Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Kalam
fikriamiruddin.com - Ilmu Kalam, secara harfiah berarti ilmu mengenai kata-kata atau pembicaraan. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan, maka yang dimaksud adalah kalam Tuhan yang ada di dalam al-Qur’an dan persoalan ini pernah menimbulkan perbincangan hangat dan bahkan merupakan pertentangan keras di kalangan umat Islam di abad ke-9 dan ke-10 Masehi, sehingga menimbulkan pertentangan dan penganiayaan terhadap sesama Muslim.
Sebagian dari mereka ada yang mengungkapkan bahwa kalam Tuhan itu baru, makhluk, atau diciptakan oleh Tuhan. Sedangkan sebagian yang lain mengungkapkan bahwa kalam Tuhan itu bersifat qadim, dalam arti tidak diciptakan sebagaimana halnya makhluk. Pendapat yang pertama dianut oleh aliran Muktazilah, sedangkan pendapat kedua dianut oleh golongan Asy’ariyah dan lainnya.
Kemudian apabila yang dimaksud dengan kalam adalah kata-kata manusia, maka yang dimaksud dengan ilmu kalam adalah ilmu yang membahas mengenai kata-kata atau silat lidah dalam rangka mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Ilmu kalam disebut juga dengan ilmu tauhid karena ilmu inilah yang membahas mengenai cara-cara meng-esa-kan Tuhan, sebagai salah satu sifat yang terpenting di antara sifat-sifat-Nya yang lain.
Ia juga disebut dengan ilmu ushuluddin, sebab yang menjadi tema pembahasannya merupakan soal-soal pokok dalam Islam, yakni tauhid. Selain itu, ilmu ini disebut juga dengan ilmu ‘aqa’id (keyakinan-keyakinan), atau ikatan yang kokoh dalam pikiran dan hati, karena keyakinan kepada Tuhan harus merupakan ikatan yang kokoh yang tidak boleh dilepaskan begitu saja, karena bahayanya amat besar bagi kehidupan manusia.
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tauhid ini paling tidak dapat dilihat melalui empat analisis. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, yakni bahwa ilmu tauhid sebagaimana diuraikan di atas membahas persoalan Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia, sehingga perbuatan yang dilakukannya itu akan tertuju semata-mata karena Allah Swt.
Dengan demikian, ilmu tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlasan itu sendiri adalah salah satu di antara akhlak yang mulia. Kedua, dilihat dari segi fungsinya, ilmu tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja, melainkan yang terpenting adalah agar orang itu dapat meniru dan mencontoh terhadap subjek yang terdapat dalam rukun iman itu.
Baca Juga: Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf
Jika Allah Swt bersifat ar-Rahman dan ar-Rahim, maka sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan mengembangkan sikap kasih sayang di muka bumi. Demikian juga apabila Allah memiliki 99 nama-nama sifat yang terbaik, maka semua itu harus ditransfer ke dalam dirinya. Dengan demikian, keimanan kepada Allah Swt, akan memberi pengaruh positif terhadap pembentukan akhlaq al-karimah.
Demikian juga apabila seseorang beriman kepada para malaikat, maka yang dimaksudkan antara lain adalah agar manusia meniru sifat-sifat yang terdapat pada malaikat, seperti sifat jujur, amanah, tidak pernah durhaka, dan patuh melaksanakan segala yang diperintahkan Tuhan. Percaya kepada malaikat juga dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi oleh para malaikat, sehingga ia tidak berani melanggar larangan Tuhan.
Dengan cara demikian, percaya kepada malaikat akan membawa kepada pembentukan akhlaq al-karimah. Demikian pula dengan beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Tuhan, khususnya al-Qur’an, maka secara akhlaki harus diikuti dengan upaya menjadikan al-Qur’an sebagai wasit, hakim, serta imam dalam kehidupan yang selanjutnya diikuti pula dengan mengamalkan segala perintah yang ada dalam al-Qur’an dan menjauhi apa yang dilarangnya.
