Memahami Modernisasi dalam Perspektif Islam
fikriamiruddin.com - Modern, diistilahkan oleh beberapa pemimpin muslim sebagai sikap untuk mengikuti model Barat di bidang pendidikan, teknologi, dan industri. Modernisme juga berarti ide-ide impor mengenai sekularisme, sosialisme, dan industrialisasi. Isu sentral dari modernisasi di bidang pemikiran Islam adalah mengharmonikan keyakinan agama dengan pemikiran modern. Lebih jauh lagi bisa dikatakan bahwa modernisasi menekankan pada kemajuan (progressive), ilmiah (scientific), rasional (Ahmed, 1992).
Arus modernisasi yang terjadi pada suatu masyarakat; pedesaan, lebih-lebih perkotaan, telah banyak menggeser beberapa pola pikir, seperti kepemimpinan, dari polimorfik ke monomorfik. Para kyai yang tadinya mengurusi banyak peran, dalam perkembangannya menjurus ke satu peran. Di perkotaan peran keagamaan ini pun terpilah-pilah kembali, yakni setelah munculnya para cendekiawan muslim.
Sehingga dalam soal keagamaan, masyarakat Islam kota malah lebih cenderung berpaling ke para cendekiawan muslim ini. Meski para cendekiawan muslim, barangkali tingkat kedalaman keagamaannya lebih dangkal apabila dibandingkan para kyai. Mereka menjadi sumber acuan keagamaan dikarenakan pemikiran yang lebih rasional dan empirik (Marijan, 1997).
Modernisme dan tradisionalisme merupakan dua fenomena global yang bisa dijumpai dalam berbagai masyarakat yang menganut agama-agama dunia, seperti halnya Yahudi, Hindu, Kristen, dan Islam. Modernisasi, pada awalnya diartikan sebagai aliran keagamaan yang melakukan penafsiran terhadap doktrin agama Kristen untuk menyesuaikannya dengan perkembangan pemikiran modern (Mahendra, 1999).
Istilah modernisme sering juga diganti dengan istilah-istilah lain seperti halnya reformism, renewal. Sedangkan istilah tradisionalisme sering pula diganti dengan istilah-istilah ortodoksi (Dekmejian, 1985). Namun, yang sering terjadi, sebagaimana kata Fazlur Rahman, beberapa sarjana Barat memahami Islam melalui pemikiran ulama klasik daripada Islam itu sendiri, sehingga Islam acapkali diklaim sebagai agama yang anti modernisasi (Rahman, 1970).
Dengan demikian, antara pandangan dunia para penganut Islam dengan fenomena sosial selalu terdapat keterkaitan, atau dialektika, yang saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam artian, Islam dalam realitas sosial bisa berperan sebagai subjek yang mendominasi dan menentukan perkembangan sejarah. Namun, pada saat yang sama, ia juga dapat menjadi objek, dikarenakan mengalami tekanan dari kekuatan dan faktor sosial lainnya.
Baca Juga: Dampak Modernisasi dan Perubahan Sosial
Bagaimana persisnya posisi Islam dalam pergumulan itu, tergantung banyak pada kemampuan dan kekuatan yang dikembangkan Islam sendiri melalui para pemikirnya, apakah ia akan menjadi subjek yang tangguh dan dinamis untuk menggerakkan dan mengarahkan perubahan sosial. Atau sebaliknya, justru Islam menjadi objek dan sasaran perubahan sosial. Seperti terlihat dalam perjalanan sejarah, Islam tidak selalu bisa sepanjang waktu memainkan peran ideal sebagai determinasi bagi para pemeluknya untuk memahami realitas.
Atau sebagai subjek perubahan sosial dan kultural. Kenyataan ini terkait banyak dengan sifat Ilahiah dan transendensi Islam itu sendiri berupa ketentuan-ketentuan yang normatif dan dogmatis, yang dipercayai berlaku universal, dan yang dipercayai pula bisa mengandung konsekuensi dan implikasi teologis yang berat tidak dipegangi atau bahkan sekedar direinterpretasikan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Di sini sering terdapat semacam ketegangan teologis antara keharusan memegangi doktrin dengan keinginan untuk memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut. Ketegangan teologis itu pada gilirannya tidak hanya menciptakan barrier psikologis bagi mereka yang peduli terhadap posisi Islam vis-a-vis realitas sosial-kultural, namun juga konflik teologis, intelektual dan sosial di antara kaum Muslim secara keseluruhan.
Kenyataan inilah yang mewarnai panorama upaya aktualisasi Islam melalui apa yang disebut sebagai pembaruan sepanjang sejarah. Ini terlihat misalnya dari dikotomi modernis revivalis; kaum muda-kaum tua, dan yang paling akhir, moderat/akomodasionis-fundamentalis. Dikotomi dan pembelaan semacam ini jelas bukan sekedar typologi, namun lebih jauh lagi berakar pada posisi masing-masing dalam menghadapi ketegangan teologis tadi, yang pada gilirannya juga membentuk pandangan dan sikap masing-masing dalam pemberian respon dan jawaban untuk upaya aktualisasi Islam.
