Pendekatan Sanad dan Matan dalam Kajian Hadis
fikriamiruddin.com - Seiring dengan perkembangan penulisan Hadis, kemudian muncul semacam metode kajian Hadis untuk melacak validitas sebuah Hadis. Ilmu yang mengkaji secara lengkap mengenai metode pelacakan Hadis disebut dengan ulum al-Hadis. Dalam kajian mengenai Hadis itu disebutkan bahwa metode yang umum digunakan adalah melalui penilaian terhadap sanad (perawi Hadis) dan matan (teks Hadis).
Persoalan yang muncul ketika mengkaji sanad dan matan adalah bahwa dua komponen Hadis tersebut tidak mungkin muncul mendadak begitu saja tanpa masa perkembangan sebelumnya, baik sisi teknis maupun materinya. Suatu Hadis yang dianggap tidak resmi (dha’if) bisa jadi sungguh-sungguh ada pada masa hidup Nabi Muhammad Saw sendiri saat itu.
Kata sanad berarti mu’tamad (sandaran), tempat berpegang yang dipercaya atau yang sah. Secara terminologis, sanad merupakan silsilah orang yang menghubungkan kepada matan Hadis, yakni silsilah orang-orang yang menyampaikan materi Hadis, baik berupa perkataan, perbuatan, dan keputusan. Dalam ilmu Hadis, sanad merupakan neraca untuk menimbang sahih atau tidaknya suatu Hadis.
Untuk menguji apakah sebuah Hadis benar-benar bersumber dari Rasulullah Saw atau tidak. Syarat sahnya sebuah sanad di antaranya adalah persambungan sanad para perawi, keadilan perawi, tingkat kemampuan perawi dalam memelihara Hadis (dhabit), terhindar dari syadz, dan terhindar dari illat. Sementara itu, kata matan berarti tanah yang tinggi.
Secara istilah, matan memiliki beberapa definisi yang pada dasarnya memiliki makna sama, yakni materi atau lafadz Hadis itu sendiri atau suatu kalimat tempat berakhirnya sanad. Dalam studi ulum al-Hadis, persoalan pemahaman dan pemaknaan mengenai matan Hadis tidak hanya menempati posisi yang cukup signifikan dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Pemahaman ini didasarkan pada satu asumsi bahwa teks atau matan Hadis bukanlah sebuah narasi yang berbicara dalam ruang hampa sejarah.
Melainkan berada di tengah sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi di balik sebuah teks atau matan yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin memahami dan merekonstruksi makna sebuah Hadis. Apabila tidak, akan melahirkan kesalahpahaman penafsiran.
Baca Juga: Memahami Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam
Kemudian muncul tawaran yang berupa pendekatan untuk mendukung dalam memahami makna matan Hadis dalam sebuah masyarakat yang hidup jauh berbeda dari Nabi Muhammad, dengan cara memahami bahwa sebuah teks Hadis hanya akan jadi bermakna apabila diposisikan secara relasional dengan masyarakat pengkajinya. Sebuah Hadis tidak pernah berdiri sendiri, melainkan memiliki kaitan dengan tradisi dan komunitas beragama yang meresponinya.
Ketika Hadis dilepas dari umatnya, maka tidak akan lagi bermakna, kecuali sekedar bundelan kertas yang dipenuhi goresan tinta di koleksi perpustakaan. Hadis, yang secara etimologis berarti cerita, penuturan atau laporan, adalah sebuah narasi. Biasanya narasi ini sangat singkat dengan tujuan memberi informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan, disetujui atau tidak disetujui oleh Nabi Muhammad.
Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab, apa-apa yang pernah didengar atau diterimanya dari seorang gurunya. Maka metode yang sering digunakan dalam meneliti Hadis adalah kritik sanad dan matan. Persoalan yang muncul dalam menggunakan Hadis sebagai landasan teks adalah ketika Hadis itu dinilai tidak valid atau lemah (dha’if) dari sisi sanad-nya (al-Ghazali, 1989).
Sebagian umat Islam, menerima Hadis lemah (dha’if) dari sisi sanad untuk dijadikan sebagai landasan normatif dari suatu praktik keagamaan selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Sementara sebagian umat Islam lainnya, tidak menerimanya. Kelompok kedua ini tetap bersikeras dengan pernyataan bahwa riwayat-riwayat Hadis yang valid dan bisa dijadikan rujukan untuk suatu praktik keagamaan adalah yang teruji dari sisi sanad dan matan-nya.
Sehingga suatu praktik keagamaan yang merujuk pada Hadis Nabi, melainkan tidak teruji dari sanad dan matan-nya diklaim sebagai bid’ah (Hamim, 1997). Faktor inilah yang kemudian mendorong kelompok kedua menyerang tradisi keagamaan yang diyakini tidak ada landasan dari Hadis yang sahih.
Sementara itu, mereka yang tetap menggunakan Hadis itu mengatakan bahwa menggunakan pendekatan matan dan mengabaikan pendekatan sanad dalam melakukan kajian Hadis Nabi, tidak berarti melupakan aspek penting dari Hadis, sebab dengan menggunakan pendekatan matan dalam melakukan kajian Hadis, tetap komitmen terhadap Sunnah sebagai sumber legaslasi setelah al-Qur’an.
Husyn Haykal seorang sarjana muslim dari Mesir mengungkapkan bahwa ulama Hadis yang mengklasifikasi Hadis menjadi shahih (valid) dan dha’if (lemah) yang selama ini berfokus pada sanad tidaklah cukup dijadikan sebagai standar baku. Haykal lebih memilih kesesuaian Hadis dengan al-Qur’an menjadi standar pilihannya yang berarti lebih berstandar pada matan daripada sanad.
Baca Juga: Al-Qur’an Sebagai Teks Suci yang Terucap
Menurut Haykal, suatu riwayat yang diyakini dari Nabi, harus dikembalikan kepada al-Qur’an. Jika sesuai dengan al-Qur’an, maka riwayat itu benar dari Nabi, namun jika bertentangan, maka bukan dari Nabi. Dalam mengemukakan pendapatnya, Haykal merujuk pada pendapat Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa suatu Hadis tidak dapat disebut valid jika bertentangan dengan ungkapan al-Qur’an meskipun ia teruji dari sisi sanad-nya (Haykal, 1999).
Jika melihat perdebatan yang terjadi di kalangan para sarjana muslim dalam melakukan kajian Hadis, maka sulit menemukan satu paradigma tunggal yang bisa digunakan untuk menghakimi suatu Hadis sah ataukah tidak. Namun, yang jelas bahwa pro dan kontra mengenai keabsahan suatu Hadis harus disikapi sebagai peluang bagi terjadinya pemahaman yang dinamis terhadap salah satu sumber ajaran Islam.
Dalam sosiologi, perbedaan pendapat semacam itu memang disebut kontroversial dengan konotasi negatif, sebab perselisihan dalam tataran pendapat dapat berkembang menjadi perseteruan antara para pendukung dua pendapat yang berlawanan. Namun, polemik yang diupayakan mampu mempertajam argumentasi masing-masing kelompok, terlepas dari kemungkinan dampak buruk yang ditimbulkannya, bisa memperkaya dialektika keberagamaan komunitas muslim secara umum (Hamim, 2006).
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Memahami Tafsir Al-Qur’an Sebagai Sumber Ajaran Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Pendekatan Sanad dan Matan dalam Kajian Hadis"
Posting Komentar