Dengan kata lain, beriman kepada al-Qur’an harus disertai dengan berakhlak dengan al-Qur’an, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Hal demikian dinyatakan dalam jawaban Aisyah, isteri Nabi Saw, ketika seorang sahabat bertanya kepadanya mengenai akhlak Nabi itu. Aisyah menjawab: “Adapun akhlak Nabi itu adalah al-Qur’an” (HR. Ahmad dari Aisyah). Dengan demikian, iman kepada kitab Allah Swt itu erat kaitannya dengan pembinaan akhlak al-karimah.
Berikutnya, beriman kepada rasul, khususnya Nabi Muhammad Saw, juga harus disertai dengan upaya mencontoh akhlak Rasulullah dan mencintainya. Di dalam al-Qur’an dinyatakan oleh Allah bahwa Nabi Muhammad Saw itu memiliki akhlak yang mulia. Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa “Sesungguhnya engkau, Muhammad benar-benar berbudi pekerti mulia.” (QS. 68: 4).
Ayat tersebut memberi petunjuk dan mengingatkan kepada manusia bahwa pada diri Rasulullah itu terdapat contoh akhlak yang mulia. Apabila hal tersebut dinyatakan di dalam al-Qur’an maka maksudnya adalah agar diamalkan. Caranya antara lain dengan mengikuti perintahnya dan mencintainya. Dalam salah satu haditsnya, beliau mengungkapkan bahwa tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sekalian, sehingga aku (Nabi Muhammad) lebih dicintainya daripada harta bendanya, orang tuanya, anak-anaknya, dan manusia lainnya (HR. Muslim).
Mengikuti dan mencintai Rasulullah oleh Allah dinilai sama dengan mencintai dan mentaati-Nya. Dengan cara demikian, beriman kepada para Rasul akan menimbulkan akhlak yang mulia. Hal ini dapat diperkuat lagi dengan cara meniru sifat-sifat yang wajib pada rasul, yakni sifat sidq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan ajaran sesuai dengan perintah Allah) dan fathanah (cerdas).
Apabila semua itu ditiru oleh manusia yang mengimaninya, maka akan dapat menimbulkan akhlak yang mulia, dan di sinilah letak hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu Tauhid. Demikian pula beriman kepada hari akhir dari sisi akhlaki harus disertai dengan upaya menyadari bahwa segala amal perbuatan yang dilakukan selama di dunia ini akan dimintakan pertanggung-jawabannya di akhirat nanti.
Amal perbuatan yang dilakukan manusia selama di dunia akan ditimbang dan dihitung serta diputuskan dengan seadilnya. Mereka yang amalnya lebih banyak yang buruk dan ingkar kepada Tuhan akan dimasukkan ke dalam neraka jahannam, sedangkan mereka yang amalnya lebih banyak yang baik dan bertakwa kepada Tuhan akan dimasukkan ke dalam surga. Keimanan kepada hari akhir yang demikian itu diharapkan dapat memotivasi seseorang agar selama hidupnya di muka dunia ini banyak melakukan amal yang baik serta menjauhi perbuatan dosa.
Orang yang demikian selanjutnya akan menjadi orang yang selalu takwa kepada Allah Swt. Keyakinan bahwa kebahagiaan hidup di akhirat ditentukan oleh amal perbuatan yang baik akan mendorong seseorang memiliki etos kerja untuk selalu melakukan amal perbuatan yang baik selama hidupnya di dunia ini. Di sinilah letaknya hubungan iman kepada hari akhir dengan akhlak yang mulia.
Kemudian beriman kepada qadha dan qadar Allah juga erat kaitannya dengan akhlak, yakni agar orang yang percaya kepada qadha dan qadar Allah itu senantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Allah dan rela menerima segala keputusan-Nya. Perbuatan yang demikian termasuk ke dalam akhlak yang karimah. Hal ini termasuk salah satu perbuatan yang berat, sebab pada umumnya manusia merasa sukar menerima keadaan-keadaan yang biasa menimpa dirinya.
