Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan
fikriamiruddin.com - Menurut teori Ibnu Khaldun, di dalam kehidupan ini ada dua bentuk komunitas yang saling berlawanan, yakni komunitas pedesaan dan komunitas perkotaan. Masyarakat perkotaan identik dengan masyarakat yang penuh dengan keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan, sementara masyarakat perkotaan identik dengan kemajuan.
Dalam masyarakat pedesaan, tokoh masyarakat, para orangtua, dan sesepuh desa menduduki status sosial yang tinggi dan superior. Kelompok ini menjadi panutan masyarakat dan menentukan corak hubungan kehidupan masyarakat desa. Di sisi lain, kelompok yang jumlahnya lebih besar, terdiri atas anggota masyarakat secara keseluruhan dan kalangan muda, menduduki posisi status sosial lebih rendah atau subordinat.
Dalam hal memahami ajaran agama (Islam), dua komunitas (perkotaan dan pedesaan) di atas ternyata juga memiliki perbedaan (kalau tidak kontradiktif). Masyarakat desa bersifat tradisional, sementara masyarakat kota lebih modern. Peran tokoh agama di masyarakat desa tidak hanya sebagai ahli ilmu keagamaan, melainkan juga menjadi pemimpin masyarakat yang seringkali dimintai pertimbangan dalam menjaga stabilitas keamanan desa.
Karena itu, para pemimpin formal yang terdiri dari kepala desa dan pamong desa, hampir semua merupakan kepanjangan dari peranan kiai atau ulama. Mereka menduduki posisi yang sekarang ini tidak lepas dari pengaruh kiai desa tersebut. Di masyarakat muslim pedesaan, kiai atau tokoh agama dijadikan imam dalam bidang ubudiyah, upacara keagamaan dan sering diminta kehadirannya untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang menimpa masyarakat.
Peran mereka semakin kuat di dalam masyarakat ketika kehadirannya diyakini membawa berkah, misalnya tidak jarang kiai diminta mengobati orang sakit, memberikan ceramah agama dan dimintai doa untuk melariskan barang dagangan mereka. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa setiap bentuk kota awalnya adalah desa dan setiap desa pada suatu masa akan berubah menjadi kota.
Dalam artian, peralihan bentuk pedesaan menjadi perkotaan masih merupakan salah satu proses perubahan-perubahan sosial di seluruh dunia. Berarti, kota menjadi pusat perubahan sosial dan modernisasi. Hal ini terjadi karena menurut Stnislaw Wellisz, perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) ditentukan oleh faktor-faktor dorong dan tarik (push and pull factors).
Baca Juga: Masyarakat Islam dan Tantangan Modernisasi
Faktor-faktor pendorong di antaranya adalah keinginan untuk mengikuti kehidupan kota atau status sosial yang lebih maju. Daniel Lerner pada tahun 1958 menyatakan bahwa urbanisasi merupakan prakondisi untuk modernisasi dan pembangunan atau kemajuan. Modernisasi berimplikasi pada munculnya industrialisasi dan ketika terjadi proses industrialisasi, terjadilah urbanisasi dalam masyarakat tersebut.
Menurut teori Boeke, ketika budaya-budaya impor yang unsur-unsurnya lebih maju, berwatak kapitalis, berhadapan dengan budaya lokal yang berwatak tradisional, bersifat komunal, terjadi pergulatan antara budaya luar dengan budaya lokal. Pertarungan kedua budaya tersebut tidak selalu berakhir dengan model antagonistik, namun unsur yang tersisih akhirnya tidak berfungsi dan diganti unsur baru yang kemungkinan besar dimenangkan oleh unsur impor.
Unsur lokal berangsur-angsur menurun dan tidak lagi diminati oleh masyarakat tradisional dan secara radikal akan mengubah tatanan hubungan tradisional antara masyarakat, pemerintah dan agama. Dari proses modernisasi itu terjadi sekularisasi dan melanturkan tradisi keagamaan dan dunia Islam merasa diganggu oleh proses modernisasi. Dalam merespon arus modernisasi, umat Islam tidak memperoleh kesepakatan.
Ada yang memandang positif, ada yang memandang negatif. Apabila dipilah antara yang menerima dan menolak pemikiran modern, umat Islam dalam menghadapi modernitas terbagi menjadi dua, yakni sekularis dan islami. Kelompok islamis terbagi menjadi tiga, yakni tradisionalis-normatif (ortodoks), fundamentalis/revivalis (neo-normatifis), dan modernis.
Kelompok sekularis memandang bahwa urusan agama harus dipisahkan dari urusan dunia. Kelompok tradisionalis, ingin berpegang pada ajaran tradisional meskipun dunia telah berubah. Kelompok fundamentalis juga ingin tetap berpegang pada ajaran tradisional, menolak modernisasi pemikiran keagamaan, hanya saja ia juga ingin mereformasi pemahaman keagamaan tradisional yang dipenuhi oleh hal-hal yang dianggap bid’ah.
Kelompok modernis memandang bahwa modernisasi tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dari cara pandang yang berbeda tersebut, di dunia Islam muncul berbagai macam bentuk pemikiran ideologis, antara kelompok yang memandang Islam sebagai model dari sebuah realitas (model of reality) dan kelompok yang memandang Islam sebagai model untuk sebuah realitas (models for reality).
Kelompok yang pertama mengisyaratkan bahwa agama merupakan representasi dari sebuah realitas, sementara kelompok yang kedua mengisyaratkan bahwa agama merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas.
Baca Juga: Memahami Modernisasi dalam Perspektif Islam
Menurut Roland Robertson terdapat banyak ragam sikap dari gerakan-gerakan berbasis agama dalam menyikapi modernisasi dan sekularisasi. Pertama, mereka yang menunjukkan sikap skeptis dan protes terhadap perubahan mendasar dalam struktur kehidupan sosial yang diakibatkan oleh modernisasi dan sekularisasi. Kedua, yang mengikuti modernisasi namun menentang sekularisasi.
Ketiga, yang melakukan penyesuaian terhadap lingkungan modern, bahkan secara implisit menjadi agen penyebar sekularisasi. Karen Amstrong mengungkapkan bahwa kita tidak bisa menjadi religius dalam cara yang sama seperti para pendahulu kita di dunia pra modern yang konservatif. Betapun kerasnya kita berusaha menerima dan melaksanakan warisan tradisi agama pada masa keemasannya.
Kita memiliki kecenderungan alami untuk melihat kebenaran secara faktual, historis, dan empiris. Sebuah kebenaran agama tidak cukup hanya diyakini dan diceramahkan berulang-ulang, melainkan harus dibuktikan secara nyata dan fungsional dalam kehidupan riil. Baik konservatisme maupun modernisme, lanjutnya bukanlah pilihan yang tepat. Keduanya produk historis yang perlu dikaji ulang validitasnya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Dampak Modernisasi dan Perubahan Sosial. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan"
Posting Komentar