Model Studi Hukum Islam Kontemporer
fikriamiruddin.com - Al-Asymawi mengungkapkan bahwa dalam melakukan studi hukum Islam harus membedakan antara wilayah syari’ah dan fikih. Syari’ah adalah segala bentuk aturan yang telah ditetapkan oleh Allah melalui al-Qur’an dan Hadits Nabi, yang manusia tidak memiliki hak untuk mengubahnya. Sementara fikih merupakan pemahaman manusia terhadap syari’ah yang memiliki perbedaan pemahaman.
Syari’ah agama Islam itu satu tetapi pemahaman terhadap agama itu beragam. Syari’ah itu agama, sementara fikih adalah bentuk dari pemahaman terhadap agama. Sebagai contoh, ayat riba itu agama (syari’ah), di mana agama menetapkan riba itu haram, namun pemahaman terhadap sesuatu yang dikategorikan sebagai riba atau tidak adalah fikih.
Pemahaman seseorang terhadap agama dalam bentuk fikih itu sangat dipengaruhi oleh faktor sosiologis, ekonomi dan politik masyarakatnya. Maka syari’ah yang universal pada tataran fikih akan ditemukan perbedaan dalam kaitannya dengan perbedaan sosial dan kondisi politiknya. Maka fikih bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri melainkan hanyalah interpretasi terhadap teks dalam konteks historis tertentu.
Sehingga dapat direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu, asalkan rekonstruksi itu juga didasarkan pada sumber-sumber dasar Islam yang sama dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama. Syari’ah secara etimologis berarti murid al-ma’ (tempat jalannya air). Maka syari’ah dapat diartikan sebagai metode atau jalan, bukan kumpulan seperangkat hukum. Maka ditemukannya dalam agama-agama samawi bahwa agama itu satu, namun syari’ahnya yang berbeda.
Maka penerapan hukum Islam bukan berarti penerapan syari’ah yang tertuang dalam al-Qur’an, namun penerapan hukum-hukum yang diambil dari pemahaman terhadap ayat-ayat hukum itu. Penerapan hukum-hukum itu harus didahului oleh keimanan. Dalam artian, masyarakatnya sudah siap dengan model hukum yang akan diterapkan.
Dalam upaya menerapkan hukum tersebut, juga harus memperhatikan aspek tradisi (‘urf). Hukum terus berkembang, sehingga ditemukan banyak perubahan pendapat terkait dengan hukum, dari satu masa ke masa yang lain. Tidak tepat apabila penerapan syari’ah adalah penerapan pemahaman seseorang dari satu mazhab tertentu, sebab pemahaman bukan agama atau syari’ah namun merupakan pemahaman terhadap agama atau syari’ah yang biasa disebut dengan fikih.
Baca Juga: Model Komparasi dalam Memahami Agama Islam
Abdullah Ahmad al-Na’im dalam tulisannya mengenai dekonstruksi syari’ah mengungkapkan bahwa selama ini jawaban yang diberikan oleh umat Islam dalam menjawab tantangan dianggap belum memadai bahkan mengecewakan. Pihak fundamentalis selalu menegaskan bahwa Islam telah sempurna dan selalu memberi jawaban untuk setiap persoalan umat manusia, sementara kalangan sekuler seolah-olah ingin melarikan diri dari kenyataan, dan agama hanya dibatasi pada persoalan ritual belaka, sehingga menurut kalangan sekuler, persoalan sosial harus dicarikan solusinya dari luar agama.
Al-Na’im mengungkapkan bahwa penafsiran dan praktik semua agama, termasuk Islam, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis, ekonomi, dan politik masyarakat tertentu, sehingga sistem hukum yang bersandar pada agama juga demikian, ada variasi dan kekhasan lokal. Namun, perlu ditemukan bahwa meskipun ada yang bersifat lokal, ada beberapa aspek Islam yang tetap bersifat universal.