Misalnya kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat, kedudukan, musibah, kematian, dan lain-lain yang dapat mengurangi kesenangannya. Yang dapat bertahan dalam menerima keputusan-keputusan Tuhan seperti itu hanyalah orang-orang yang telah mempunyai sifat ridha, artinya rela menerima dengan apa yang telah ditentukan dan ditakdirkan Tuhannya. Rela berjuang atas jalan Allah, rela menghadapi segala kesukaran, rela membela kebenaran, rela berkorban harta, pikiran, dan jiwa sekalipun.
Semua itu bagi orang yang ridha sebagaimana dilakukan seorang sufi dipandang sebagai sifat-sifat terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi, bahkan dianggap sebagai ibadah yang semata-mata menuntut keridhaan Allah. Sebab kerelaan mereka semata-mata adalah karena Allah, maka mereka enggan berbuat maksiat. Orang-orang yang telah memiliki sifat ridha itu tidak akan mudah bimbang atau kecewa atas pengorbanan yang dialaminya, tidak merasa menyesal dalam hidup berkekurangan, tidak iri hati atas kelebihan-kelebihan yang telah didapat oleh orang lain.
Sebab mereka kuat berpegang kepada kaidah dan iman kepada qadha dan qadar yang semuanya itu datang dari Tuhan. Dalam salah satu hadits qudsi, Rasulullah Saw menegaskan yang artinya: “Allah berfirman: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang sebenarnya selain Aku, maka barang siapa tidak sabar terhadap cobaan-Ku, tidak bersyukur terhadap nikmat-Ku dan tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaklah ia keluar dari kolong langit-Ku dan carilah Tuhan selain Aku.” (HR. Muslim).
Berdasarkan analisis yang sederhana ini, tampak jelas bahwa rukun iman yang enam ternyata erat kaitannya dengan ilmu akhlak, yakni pembinaan akhlak al-karimah. Dengan demikian, dalam rangka pengembangan ilmu akhlak bahan-bahannya dapat digali dari ajaran Islam mengenai tauhid dan ilmu tauhid. Hubungan ilmu tauhid dengan ilmu akhlak dapat pula dilihat pada eratnya kaitan antara iman dan amal salih.
Baca Juga: Pentingnya Akhlak dalam Islam
Baik di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits banyak sekali dijumpai secara beriringan antara iman dan amal salih. Misalnya, apabila dibaca ayat yang berbunyi: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kebenaran.
Apabila diperhatikan secara seksama, akan tampak bahwa ayat-ayat tersebut seluruhnya bertemakan keimanan dalam hubungannya dengan akhlak mulia. Ayat-ayat tersebut memberi petunjuk jelas bahwa keimanan harus dimanifestasikan dalam perbuatan akhlaq al-karimah. Di sinilah letaknya hubungan antara keimanan dengan ilmu akhlak dan pembentukan akhlaq al-karimah.
Gambaran kuatnya hubungan iman dengan akhlak atau perbuatan yang baik lebih lanjut dapat dijumpai pada pemikiran kalam golongan Khawarij dan Muktazilah. Orang yang berbuat dosa besar menurut golongan Khawarij dapat menyebabkan imannya hilang. Sementara menurut Muktazilah orang beriman yang berbuat dosa besar dan meninggal sebelum taubat menyebabkan ia tidak dapat masuk surga karena dosanya.
Dan tidak pula dapat dimasukkan ke dalam neraka dikarenakan di hatinya masih ada iman. Bagi Muktazilah, iman digambarkan bukan hanya pengakuan dan ucapan lisan, melainkan juga pada perbuatan-perbuatannya. Hadits Rasulullah terkait dengan keimanan menegaskan yang artinya sebagai berikut: “Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mau mencintai saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa keimanan dalam Islam bukanlah bersikap dogmatis, yakni bukan hanya dengan mengakui adanya rukun iman lantas yang bersangkutan masuk surga dan dihapuskan segala dosanya. Namun, iman dalam Islam itu sebenarnya menerima suatu ajaran sebagai landasan untuk melakukan perbuatan praksis yang shaleh dan berguna bagi diri dan sesamanya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Kedudukan Akhlak dalam Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Kalam"
Posting Komentar