Studi Ritual Islam
fikriamiruddin.com - Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures, mengungkapkan bahwa agama meliputi simbol-simbol budaya sosial. Dari situ, agama dipahami sebagai sistem budaya. Paparan ini diperkuat oleh Bassam Tibi dalam Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, dengan mengungkapkan bahwa agama-agama di dunia ini bersifat kultural. Dari itu, ia bersifat simbolik, merupakan sistem-sistem, dan sebagai bentuk dari realitas.
Menurut Tibi, dalam agama konsepsi-konsepsi manusia tidak didasarkan pada pengetahuan, namun pada kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa, yang konsepsi-konsepsi itu sangat berbeda dari satu kepercayaan dengan yang lainnya. Dalam kepercayaan agama-agama Monotheism, kekuasaan yang dimaksud adalah Tuhan, sementara dalam agama-agama primitif, hal itu direpresentasikan melalui spirit dan magic.
Islam menurutnya merupakan realitas sosial, mencakup sistem simbol budaya yang sangat beragam dan berubah secara historis. Dalam artian, pemahaman seseorang terhadap Islam sangat dipengaruhi oleh penggunaan teori yang berbeda-beda dan background historis dan sosialnya. Maka dalam memahami realitas dunia Islam, seorang sarjana harus melewati beberapa bahasa dan disiplin, guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai Islam.
Untuk memahami agama, Milton Yinger menyarankan agar seseorang memahami beberapa budaya yang mempengaruhinya, beberapa karakter yang ada di dalamnya, dan struktur-struktur sosial yang membawanya. Taylor mengungkapkan bahwa agama adalah sebuah kepercayaan kepada keberadaan spiritual. Ia merasa bahwa satu karakteristik dari semua agama, baik kecil maupun besar, baik kuno maupun modern, adalah adanya kepercayaan kepada spirit yang mampu berpikir, berbuat.
Esensi dari semua agama adalah kepercayaan terhadap Yang Maha Hidup, sebuah kekuatan yang ada di luar semua yang ada. Taylor menyebutkan adanya hubungan antara ritual keagamaan dengan kepercayaan. Frederick, mengungkapkan bahwa ritual Islam adalah ekspresi dari doktrin Islam, di mana keduanya saling menguatkan, dalam proses penemuan dan disiplin agama yang menyatu.
Tauhid, menurut Frederick, bukan sekedar proposisi teologis, namun juga realisasi manusia dalam mengesakan Tuhan dengan ketaatan dan ketundukan total. Empat rukun Islam, menjadi kategori utama ritual Islam, di samping beberapa peristiwa penting lainnya, seperti Idul Fitri, Idul Adha, Puasa Ramadhan, Shalat Gerhana, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Model Studi Hukum Islam Kontemporer
Dalam literatur antropologi terdapat tiga istilah yang boleh jadi semakna dengan kebudayaan, yakni culture, civilization. Term kultur berasal dari bahasa Latin yaitu cultura, yang berarti memelihara, mengerjakan, atau mengolah. Istilah kedua yang semakna atau hampir sama dengan kebudayaan adalah sivilisasi. Sivilisasi berasal dari kata Latin, yaitu civis. Arti kata civis adalah warga negara (kota).
Oleh karena itu, sivilisasi berhubungan dengan kehidupan kota yang lebih progresif dan lebih halus. Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat.
Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur persoalan-persoalan kemasyarakatan dalam arti yang luas. Agama, ideologi, kebatinan dan kesenian yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk di dalamnya. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan.
Cipta dapat berbentuk teori murni dan bisa juga telah disusun sehingga dapat langsung diamalkan oleh masyarakat. Rasa dan cipta dapat juga dinamakan kebudayaan spiritual. Semua karya, rasa, cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat. Dari uraian mengenai kebudayaan tersebut, muncul kemudian pertanyaan, apakah Islam itu bagian dari hasil karya, karsa dan cita-cita manusia?
Menurut Nurcholish Madjid, agama dan budaya merupakan dua bidang yang dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat, sedangkan budaya sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat dan tempat. Sebagian besar, budaya didasarkan pada agama, bukan sebaliknya.
Karena itu, agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. Bangsa Arab sebelum Islam, dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografisnya yang strategis membuat Islam yang diturunkan di Arab mudah tersebar ke berbagai wilayah. Menurut Nurcholish Madjid, ciri-ciri utama tatanan Arab pra-Islam adalah sebagai berikut.
Mereka menganut paham kesukuan (qabilah), memiliki tata sosial politik yang tertutup dengan partisipasi warga yang terbatas, faktor keturunan lebih penting daripada kemampuan, mengenal hierarki sosial yang kuat, dan kedudukan perempuan cenderung direndahkan. Sumber hukum yang dijadikan pegangan adalah adat-istiadat. Dalam bidang mu’amalah, mereka membolehkan transaksi barter (mubadalah), jual beli dengan cara spekulatif dan riba.
Dalam hukum keluarga, mereka membolehkan poligami dengan jumlah tanpa batas, serta anak kecil dan perempuan tidak dapat menerima harta pusaka atau harta peninggalan. Kecenderungan untuk merendahkan martabat wanita, yakni perempuan dapat diwariskan, ibu tiri harus rela menjadi istri anak tirinya ketika suaminya meninggal, dan ibu tiri tidak mempunyai hak pilih, perempuan tidak memperoleh hak waris.
