Ijtihad Sebagai Upaya Memahami Islam Setelah Nabi Wafat
fikriamiruddin.com - Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad Saw hendak mengutus Mu’adz bin Jabal sebagai hakim (qadli) di Yaman, Nabi bertanya kepadanya “Wahai Mu’adz, jika engkau hendak memutuskan suatu perkara, dengan apa kamu memutuskannya?” Mu’adz menjawab dengan merujuk kepada al-Qur’an. Nabi kemudian kembali bertanya “Jika engkau tidak menemukan landasan dari al-Qur’an, lalu dengan apa kamu memutuskan?”
Mu’adz menjawab dengan merujuk kepada Hadis Nabi. Nabi pun kembali bertanya “Jika kamu tidak menemukan di al-Qur’an dan Hadis, lalu dengan apa kamu memutuskan?” Mu’adz menjawab “Aku akan berijtihad dengan pikiranku.” Mendengar jawaban itu, Rasulullah Saw mengakhiri dialognya sambil menepuk-nepuk dada Mu’adz seraya bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah Saw ke jalan yang diridlai oleh Rasulullah Saw.”
Riwayat tersebut menjadi landasan penting ketika berbicara mengenai ijtihad. Kisah tersebut menjelaskan bahwa diperbolehkannya ijtihad oleh Mu’adz di saat Nabi masih hidup lantaran jarak antara Nabi di Madinah dan Mu’adz di Yaman cukup jauh, sementara pada saat itu belum ditemukan alat transportasi yang memudahkan proses perjalanan dari Madinah ke Yaman, ditambah belum ditemukannya alat komunikasi modern seperti saat ini.
Di mana pada saat itu belum ada telepon yang bisa membantu Mu’adz untuk melakukan komunikasi secara cepat dengan Rasulullah Saw. Kesulitan berkomunikasi secara cepat dengan Rasulullah Saw itulah yang kemudian melegitimasi pilihan ijtihad. Seandainya pada masa itu ditemukan sarana komunikasi seperti sekarang, mungkin Rasulullah tetap melarang Mu’adz untuk melakukan ijtihad.
Dalam artian, terpisahnya umat Islam dari Rasulullah, baik sebab jarak, waktu, atau kesempatan membolehkan umat Islam untuk melakukan ijtihad untuk memecahkan suatu persoalan apabila tidak ditemukan penjelasannya dari al-Qur’an dan Hadis.
Ijtihad sendiri berasal dari kata jahada, yang secara etimologis berarti mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mendapatkan sesuatu yang sulit atau yang ingin dicapainya (badzl al-juhdi wa al-thaqati/ mencurahkan segala kemampuan dan kekuatan, atau badzlu al-juhdi li istinbat al-ahkam min al-nass/ mencurahkan segala hukum dari teks wahyu). Dalam kajian fikih, ijtihad dimaknai sebagai pencurahan segenap kesanggupan secara maksimal dari seorang faqih (ahli fikih) untuk mendapat pemahaman terhadap suatu hukum.
Baca Juga: Pendekatan Sanad dan Matan dalam Kajian Hadis
Bisa juga dipahami bahwa ijtihad adalah upaya untuk merumuskan sebuah hukum suatu permasalahan yang tidak ada teksnya. Dengan demikian, ijtihad itu terkait dengan pelakunya yang merupakan ahli fikih, yang bertujuan untuk mengungkap hukum syariat yang hasilnya adalah fikih. Dalam artian, kebenaran dari hasil rumusan fikih tidak absolut, yang memiliki kemungkinan salah, namun ia benar menurut perumusnya.
Jadi, ijtihad adalah mengupas makna yang terkandung dalam sebuah teks untuk diputuskan hukum fikih dari teks tersebut. Putusan fikih itu bersifat subjektif sebab berbentuk dugaan. Pengetahuan yang dirumuskan dari hasil ijtihad adalah pendapat. Pengetahuan itu adalah yang terbaik yang bisa dicapai oleh mujtahid. Meskipun demikian, mereka yang bisa sampai pada kesimpulan-kesimpulan berbeda berhak atas pendapatnya, sebagaimana yang lain berhak atas pendapatnya sendiri.