Jika pembaruan dipahami sebagai aktualisasi Islam dalam perkembangan sosial, maka sesungguhnya ia telah hadir bersamaan dengan kelahiran Islam itu sendiri. Sejak awal perkembangannya, upaya aktualisasi itu dilakukan Nabi Muhammad sendiri, dan kemudian oleh para sahabat dan tabi’in. Puncak keberhasilan pembaruan dalam pengertian ini adalah ketika terjadinya aktualisasi Islam pada berbagai aspek kehidupan sosio-kultural pada masa Dinasti Abbasiyah di Baghdad dan Dinasti Umayyah di Andalusia.
Keruntuhan kedua dinasti merupakan titik balik dalam kehidupan kaum Muslim. Kemerosotan dan disintegrasi politik, yang pada gilirannya menimbulkan kemerosotan dalam bidang-bidang kehidupan lainnya menghantarkan umat Muslim ke dalam stagnasi. Kemunculan tiga Dinasti besar dalam masa-masa berikutnya memang sempat menumbuhkan optimisme baru di kalangan kaum Muslim.
Bahkan, Dinasti Utsmani pada masa jayanya hingga menjelang akhir abad ke-17 merupakan kekuatan politik adidaya di Timur Tengah, walau tidak berhasil mewujudkan kemajuan yang signifikan pada bidang lain, khususnya sains dan ilmu pengetahuan. Sementara di pihak lain, Eropa terus mengembangkan ilmu dan sains yang mereka transmisikan dari kawasan muslim.
Hasilnya, sementara kaum muslim mengalami stagnasi dalam banyak lapangan kehidupan, negara-negara Eropa terus mencapai kemajuan. Dan berkat kemajuan yang mereka capai melalui revolusi industri, Eropa semakin memainkan peran penting dalam peristiwa-peristiwa yang menentukan pada tingkat global. Dasar bagi kapasitas Eropa untuk melakukan dominasi adalah transformasi masyarakatnya melalui proses modernisasi dengan eksploitasi yang efektif atas kemajuan sains dan teknologi.
Hasilnya, kebangkitan Eropa modern menampilkan tipe kekuatan yang secara kualitatif berbeda dengan kekuatan-kekuatan pada masa-masa sebelumnya. Dunia muslim pernah dominan pada skala global; namun berbeda dengan Eropa, kekuatan masyarakat muslim terutama didasarkan pada keyakinan akan kebenaran Islam, perasaan kememadaian terhadap Islam.
Baca Juga: Memahami Makna Modernisasi
Tipe kekuatan Barat, pada esensinya, bukanlah pada agama, namun terutama terletak pada konsep dan institusi modern yang dalam banyak hal terlepas dari agama. Karakter khas kekuatan Eropa inilah yang selanjutnya menimbulkan semacam kecanggungan di kalangan para pemburu muslim ketika mereka mencoba merumuskan respon mereka terhadap tantangan Eropa dan dunia modern.
Di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang lain, Islam juga menegaskan bahwa Allah menginginkan kemudahan bagi umatnya. Maka dengan akal yang dimiliki oleh manusia, Islam memberikan peluang kepada umatnya untuk mengembangkan pemahamannya terhadap ajaran Islam. Di antara manfaat yang bisa diambil dari kesempatan ini adalah agar ajaran Islam itu berada dalam daya dan kemampuan manusia, sebab suatu ajaran, termasuk agama, tidak akan berfaedah dan tidak akan membawa perbaikan hidup yang dijanjikannya, jika tidak dilaksanakan.
Tentu saja, kemampuan manusia di dalam melaksanakan suatu ajaran tergantung kepada keadaan masing-masing. Maka untuk membawa ke arah itu, manusia harus membawanya ke dalam dirinya, ke dalam lingkaran yang menjadi batas kemampuannya, dan inilah pemahaman. Jadi, jelas ada dimensi atau unsur kemanusiaan dalam usaha memahami ajaran agama.
Pernyataan mengenai adanya unsur manusiawi dalam memahami ajaran agama ini memang mengisyaratkan adanya intervensi manusia dalam urusan yang menjadi hak progresif Allah. Maka, untuk menghindari intervensi itu, kita harus membedakan “pemahaman Agama” dari “agama”, apalagi perkembangan zaman telah menuntut umat Islam untuk mengadakan pembaruan di bidang pemikiran keagamaan dan menginterpretasikan kembali ajaran-ajaran Islam itu agar relevan dengan konteks kekinian.
Alasannya, pemikiran yang ditawarkan oleh para sarjana muslim klasik seringkali kurang mampu memberikan solusi yang tepat bagi permasalahan kontemporer. Hal itu terjadi, dikarenakan persoalan yang dihadapi pada masa lampau tidak sama dengan persoalan yang terjadi pada masa kini. Sehingga, menurut para pemikir di atas, ijtihad ulama fikih (fuqaha) pada masa lampau itu perlu diperbaharui dengan ijtihad pada masa sekarang. Dalam artian, pintu ijtihad itu tidak pernah tertutup bagi yang mampu melaksanakannya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Islam dan Problematika Sosial. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Memahami Modernisasi dalam Perspektif Islam"
Posting Komentar