Urgensi Pendekatan dan Metode dalam Kajian Islam
fikriamiruddin.com - Beberapa metode dan pendekatan diperlukan dalam memahami Islam, sebab secara operasional-konseptual bisa memberikan pandangan bahwa Islam tidak hanya berwajah tunggal (single face), melainkan berwajah plural (multifaces). Hal itu diperlukan sebab Islam sebagai agama tidak boleh dipahami melalui pintu wahyu-Nya belaka, namun juga perlu dipahami melalui wahyu-Nya belaka.
Namun juga perlu dipahami melalui pintu pemeluk-Nya, yakni masyarakat muslim yang menghayati, meyakini, dan memperoleh pengaruh dari Islam tersebut. Dalam artian, memahami Islam tidak berarti mencari kebenaran teologis atau filosofis, namun juga mencari bagaimana Islam itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial dengan berdasarkan pada fakta atau realitas sosial-kultural.
Selama ini terdapat dua model kajian Islam yang dilakukan, pertama oleh kalangan muslim sendiri, kedua oleh kalangan orientalis (Barat). Kelompok pertama menggunakan pendekatan yang disebut fideistic subjectivism / al-‘aql al-dini al-lahuti (pemikiran teologis-normatif), dan kelompok kedua menggunakan pendekatan yang disebut scientific objectivism / al-‘aql al-falsafi (pemikiran filsafat) (Sharpe, 1986).
Pendekatan pertama berupaya memahami agama secara literal, dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya (Nata, 2003). Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif adalah ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis ini.
Pendekatan ini seringkali membawa dampak ketersekatan umat. Di dalam sejarah pemikiran Islam klasik, pendekatan ini memunculkan beberapa bentuk aliran pemikiran, di antaranya Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan Maturidiyyah yang masing-masing dari pemikiran itu menyuguhkan bentuk Islam yang berbeda dan terkadang saling menyalahkan satu sama lainnya (Syafaq, 2004). Dari beberapa aliran pemikiran di atas, bisa diketahui bahwa pendekatan teologis dalam pemahaman keagamaan merupakan pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan.
Yang masing-masing bentuk tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar (truth claim) dan yang lainnya adalah salah. Pemikiran teologis ini seringkali cenderung mengkafirkan kelompok lain, yang tidak sepaham dengan kelompoknya. Antara satu kelompok dengan yang lainnya tidak pernah terjadi dialog atau saling menghargai (intolerance), masing-masing aliran cenderung eksklusif dan fanatis.
Baca Juga: Aliran Pemikiran Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di Indonesia
Sementara pendekatan kedua membahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut (Abdullah, 1987). Melalui pendekatan sejarah, seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam dunia idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan ini amat dibutuhkan dalam memahami Islam, sebab Islam itu turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Maka di dalam al-Qur’an ditemukan berbagai macam kisah-kisah sejarah, yang bisa dijadikan sebagai patokan dalam memahami ajaran Islam dan juga bisa ditemukan istilah asbab al-nuzul dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum fikih dan lain sebagainya.
Pendekatan kedua ini digunakan oleh kalangan Barat, sebagai orang luar (outsider). Dalam melakukan kajiannya, mereka tidak berangkat dari sebuah keyakinan, sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan muslim, namun dari sebuah asumsi interpretasi yang dikaitkan dengan teori dan perspektif metodologi tertentu, yang itu adalah hasil yang mereka ciptakan, sehingga hasil interpretasi mereka sering tidak sesuai dengan keyakinan kalangan muslim sebelumnya.
Sementara itu, kalangan muslim sebagai orang dalam (insider), dalam merespon hasil-hasil kajian itu seringkali bertindak a priori dan cenderung untuk menolaknya, tanpa mau mengkaji terlebih dahulu secara ilmiah, bahkan ketika ada pemikiran dari Timur yang menyadur dari pemikiran mereka dengan segera menuduhnya sebagai bagian dari misi orientalis dan cenderung untuk mengkafirkannya.
Menurut Muhammad Sa’id al-Asymawi, di sinilah letak persoalan dalam kajian keislaman, di mana ketika umat Islam mengkaji hasil pemikiran mereka, lebih banyak berpedoman pada keyakinan (keimanan) daripada tataran metode penelitian ilmiah, lebih banyak bersandar pada emosi (intuisi) daripada rasio. Sikap semacam inilah yang melahirkan aksi-aksi teror dan masalah takfir (tuduhan kafir terhadap seseorang).
Apa yang dikemukakan oleh Asymawi ini cukup beralasan sebab pendekatan teologis, yang digunakan oleh pemeluk agama bersangkutan (insider), memunculkan aliran-aliran kalam yang dogmatis. Karena itu, memahami Islam dengan menggunakan pendekatan teologis semata, tidak bisa memecahkan persoalan esensial pluralitas agama Islam saat ini. Terlebih lagi kenyataan mengungkapkan bahwa kemunculan pemikiran teologis tidak pernah lepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial masyarakat yang ada di sekitarnya.