Sebelum menguraikan pendapat al-Na’im, perlu dikemukakan bahwa hukum Islam yang berlaku di setiap masyarakat muslim bukanlah ekspresi dari Islam itu sendiri, namun sebatas pada interpretasi terhadap teks dasarnya sebagaimana dipahami dalam konteks historis tertentu. Dengan demikian, hukum Islam yang telah disusun oleh para ahli dapat direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu selama masih bersandar pada sumber-sumber dasar Islam yang sama dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama.
Pernyataan ini memiliki arti bahwa umat Islam sedunia dapat menggunakan legitimasi hak kolektif untuk menentukan nasib sendiri dengan identitas Islam, termasuk dalam menerapkan hukum Islam selama tidak melanggar legitimasi hak perorangan dan kolektif pihak lain, baik di luar maupun di dalam komunitasnya.
Apabila pemikiran semacam ini diterima, maka tuntutan penerapan syari’ah Islam dalam suatu negara harus dilihat infrastruktur dari wilayah tersebut. Menurut al-Na’im, selama ini kebanyakan umat Islam dalam memahami hubungan antara negara dan syari’ah merujuk pada pemikiran utama klasik tanpa mengkaji lebih jauh mengenai kondisi masyarakat penulisnya. Karena itu, dalam mengamati persoalan kontemporer, terutama yang menyangkut persoalan politik.
Menurut al-Na’im, seseorang harus berhati-hati ketika menggunakan karya ulama pra modern awal dan klasik meskipun karya itu ditulis oleh ulama ahli syari’ah yang secara tajam menyadari perlunya penyesuaian kehidupan dunia dengan ajaran syari’ah. Namun, apa yang dikemukakan dalam karya mereka itu tidak dapat diasumsikan begitu saja sesuai dengan tuntutan syari’ah (al-Na’im, 2001).
Sesungguhnya apa yang mereka kemukakan dalam karyanya pada masa itu adalah dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang tidak kondusif untuk penerapan syari’ah secara ketat. Para ulama tersebut berkarya pada masa kemunduran dinasti Abbasiyah (Abad XI dan XII), yang kondisinya benar-benar kacau sehingga para ulama harus mencurahkan perhatiannya pada kesatuan dan keamanan umat Islam.
Dalam kondisi demikian itulah al-Mawardi misalnya, membenarkan perebutan kekuasaan dengan kekerasan atas dasar kebutuhan. Padahal, membolehkan perebutan kekuasaan seperti itu bertentangan dengan syari’ah. Maka Gibb mengungkapkan bahwa dengan membenarkan pengabaian hukum atas dasar kebutuhan dan kebijakan politik, al-Mawardi mengakui bahwa dalam kasus-kasus tertentu mungkin berlaku persamaan hak.
Sekali hal ini diperbolehkan maka ambruklah seluruh suprastruktur sistem peradilan. Konsekuensinya, banyak di antara para ulama harus membuat konsesi terhadap realitas umat Islam dengan mengurangi tekanan aspek-aspek syari’ah tertentu, dalam rangka melakukan rekonsiliasi dengan apa yang mereka pahami sebagai kepentingan lebih utama (al-ashlah) umat Islam pada waktu itu.
Sementara itu, beberapa ulama lain dengan mudah mengabaikan realitas dan mengalihkan perhatiannya kepada situasi ideal dengan cara menteorisasikan apa yang seharusnya. Di antara ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ibn Taymiyyah. Dalam karyanya, Ibn Taymiyyah menekankan kewajiban untuk patuh pada syari’ah dan tidak jadi soal, apakah pemimpinnya sendiri mentaati syari’ah ataukah tidak.
Nampaknya tawaran Ibn Taymiyyah mendapatkan banyak kendala di lapangan dikarenakan umat Islam merasa berat untuk mematuhi aturan syari’ah secara sempurna. Maka tawaran untuk melakukan perubahan dalam hukum publik di negara-negara Islam menjadi alternatif yang banyak dilakukan dalam bentuk sekularisasi hukum kehidupan publik. Dengan perubahan itu, baik masyarakat muslim maupun non-muslim sama-sama mendapatkan keuntungan dari sekularisasi kehidupan publik tersebut.
