Hubungan Ilmu Akhlak dengan Psikologi
fikriamiruddin.com - Dilihat dari segi objek studinya, ilmu jiwa membahas mengenai gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku manusia. Melalui ilmu ini dapat diketahui sifat-sifat psikologis yang dimiliki seseorang. Jiwa yang bersih dari maksiat dan dosa serta selalu ber-taqarrub kepada Allah Swt. Misalnya, akan menimbulkan sikap yang tenang dan perbuatan yang serba baik dan benar. Sebaliknya, jiwa yang kotor banyak berbuat kesalahan dan jauh dari Allah akan melahirkan perbuatan yang jahat, sesat dan menyesatkan dirinya dan orang lain, serta selalu dirundung keresahan.
Dengan demikian, ilmu jiwa mengarahkan pembahasannya pada aspek batin manusia dengan cara menginterpretasikan perilakunya yang tampak. Dalam penelitian dan pengkajian menunjukkan adanya hubungan yang erat antara potensi psikologis manusia dengan ilmu akhlak. Dengan kata lain, melalui bantuan informasi yang diberikan ilmu jiwa, atau potensi kejiwaan yang diberikan al-Qur’an.
Maka secara teoritis ilmu akhlak dapat dibangun dengan kokoh. Dengan demikian, dapat diperoleh pemahaman bahwa akhlak yang Islami adalah akhlak yang berwawasan dan bernuansa al-Qur’an. Terdapat temuan di lapangan bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus diakui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya, ada yang berakhlak buruk. Ini berarti bahwa manusia memiliki kedua potensi tersebut.
Lihat al-Qur’an surat al-Balad ayat 10 yang artinya: “Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk).” Kemudian Quraish Shihab mengungkapkan bahwa meskipun kedua potensi baik dan buruk terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan adanya isyarat-isyarat dalam al-Qur’an bahwa kebajikanlah yang lebih dahulu menghias diri manusia daripada kejahatan, dan ada indikator dominan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan daripada kepada keburukan.
Kecenderungan manusia kepada kebaikan ini terbukti dari adanya persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban terjadi pada bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral yang disebut ma’ruf dalam bahasa al-Qur’an. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan atau keangkuhan. Sepanjang zaman, tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang tua adalah buruk.
Baca Juga: Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Kalam
Tetapi bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi, cara penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada generasi yang lain. Perbedaan-perbedaan itu selama dinilai baik oleh masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum, maka ia tetap dinilai baik adanya, demikian pulalah sebaliknya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diperoleh suatu pengertian bahwa tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw. Apa yang dinilai baik oleh Allah dan rasul-Nya, pasti baik pula dalam hakikat (esensi)-nya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Allah dan rasul-Nya menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan itu esensinya adalah buruk.
Uraian tersebut memberi informasi bahwa dalam diri manusia terdapat potensi rohaniah yang cenderung kepada kebaikan dan potensi jasmaniyah yang cenderung kepada keburukan. Potensi keduanya (rohaniah dan jasmaniyah) ini secara lebih mendalam dikaji dalam psikologi. Untuk mengembangkan ilmu akhlak, kita dapat memanfaatkan informasi yang diberikan oleh psikologi.
Baca Juga: Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf
Tiada sedikit hasil pembinaan akhlak yang telah dilakukan para ahli dengan mempergunakan jasa yang diberikan psikologi, seperti yang dilakukan para psikolog terhadap perbaikan anak-anak nakal, berperilaku menyimpang, dan lain sebagainya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pentingnya Akhlak dalam Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Hubungan Ilmu Akhlak dengan Psikologi"
Posting Komentar