Aliran Pemikiran Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di Indonesia
fikriamiruddin.com - Meskipun dalam wujudnya pemahaman ideologi keagamaan sangat beragam, di Indonesia terutama di dalam masyarakat Jawa, hanya dikenal adanya Islam NU dan Islam Muhammadiyah. NU sering dilihat sebagai kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyah dipandang sebagai kelompok modernis. Namun, dikotomi ini kemudian dianggap tidak layak lagi, sebab dalam perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih terbuka terhadap modernitas.
Bahkan, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan. Namun, dalam memahami teks al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyah berada dalam kelompok tradisionalis. Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi Muhammadiyah, menurut Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang dianutnya, yakni paham Jabariyyah yang mengakui kehendak mutlak Tuhan.
Ketidakbebasan manusia dalam memilih perbuatannya dan memberikan daya yang kecil kepada akal untuk memahami persoalan-persoalan akidah. Meskipun demikian, kelompok tradisionalis di Indonesia biasanya bergabung organisasi bernama NU, sementara kelompok modernis, reformis, radikalis, puritan, dan fundamentalis lebih memilih Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaannya.
Karena itu, untuk lebih memudahkan pembagian kelompok umat Islam di Indonesia, seringkali hanya digunakan dua organisasi ternama tersebut. Beberapa hal yang menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyah adalah bahwa NU tidak menolak beberapa praktik ritual yang tidak tertulis dalam Hadis sahih, atau tidak sesuai dengan pemikiran modern, karena menurut mereka, sesuatu yang tidak tercantum dalam Hadis sahih itu tidak berarti bertentangan dengan Islam selama masih belum menyangkut masalah akidah.
Prinsip kaum tradisionalis adalah ‘adam al-wujud la yadullu ala ‘adam al-wujdan. Sebaliknya, Muhammadiyah menganggap sesuatu yang tidak tercantum di dalam Hadis sahih dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak boleh diamalkan, karena akan berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah. Dalam bentuk praktik ritual di waktu salat Jum’at, NU menggunakan dua adzan, sementara Muhammadiyah menggunakan satu adzan.
Bentuk mimbar yang digunakan juga berbeda, NU menggunakan mimbar bertongkat, sementara Muhammadiyah menggunakan bentuk mimbar modern. Perbedaan lain yang cukup mencolok adalah dalam penetapan awal puasa dan hari raya, pelaksanaan salat tarawih dan salat Id. Kelompok NU dalam menetapkan awal bulan puasa dan hari raya berpegang pada konsep ru’yah, sementara Muhammadiyyah berpegang pada hisab.
Baca Juga: Aliran Pemikiran Primitif dan Modern dalam Islam
Dalam pelaksanaan salat tarawih, kelompok NU berpegang pada jumlah 20 rakaat, sementara Muhammadiyah berpegang pada jumlah 8 rakaat. Dalam pelaksanaan salat Id, kelompok NU melakukannya di masjid, sementara orang Muhammadiyah di lapangan terbuka.
Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan kitab kuning sebagai bahan kajian, yakni kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa pemikir lainnya yang muncul pada abad Islam Klasik. Sementara dalam pendidikan yang dikelola Muhammadiyah, menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab putih sebagai ganti dari kitab kuning. Masih banyak lagi beberapa bentuk perbedaan yang lain, yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam memilah masyarakat Islam di Indonesia, menjadi NU dan Muhammadiyah.
Model Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Banyak di antara umat Islam yang memiliki pandangan bahwa untuk melakukan suatu perubahan dalam masyarakat adalah dengan menggunakan kekerasan (al-‘unuf). Alasan yang dijadikan untuk melegitimasi pandangan tersebut adalah konsep jihad. Pemikiran semacam ini muncul di mana-mana sehingga banyak ditemukan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam dengan mengatas-namakan agama.
Pemikiran semacam ini, menurut Jawdat Sa’id dalam kitabnya Mafhum al-Taghyir diibaratkan dengan orang melihat matahari yang kemudian menyimpulkan bahwa matahari mengelilingi dirinya (bumi), namun ia tidak tahu bahwa yang terjadi sebenarnya adalah sebaliknya, yakni bumi yang mengelilingi matahari. Demikian juga dengan mereka yang melakukan kekerasan dengan mengatas-namakan agama, ia memiliki pandangan bahwa kekerasan akan menyelesaikan persoalan.
Namun ia tidak tahu bahwa yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa kekerasan yang dia lakukan akan memunculkan kekerasan berikutnya. Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk berbuat kekerasan, di antaranya adalah keinginan untuk mempersatukan umat Islam dalam satu bentuk pemikiran, sehingga ia terjebak dalam suatu sikap yang cenderung menyalahkan orang lain yang sepemahaman.
Mereka yang terjebak dalam kelompok ini memiliki pandangan bahwa dirinya adalah yang paling benar, sehingga mudah menyalahkan orang lain. dapat dimaklumi bahwa secara psikologis, manusia sangat mudah untuk menyalahkan orang lain dan menyebut kelompok lain sebagai kelompok yang sesat, sementara ia lupa dengan kesalahan dirinya. Ia lupa bahwa dalam Islam dikenal adanya taubat, yakni dengan cara mengingat kesalahan diri sendiri.
