai hasil evolusi makhluk-makhluk organik, maka Khaldun menghubungkan kejadian manusia (sempurna) dalam perkembangan dan pertumbuhan alam semesta. Dalam pemikiran Ibnu Khaldun tersebut tampak bahwa manusia merupakan makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud manakala ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnnya.
Ini menunjukkan mengenai perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam pembinaan akhlaknya. Jauh sebelum itu, al-Qur’an telah pula menggambarkan manusia dalam sosoknya yang sempurna melalui istilah basyar, insan, dan an-nas. Musa Asy’arie melalui penelitiannya yang mendalam terhadap al-Qur’an, berkesimpulan bahwa melalui aktivitas basyariah-nya manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas lahiriahnya yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya.
Seperti makan, minum, bersetubuh, dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya. Manusia dalam term insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subjek kebudayaan dalam pengertian ideal. Sementara kata an-nas mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial. Gambaran mengenai manusia yang terdapat dalam pemikiran filosofis itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan mengenai cara-cara membina manusia, memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan sebagainya.
Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai. Selain itu, filsafat juga membahas mengenai Tuhan, alam, dan makhluk lainnya. Dan pembahasan ini akan dapat diketahui dan dirumuskan mengenai cara-cara berhubungan dengan Tuhan dan memperlakukan makhluk serta alam lainnya. Dengan demikian akan dapat diwujudkan akhlak yang baik terhadap Tuhan, terhadap manusia, alam, dan makhluk Tuhan lainnya.
Dengan mengetahui berbagai ilmu yang berhubungan dengan ilmu akhlak tersebut, maka seseorang yang akan memperdalam ilmu akhlak, perlu pula melengkapi dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang disebutkan di atas. Selain itu, uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa ilmu akhlak merupakan ilmu yang sangat akrab atau berdekatan dengan berbagai persoalan lainnya yang ada di sekitar kehidupan manusia.
Siapa saja kagum memperhatikan kesibukan kaum muslimin dalam pengembangan ilmu-ilmu Islam. Mereka mengadopsi ilmu umum dan agama dengan mempergunakan akal dan pikiran yang merupakan hasil karya ijtihad para ulama dan cendekiawan muslim. Dalam perjalanan panjangnya, kaum muslimin terutama mulai Daulah Abbasiyyah (I dan II) hingga masa kebangkitan kembali dunia Islam.
Telah banyak upaya yang dilakukan mereka guna mengaplikasikan ajaran Islam secara kaffah. Di satu sisi, falsafah yang berasal dari Yunani, telah membantu menumbuhkan sebagian cabang-cabang ilmu dan perluasan pada bagian yang lain, seperti ilmu filsafat berpengaruh besar dalam pertumbuhan ilmu kalam. Pada sisi lain, falsafah yang berasal dari Yunani (pada saat yang tepat) telah berhasil diselamatkan oleh peradaban Islam pada masa Daulah Abbasiyyah, masa di mana kebudayaan Islam mencapai puncak kejayaannya.
Baca Juga: Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Kalam
Akhlak sebagai format kepribadian seseorang, memiliki kaitan dengan akidah (keimanan), ibadah, dan pandangan hidup seseorang. Seseorang yang beriman kepada Allah Swt akan berupaya melahirkan sifat-sifat dan perbuatan yang utama. Demikian pula, seseorang yang beribadah dengan ikhlas dan benar akan melahirkan pribadi-pribadi yang komitmen dan jujur.
Sebagai sebuah ilmu, akhlak berkaitan erat dengan ilmu tasawuf, sebab seorang yang mendekatkan diri kepada Allah baik secara falsafi, khuluqi, maupun ‘amaliy, haruslah menata pribadinya, dalam arti sudah terbiasa atau berperangai yang mulia. Ilmu kalam yang disebut juga dengan ilmu tauhid yang mengajarkan bagaimana cara mencapai pengetahuan rasional dan tekstual memahami tentang Allah Swt.
Akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas dan keikhlasan itu sendiri merupakan salah satu dari beberapa poin akhlak yang mulia. Kemudian ilmu jiwa atau psikologi, ilmu jiwa membicarakan gejala-gejala kejiwaan yang berupa potensi-potensi yang perlu diketahui, dan untuk mengembangkan ilmu akhlak, dapat dimanfaatkan informasi yang diberikan oleh psikologi.
Tidak sedikit hasil pembinaan akhlak yang telah dilakukan oleh para ahli dengan mempergunakan jasa yang diberikan psikologi, seperti yang dilakukan para psikolog terhadap perbaikan anak-anak nakal, berperilaku menyimpang, dan lain sebagainya. Berikutnya ilmu pendidikan, sebab mencapai suatu akhlak yang sempurna merupakan tujuan sebenarnya dalam pendidikan, yakni terwujudnya manusia yang baik, terwujudnya hamba Allah yang memiliki kemampuan memahami dan mengaplikasikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban secara seimbang.
Tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya seorang hamba Allah yang patuh dan tunduk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta memiliki sifat-sifat/akhlak yang mulia. Ini semua menggambarkan bahwa antara pendidikan Islam dengan ilmu akhlak ternyata sangat berkaitan erat, di mana pendidikan Islam merupakan sarana yang mengantarkan anak didik menjadi orang yang berakhlak karimah.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Pendidikan dan Filsafat"
Posting Komentar