Maka Islam yang turun kemudian, memberikan pembenahan-pembenahan terhadap tatanan bangsa Arab tersebut, di antaranya dalam hukum poligami, yakni dibatasinya jumlah istri pada pernikahan poligami menjadi empat orang dan diharamkan poliandri. Kedudukan wanita menjadi terhormat dan mendapatkan hak warisnya. Maka pendekatan antropologis (anthropological approaches) sangat membantu dalam memahami beberapa hal yang dilakukan oleh umat Islam di belahan bumi ini.
Antropologi adalah kajian yang berfokus pada manusia. Kajian ini membantu memahami diri sendiri melalui pengamatan terhadap budaya orang lain. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia.
Dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Salah satu contoh dari pendekatan antropologis dalam kajian Islam adalah yang dilakukan oleh Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java. Geertz melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa, antara santri, priyayi dan abangan. Dengan pendekatan antropologis dilihat hubungan Islam dengan berbagai persoalan kehidupan manusia.
Dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia. Selain pendekatan antropologis, pendekatan kebudayaan (Cultural Approaches) juga dapat dijadikan alat bantu dalam memahami fenomena keagamaan umat Islam. Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat-istiadat, dan lain sebagainya.
Kebudayaan dapat digunakan dalam memahami Islam yang terdapat pada dataran empiriknya atau agama yang tampil dalam bentuk formal dan menggejala di masyarakat. Pengalaman agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari wahyu melalui penalaran. Sebagai contoh adalah penggunaan jilbab sebagai pakaian Islami. Itu dapat dipahami dengan melalui pemahaman tentang adanya perbedaan budaya Arab dan Asia.
Sehingga model atau bentuk jilbab yang dipakai berbeda. Pemahaman semacam ini perlu dimunculkan karena yang membentuk pemikiran seseorang bukan sekedar teks tetapi dialektika manusia dengan realitas di satu pihak dan dialognya dengan teks di pihak lain. Dengan demikian, studi keagamaan tidak cukup hanya tertuju pada studi teks melainkan juga pada kajian tradisi sehingga harus melibatkan metodologi ilmu-ilmu sosial.
Dalam memahami Islam, harus dibedakan antara Arabisme dan Islamisme. Jeffrey Lang dalam Struggling to Surrender dan Even Angels Ask: A Journey to Islam in America, mengungkapkan bahwa ia pernah pergi dan tinggal di Saudi Arabia untuk mengenal lebih dekat komunitas muslim yang hidup di dekat Baitullah, tempat Islam dilahirkan. Tetapi akhirnya ia kembali ke Amerika karena menyadari bahwa pemikiran Islam yang tumbuh di Amerika lebih cocok dan menantang baginya daripada paham Islam yang tumbuh di Saudi Arabia yang lebih ditunjukkan ke masa lampau.
Di Arab Saudi, menurut Lang, Islam berhenti sebagai kekuatan untuk perkembangan keprihatinan dan membuat imannya segera kehilangan daya hidupnya. Dalam kasus ini, Lang yang berencana untuk menanggalkan statusnya sebagai orang Amerika untuk menjadi muslim telah gagal dan pada akhirnya ia semakin yakin dengan prinsip no escape from being an American. Dalam artian, untuk menjadi Islam tidak berarti harus meninggalkan semua latar belakang seseorang.
Baca Juga: Model Komparasi dalam Memahami Agama Islam
Islam tidak pernah datang pada suatu vakum kultural. Sikap kritis Lang tersebut apabila dilacak sumbernya dari al-Qur’an maka akan mendapatkan pembenaran. Al-Qur’an mengungkapkan bahwa Malaikat yang kerjanya hanya bertahmid dan bertasbih pada Allah ternyata dapat dan boleh melakukan protes dalam bentuk pertanyaan ketika Allah hendak mengangkat Adam sebagai khalifah.
Jadi, benar apa yang dilakukan oleh Lang bahwa untuk memahami pesan Islam seseorang harus selalu bersikap kritis, terlebih apabila Islam hendak didakwahkan pada masyarakat. Demikianlah, untuk mengaktualkan pesan wahyu dibutuhkan respon kritis dan hati yang tulus dari manusia di bumi untuk menciptakan bayang-bayang surga dalam sejarah. Mengingat penduduk bumi demikian beragam dan itu merupakan desain Allah, maka ditemukan Islam Arab, Islam Iran, Islam India, Islam China, Islam Indonesia, Islam Amerika, dan komunitas Islam lainnya.
Maka masyarakat muslim tidak bisa menjadi religius dalam cara yang sama seperti para pendahulunya di dunia pramodern yang konservatif. Betapa pun kerasnya mereka berusaha menerima dan melaksanakan warisan tradisi agama pada masa keemasannya, mereka memiliki kecenderungan alami untuk melihat kebenaran secara faktual, historis, dan empiris. Baik konservatisme dan modernisme bukanlah pilihan yang tepat.
Keduanya produk historis yang perlu dikaji ulang validitasnya. Kulitnya boleh sama, namun bagian dalamnya telah berubah. Dalam masyarakat Islam yang tradisional, perkataan kiai, tokoh agama, begitu berpengaruh, karena dianggap sebagai manifestasi dari hukum sosial. Maka ada perbedaan antara hukum di dunia Islam dan di dunia Barat yang terbiasa dengan kehidupan modern.
Hukum yang muncul di Barat adalah hasil dari pengalaman hidup mereka, sementara hukum yang muncul di dunia Islam adalah hasil dari wahyu, sehingga kesadaran (self discipline) orang Barat lebih tinggi daripada kesadaran orang Islam, sebab orang Islam terbiasa diperintah. Maka untuk menjadi masyarakat taat hukum, harus dimulai dari kesadaran diri sendiri.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pentingnya Kajian Sirah Nabi dalam Memahami Ajaran Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Studi Ritual Islam"
Posting Komentar