Model Komparasi dalam Memahami Agama Islam
fikriamiruddin.com - Dalam melakukan penelitian Hadits, Rahman mengungkapkan dua model tipologi yang kontradiktif, pemikiran tradisionalis dan pemikiran modernis. Dua model tipologi tersebut bagi Rahman merupakan persoalan epistemologis, karena dalam praktiknya setiap kali ia melakukan kajian dengan objek apa pun ia selalu dibayangi oleh dua wajah tipologi keagamaan dengan karakteristik yang berbeda.
Karakteristik dari pemikiran kelompok pertama adalah tekstualis, literalis, formalis, dan normatif-doktriner. Sementara itu, karakteristik pemikiran kelompok kedua adalah pluralis, humanis, liberalis dan kadang sekularis. Perbedaan di atas menyadarkan Rahman pada upayanya untuk membangun konsep-konsep Sunnah dan Hadits yang lebih general dan tidak parsial. Rahman menemukan bahwa antara dua tipologi di atas terjadi perbedaan yang tajam dan tidak ada titik temu.
Karena itu, Rahman berusaha untuk mengembalikan posisi Hadits pada posisinya semula, yakni menjadi Sunnah dan tradisi yang hidup. Muhammad al-Ghazali dalam al-sunnah bayna Ahl al-Hadits wa Ahl al-Fikih membagi dua kelompok yang berbeda dalam memahami Sunnah. Ada kelompok Ahl al-Hadits yang tradisionalis, ortodoks dan tekstual, dan ada kelompok Ahl al-Fikih yang cenderung memahami Sunnah melalui pendekatan lima hukum fikih.
Menurut al-Ghazali pemahaman dua kelompok yang berbeda ini sering memunculkan gap yang tidak dapat didamaikan. Maka harus diambil jalan tengah untuk meminimalisir perseteruan di antara keduanya dengan cara menggabungkan dua pemahaman tersebut untuk diambil pemahaman yang lebih baik. Sebagai contoh, dalam memahami hukum salat tahiyyat al-masjid di saat khatib Jum’at sudah naik mimbar, kalangan ahl al-Hadits lebih memilih salat daripada duduk mendengarkan khutbah.
Hal tersebut dikarenakan ditemukan Hadits yang mengungkapkan bahwa Rasulullah Saw menyuruh seorang sahabat untuk menunaikan salat sunnah pada saat Nabi sedang berkhutbah. Pemahaman semacam ini adalah bentuk dari pemahaman yang tekstual, sementara kalangan ahl al-Fikih mengungkapkan bahwa mendengarkan khutbah lebih baik daripada salat, sebab dalam hukum fikih disebutkan bahwa apabila ditemukan dua persoalan yang bertemu pada saat bersamaan, maka yang wajib diutamakan daripada yang sunnah.
Baca Juga: Pentingnya Kajian Sirah Nabi dalam Memahami Ajaran Islam
Mendengarkan khutbah hukumnya adalah wajib, sementara salat tahiyyat al-masjid adalah sunnah. Karena itu, dahulukan yang wajib, yakni mendengarkan khutbah dan sisihkan salat tahiyyat al-masjid dikarenakan hukumnya sunnah. Jangan meninggalkan yang wajib demi terlaksananya sesuatu yang sunnah. Maka, al-Ghazali lebih berpihak kepada ahl al-fikih.
Demikian juga mengenai hukum hijab. Menurut kalangan ahl al-Hadits, hijab dimaknai dengan niqab (cadar), sementara kalangan ahl al-Fikih memaknai hijab dengan jilbab (kerudung biasa). Alasan yang dikemukakan oleh ahl al-Hadits adalah bahwa ketika sedang salat, seorang wanita boleh memperlihatkan wajah dan dua telapak tangannya dikarenakan sedang beribadah, menghadap Tuhan, sementara ketika di luar shalat, ia berkomunikasi dengan manusia.
Wajah adalah awal dari sumber fitnah, maka wajah harus ditutup di luar salat. Sementara itu, kalangan ahl al-Fikih mengungkapkan bahwa tidak ada beda antara batasan aurat wanita dalam ibadah dan di luar ibadah. Apa yang sudah ditetapkan oleh Allah terkait dengan aurat wanita pada saat salat juga berlaku untuk di luar salat. Al-Ghazali mengungkapkan bahwa dua kelompok tersebut sama-sama memiliki alasan yang kuat.
Karena itu, bentuk hijab adalah pilihan masing-masing wanita, boleh pakai cadar boleh tidak. Yang terpenting menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan dua telapak tangan. Tentang seorang wanita karir, al-Ghazali mengungkapkan bahwa boleh seorang wanita bekerja di luar dengan catatan tidak melupakan kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Apalagi jika tugas di luar rumah terkait dengan kegiatan sosial seperti mengajar, mengobati orang sakit, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Metode Hermeneutik dalam Memahami Islam di Era Kontemporer
Meskipun demikian, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, menjaga aurat dan pekerjaan yang dilakukannya sesuai dengan kodratnya sebagai wanita. Jangan sampai ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kodratnya, misalnya polwan yang bertugas mengatur jalan raya, memikul beban berat (kuli), tentara yang terjun di lapangan, tukang becak, atau sopir angkot dan lain sebagainya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Model Tafsir Sastra di Era Kontemporer. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Model Komparasi dalam Memahami Agama Islam"
Posting Komentar