Sehingga seseorang yang tidak pernah melihat kesalahan dirinya sendiri, ia tidak akan pernah mencoba untuk bertaubat. Sikap ini bisa dimaklumi lantaran melihat kesalahan diri sendiri lebih sulit daripada melihat kesalahan orang lain. Sesungguhnya, sikap merasa tidak bersalah dan menuduh orang lain salah adalah sikap yang tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an, namun sikap yang pernah diambil oleh Iblis ketika dikeluarkan dari surga lantaran tidak mematuhi perintah Allah.
Di mana ia mengatakan fa bima aghwaytani, di sini seakan-akan Iblis melimpahkan kesalahan dirinya kepada Allah, bahwa Allah-lah yang menyebabkan ia melakukan kesalahan. Sementara sikap Adam ketika dikeluarkan dari surga ia tidak mengambil sikap sebagaimana Iblis, namun ia mengungkapkan rabbana zalamna anfusana, di sini Adam mengakui segala kesalahannya, tidak seperti Iblis yang melimpahkan kesalahan kepada Allah Swt.
Maka sikap yang paling baik dalam melihat sesuatu adalah dengan melihat kesalahan diri sendiri meskipun itu berat untuk dilakukan, sebab dengan melihat kesalahan orang lain akan membuat persoalan menjadi semakin rumit dan sukar diselesaikan. Suatu persoalan tidak akan terselesaikan kecuali dengan cara mencintai orang yang berselisih dengan diri kita. Namun, bagaimana itu bisa kita lakukan?
Bagaimana kita bisa mencintai sebuah kesalahan dan orang yang melakukan kesalahan? Caranya adalah dengan menanamkan rasa cinta kepada orang lain sebagaimana kita mencintai diri kita, sebagaimana menanamkan rasa kesedihan ketika orang lain sedang bersedih, seakan-akan kita juga mengalami kesedihan yang sama, atau ketika melihat orang lain sakit, kita seakan-akan merasakan sakit yang sama.
Menghindari tindakan kekerasan secara fisik bisa diawali dengan menjaga lisan kita untuk tidak mudah menyalahkan orang lain, menghina orang lain, mengejek orang lain, dan itu harus diawali dengan membersihkan hati kita dari segala penyakit iri, dengki, benci, dengan menanamkan rasa cinta kepada orang lain. Muhammad Iqbal pernah mengatakan, hiduplah bersama manusia dengan bermodalkan cinta, niscaya engkau akan melihat cahaya di setiap tempat.
Ada baiknya apabila melihat prinsip para tokoh sufi yang mendahulukan asas kemanusiaan dalam menyelesaikan persoalan. Hal itu sesuai dengan ayat al-Qur’an yang berbunyi “Idfa’ bi allati hiya ahsan fa idza alladzi baynaka wa baynahu ‘adawatun ka annahu waliyyun hamim.” Imam al-Ghazali sendiri mengedepankan asas kemanusiaan, persaudaraan dalam menyelesaikan persoalan.
Kembali kepada persoalan upaya mempersatukan umat Islam dalam satu kelompok pemikiran, bagaimana hal itu bisa direalisasikan? Ada kelompok yang berpendapat bahwa dengan upaya untuk mempersatukan umat Islam adalah dengan cara menuduh kelompok lain sesat, memusuhinya dan memeranginya, baik dengan cara lisan maupun dengan gerakan fisik. Upaya semacam ini sesungguhnya tidak akan menyelesaikan persoalan, tidak akan bisa mempersatukan umat Islam bahkan justru akan semakin membuat persoalan menjadi rumit dan umat Islam semakin pecah.
Baca Juga: Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan
Jadi, pemikiran untuk mengintrospeksi diri sendiri dan mengakui kelemahan dan kesalahan adalah langkah awal yang harus dilakukan dalam upaya untuk mendamaikan umat Islam, sebab cara inilah yang telah ditempuh oleh para Nabi sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an “Wa la taj’al fi qulubina ghillan li alladzina amanu.”
Kelompok fundamentalis, radikal dan sekuler, sama-sama tidak mengikuti cara ini, sebab mereka sama-sama mengedepankan sikap kebencian terhadap kelompok lain dalam menyelesaikan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat Islam. mereka membenci orang sakit, namun tidak mencari faktor penyebab munculnya penyakit untuk kemudian dicarikan obatnya. Karena itu, setiap dari kita sudah mabuk dan tidak punya sikap cinta kasih.
Karena itu, setiap orang memiliki kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya tanpa harus menunggu izin dari orang lain, sebab orang lain tidak berhak untuk melarangnya. Sesungguhnya upaya untuk memaksakan pendapat pribadi kepada orang lain adalah cara penjajah, dan cara inilah yang menjadi faktor terjadinya pertikaian yang ada di muka bumi ini.
Demikian juga dengan beragama, seseorang tidak berhak dipaksa oleh orang lain untuk memeluk suatu agama, sebab dalam ayat al-Qur’an disebutkan “La ikraha fi al-din”, tidak ada paksaan di dalam beragama, sehingga seorang memiliki hak untuk tidak beragama jika sudah menjadi keyakinannya.
Hal tersebut bisa dimaklumi lantaran Allah sendiri tidak suka dengan orang munafik, seakan-akan ia beragama sementara ia sendiri tidak beragama. Karena itu, Islam tidak melegitimasi bentuk kekerasan yang dijadikan sebagai upaya melakukan perubahan.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Masyarakat Islam dan Tantangan Modernisasi. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Aliran Pemikiran Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di Indonesia"
Posting Komentar