Ijtihad Sebagai Sarana Memahami Sumber Ajaran Islam
fikriamiruddin.com - Fikih bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan hanyalah interpretasi terhadap teks dalam konteks historis tertentu. Dengan demikian, fikih bisa direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu, asalkan rekonstruksi itu juga didasarkan pada sumber-sumber dasar Islam yang sama dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama. Meskipun demikian, untuk melakukan ijtihad diperlukan syarat-syarat agar tidak terjadi ijtihad yang tidak baik.
Di antara syarat atau kompetensi keilmuan yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid adalah, menguasa bahasa Arab dengan segala aspeknya, menguasai ilmu al-Qur’an dan tafsirnya, menguasai ilmu Hadis, menguasai ilmu ushul fikih sebagai sarana melakukan ijtihad, menguasai mawaqif al-ijma’ (beberapa hasil ijma’) dan menguasai ilal al-hukm (alasan-alasan dari dirumuskannya sebuah hukum).
Tentu, penguasaan setiap mujtahid terhadap ilmu-ilmu di atas tidak sama. Maka ada beberapa tingkatan mujtahid. Yang paling tinggi adalah mujtahid al-mustaqil, yakni mujtahid yang memiliki kemampuan untuk menggali hukum secara langsung dari sumbernya (al-Qur’an dan Sunnah); tingkatan berikutnya adalah mujtahid al-muntasib, yakni mujtahid yang merujuk pada metode atau ketentuan dari mujtahid sebelumnya.
Tingkatan berikutnya adalah mujtahid fi al-madzhab, yakni mujtahid yang terikat dengan imam mazhab baik dalam urusan furu’iyat maupun ushul. Tingkatan berikutnya adalah mujtahid murajih, yakni mujtahid yang membandingkan antara pendapat satu mazhab dengan lainnya untuk diambil salah satu yang menurutnya terbaik.
Apabila diamati, maka ditemukan analisa bahwa para faqih, sebagai individu, tidak berhadapan sendirian dan langsung dengan wahyu, namun melalui tradisi (al-‘urf) untuk menuju makna wahyu. Prinsip ini menjadi sumber kekuatan dan keluwesan fikih, sebab tradisi memelihara kumpulan pengalaman komunitas dan memberinya bentuk yang kuat dalam perumusan fikih.
Kenyataan itu bisa dilihat dari perbedaan antara Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan yang lainnya. Imam Abu Hanifah lebih cenderung ke aliran ahl al-ra’yi, sebab posisi dia yang jauh dari Madinah, sumber Hadis. Imam Malik lebih konservatif, sebab posisinya yang di Madinah, bisa memudahkannya memperoleh landasan normatif teks Hadis. Hasil rumusan fikih adalah produk atau anak zamannya.
Baca Juga: Ijtihad Sebagai Upaya Memahami Islam Setelah Nabi Wafat
Dalam artian, tradisi pemikiran tidak bisa dipisahkan dari determin-determin historis yang mengitarinya. Rumusan fikih merupakan hasil akulturasi dinamis-kreatif antar berbagai faktor determinan, baik internal maupun eksternal, sehingga memiliki keunikan tersendiri (ada kearifan lokal). Dalam memahami fikih, perlu dibedakan antara aspek umum atau tradisi besar (high tradition) dan aspek khusus atau tradisi kecil (little tradition).
Sebagai contoh, bahwa pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah aspek umum, yang semua tahu bahwa keputusan itu disebutkan dalam ayat al-Qur’an. Namun, terdapat aspek khusus, di mana para ulama fikih berbeda pendapat, yakni mengenai ketetapan batasan minimal seorang pencuri sudah layak untuk dipotong tangannya. Selain itu harus dipahami juga bahwa wilayah kajian fikih itu adalah dalam hal ubudiyah (ibadah) dan ijtima’iyah (kemasyarakatan).
Persoalan kemasyarakatan terus berkembang, maka kajian fikih juga ikut berkembang. Maka ada proses pembaruan rumusan fikih sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Maka pembaruan pemikiran fikih menjadi keniscayaan, namun tidak bermaksud menghapuskan, tetapi melanjutkan, agar rumusan fikih sesuai dengan konteks kekinian. Pemikiran manusia bukan semata pandangan kosong, namun termasuk sesuatu yang hidup, sehingga terus berkembang sesuai dengan kondisi zaman.
Alasannya adalah bahwa agama itu tetap, namun pemahaman terhadap agama (al-fiqh) terus berkembang sesuai dengan kondisi zaman dan masyarakat setempat. Akh. Minhaji juga mengatakan bahwa adat (budaya) telah memainkan peran yang strategis dalam membentuk hukum Islam, di mana pun Islam itu berada, termasuk di Indonesia. Islam sebagai Ideologi cukup berperan dalam menentukan perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat, sebab manusia bertindak berdasarkan ide.
Baca Juga: Pendekatan Sanad dan Matan dalam Kajian Hadis
Kemudian bagaimana cara ideologi mempengaruhi perubahan? Secara garis besar, jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah bahwa ideologi berperan mencegah, merintangi, membantu atau mengarahkan perubahan. Islam sebagai agama dan sistem nilai yang bersifat transenden, sepanjang perjalanan sejarahnya, telah membantu para penganutnya untuk memahami realitas yang pada gilirannya mewujudkan pola-pola pandangan dunia tertentu.
Pola-pola pandangan yang mendunia dalam pranata-pranata sosial dan kebudayaan itu turut mempengaruhi perkembangan dunia. Dalam konteks ini, Islam berperan sebagai subjek yang turut menentukan perjalanan sejarah. Namun, kenisbian pranata-pranata duniawi, karena keharusan sejarah, juga memaksakan perubahan dan akomodasi terus menerus terhadap pandangan dunia yang bersumber dari Islam.
Beberapa faktor yang mendorong terjadinya perubahan di atas di antaranya adalah globalisasi, perpindahan penduduk (migrasi), revolusi IPTEK, perkembangan pendidikan, kesadaran yang bertambah mengenai harkat dan martabat manusia, hubungan antar-agama yang semakin dekat, munculnya konsep negara bangsa yang berakibat pada kesamaan hak dan kewajiban warga negara di hadapan negara, pengaruh kesetaraan dan keadilan gender dan lain sebagainya (Saeed, 2006).
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Memahami Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Ijtihad Sebagai Sarana Memahami Sumber Ajaran Islam"
Posting Komentar