Kepentingan ekonomi, sosial, dan politik selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Pendekatan teologis ini selalu menggunakan cara berpikir deduktif dalam memahami agama, yakni cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, sebab ajaran yang berasal dari Allah sudah pasti benar. Dimulai dari suatu keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan ini memunculkan sikap militansi dalam beragama dan berpegang teguh pada ajaran agama. Pendekatan teologis ini berkaitan erat dengan pendekatan normatif, yakni suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Allah, yang di dalamnya tidak terdapat penalaran pemikiran manusia. Di antara pendekatan-pendekatan yang berdekatan dengan normative approach adalah: missionary approach, apologetic approach dan irenic approach.
Dalam catatan Adams, pendekaran missionary approach bermula dari terjadinya booming misionaris sebagai serpihan dari umat, sekte dan gereja Kristen, bersamaan dengan pertumbuhan pengaruh politik, ekonomi, dan militer di Asia dan Afrika pada abad ke-19. Langkah-langkah yang ditempuh dalam pendekatan ini adalah misi keimanan (faith mission).
Sementara apologetic approach memiliki karakteristik apologis. Kecenderungan untuk membanggakan kemampuan Islam untuk menjawab semua tantangan di tengah perkembangan masa modern. Maka muncul sikap menjadikan masa lalu sebagai batu pijakan keluar dari kebusukan internal komunitas muslim serta hasrat untuk terlepas dari tekanan peradaban Barat. Dari sinilah mengapa apologetik itu seolah menjadi dewa penyelamat yang mampu mengangkat kehidupan muslim dari keterpurukan menuju pencerahan.
Tema-tema yang sering dikumandangkan oleh para apologis adalah soal rasionalitas Islam, dukungan Islam terhadap sains, semangat progresifitas Islam, serta pandangan etika liberalnya. Namun, karakteristik pendekatan ini realitasnya cukup ironis, sebab cara mereka menampilkan keemasan Islam, meskipun dengan mengacu pada fakta sejarah, tetap cenderung mengorbankan nilai-nilai ilmiah.
Sedangkan irenic approach merupakan upaya orang-orang Barat untuk membangun simpati (mutual sympathy) antara tradisi-tradisi agama dan bangsa. Pendekatan ini muncul seiring dengan semakin dewasanya gerakan keagamaan maupun keilmuan di Barat sejak tahun-tahun awal perang dunia kedua. Gerakan ini bertujuan untuk lebih mengapresiasikan keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap baru terhadap Islam.
Baca Juga: Aliran Pemikiran Primitif dan Modern dalam Islam
Salah satu tokoh Barat yang menggunakan teori ini adalah Bishop Kenneth Cragg, seorang teolog terlatih. Dalam beberapa tulisannya, dengan gaya bahasa yang elegan dan syair yang sensitif ia berusaha menunjukkan kepada Barat dan Kristen beberapa unsur keindahan dan nilai-nilai keagamaan yang menghiasi tradisi Islam.
Tidak bisa diragukan bahwa tinjauan yang paling produktif dalam kajian Islam telah diberikan oleh para sarjana filologi dan sejarah. Jadi, terdapat dua bentuk pendekatan yang saling berlawanan. Yakni, pendekatan yang digunakan oleh pemeluk agama yang bersangkutan (believer), dan yang kedua oleh orang lain (historian). Yang pertama mempertahankan pemahaman normatif mengenai agama-agama lain.
Cenderung subjektif, fideistic, dengan menilai orang lain benar atau salah, sebab melihatnya dari sisi teologis. Yang kedua berusaha melakukannya dengan objektif, scientific, sebab melihat agama dari sisi sejarah. Hubungan antara kedua pendekatan di atas seringkali diwarnai dengan ketegangan, baik bersifat kreatif maupun destruktif. Pendekatan yang pertama berangkat dari teks yang sudah tertulis dalam kitab suci, bercorak literalis, tekstualis atau skriptualis.
Pendekatan ini memunculkan beberapa bentuk pendidikan keagamaan, seperti pesantren-pesantren, semminary-semminary. Pendekatan yang kedua lebih bersifat historis dan menekankan perlunya telaah yang mendalam mengenai asbab al-nuzul, baik yang bersifat kultural, psikologis maupun sosiologis.
Pendekatan pertama memunculkan bentuk religious studies dan yang kedua memunculkan history of religion atau comparative study of religion. Meskipun kelompok kedua ini menginginkan penemuan objektif dari penelitiannya, namun sikap mereka tersebut masih dipertanyakan, apakah dalam kajian mengenai agama-agama tersebut dapat dicapai sebuah scientific objectifism. Kesimpulan yang bisa diambil dari uraian di atas adalah bahwa pendekatan yang berbeda akan menghasilkan hasil pemahaman yang berbeda pula.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Urgensi Pendekatan dan Metode dalam Kajian Islam"
Posting Komentar