Sehingga penerapan syari’ah di suatu negara, menurut al-Na’im akan membuat umat Islam kehilangan banyak manfaat yang paling bermakna dari sekularisasi. Masyarakat non-muslim misalnya, akan mendapatkan status sebagai warga negara nomor dua, apabila dilakukan penerapan syari’ah Islam, berbeda apabila mereka berada di bawah naungan negara sekuler, sebab syari’ah Islam tidak memberikan persamaan konstitusional dan hukum kepada warga non-muslim.
Perempuan muslimah pun demikian, mereka akan kehilangan banyak hak dalam beraktivitas ketika berada di bawah naungan hukum syari’ah, berbeda ketika mereka berada di bawah naungan negara sekuler, mereka akan dapat menikmati peningkatan yang berarti dalam status dan hak mereka dengan bertambahnya akses ke dalam kehidupan publik dan kesempatan memperoleh pendidikan dan lapangan pekerjaan yang lebih terhormat.
Bahkan, kalangan laki-laki juga akan merasa tertekan dengan bayang-bayang permurtadan ketika mereka berada di bawah naungan hukum syari’ah. Karena itu, masing-masing dari umat Islam di suatu wilayah berhak menentukan nasibnya sendiri secara syari’ah. Tawaran yang dapat diambil untuk mendamaikan permasalahan di atas adalah dengan cara membangun suatu versi hukum publik Islam yang sesuai dengan konstitusionalisme, hukum pidana, hukum internasional, dan hak-hak asasi manusia modern.
Baca Juga: Pentingnya Kajian Sirah Nabi dalam Memahami Ajaran Islam
Dalam pandangan mayoritas umat Islam, syari’ah sudah lengkap dan final sehingga dengan menganggap ada bagian syari’ah yang kurang memadai akan dituduh bid’ah oleh mayoritas umat Islam. Pandangan semacam ini merupakan penghambat psikologis dalam upaya merekonstruksi syari’ah, apalagi jika dihadapkan pada ancaman tuntutan hukum pidana dengan dakwaan murtad (apostasy).
Untuk menembus hambatan ini adalah dengan menunjukkan bahwa sejatinya hukum publik syari’ah bukanlah hukum yang semua prinsipnya diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad Saw, dikarenakan syari’ah merupakan produk proses penafsiran dan penjabaran logis dari teks al-Qur’an dan Sunnah serta berbagai tradisi lainnya. Apabila dapat dipahamkan bahwa syari’ah disusun oleh para ahli hukum Islam awal berdasarkan interpretasi sumber asasinya (al-Qur’an dan Hadits), maka umat Islam kontemporer akan lebih terbuka menerima kemungkinan reformasi syari’ah secara substansial.
Muhammad Imarah mengungkapkan bahwa umat Islam dalam memahami teks keagamaan dibagi menjadi dua; kelompok liberal dan ortodoksi. Kelompok liberal terlalu berlebihan dalam mengemukakan konsep ijtihad sementara kelompok ortodoksi terlalu berlebihan dalam membatasi ijtihad sehingga sampai pada titik jumud. Karena itu, harus diambil jalan tengah dengan merujuk pada pendapat Umar.
Di mana ia telah melakukan banyak ijtihad, yakni dengan membatasi wilayah ijtihad pada urusan duniawi meskipun teksnya bersifat qat’i. Sebagai contoh, Umar pernah tidak memotong tangan pencuri dikarenakan kondisinya sedang paceklik. Umar juga tidak membagi 4/5 harta rampasan perang kepada tentara namun menaruhnya di bayt al-mal dikarenakan banyak fakir miskin, janda, dan orang tua.
Yang lebih membutuhkan daripada tentara meskipun mereka tidak ikut perang. Tentang jatah mua’llaf untuk menerima zakat, Umar juga pernah tidak memberikannya karena umat Islam sudah kuat tidak butuh kepada mu’allaf dan lain sebagainya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Metode Hermeneutik dalam Memahami Islam di Era Kontemporer. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Model Studi Hukum Islam Kontemporer"
Posting Komentar