Dalam menyikapi ijtihad, terdapat dua kelompok yang sama-sama kurang tepat dalam memahami hubungan antara teks dan ijtihad. Pertama, kelompok yang menolak ijtihad (tajdid), yakni al-nushushiyyun/al-harfiyyun/al-salafiyyun (ortodoksi). Kedua, kelompok yang melangkah terlalu jauh dalam melakukan tajdid, sebab mengaca ke Barat, yakni al-‘almaniyun (sekuler). Mereka memaknai ijtihad sebagai upaya murni akal manusia untuk menundukkan agama sesuai dengan kehendak pembaca atau penafsir.
Dua kelompok ini dalam istilah Arkoun disebut sebagai kelompok yang memiliki pemikiran al-‘aql al-lahuti al-dughma’i (pemikiran teologis-dogmatis) untuk kelompok pertama, dan pemikiran al-‘aql al-falsafi al-librali (pemikiran filsafat liberal) untuk kelompok kedua. Pilihan yang tepat di antara dua kelompok di atas adalah posisi tengah. Dalam artian, melakukan ijtihad namun dengan tetap bersandar pada teks.
Alasannya adalah bahwa sahabat Umar bin al-Khatthab melakukan ijtihad pada wilayah yang sudah pasti (qath’i). Beberapa contoh yang bisa diungkap adalah bahwa beliau tidak memberikan jatah mu’allaf padahal ayat al-Qur’an sudah jelas menetapkannya. Hal itu dilakukan lantaran kondisi umat Islam sudah kuat, sehingga tidak membutuhkan mu’allaf. Tidak memotong tangan pencuri karena kondisi sedang paceklik.
Padahal ayat al-Qur’an menyatakan dengan jelas hukuman potong tangan bagi pencuri. Tidak membagikan jatah harta rampasan pada saat perang Haybar, padahal Hadis Nabi menyatakan dengan jelas bahwa 4/5 harus diberikan kepada bala tentara sebab kondisi keuangan di bayt al-mal sedang menipis, sedangkan jumlah fakir miskin banyak. Melarang umat Islam di masanya untuk menikah dengan wanita ahl al-kitab, sedangkan ayat al-Qur’an jelas membolehkan.
Alasan Umar adalah bahwa saat itu telah banyak umat Islam yang menikahi ahl kitab sehingga wibawa umat Islam menurun, di samping itu, dikhawatirkan keturunannya akan meninggalkan Islam. Bentuk ijtihad Umar bin al-Khatthab lainnya adalah menetapkan ucapan talak satu kali sama dengan tiga kali, sebab umat Islam banyak yang bermain-main dalam persoalan talak. Menetapkan jumlah hukuman cambuk untuk pemabuk dari 40 yang ditetapkan oleh Hadis Nabi menjadi 80 agar pelakunya jera.
Meskipun demikian, semua itu tidak tetap. Dalam artian, apa yang dikemukakan oleh Umar tidak berarti harus diterapkan sepanjang masa, namun kondisional, sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Dengan demikian, hubungan antara teks dan ijtihad adalah selalu berdampingan (al-talazun wa al-mushahabah daiman wa abadan). Ada teks, ada ijtihad dan ijtihad berangkat dari teks.
Dalam tradisi Sunni muncul para mujtahid ternama seperti Abu Hanifah di Kufah, yang dikenal dengan ahl al-ra’yi. Malik bin Anas di Madinah, yang dikenal dengan ahl al-Hadis. Imam al-Syafi’i di Baghdad yang dikenal dengan pendiri aliran moderat (al-idiyulujiyyah al-wasathiyyah), sebab mengambil jalan tengah antara rasionalitas Abu Hanifah dan konservatisme Malik bin Anas. Kemudian muncul Ahmad bin Hanbal di Baghdad yang dikenal dengan ahl al-Hadis, namun lebih ortodok.
Baca Juga: Memahami Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam
Berdasarkan penjelasan di atas, secara sederhana bisa dipahami bahwa kajian mereka itu melahirkan fikih. Maka fikih tidak sama dengan Syariah. Syariat adalah wahyu (al-Qur’an dan Sunnah). Syariah adalah segala bentuk aturan yang telah ditetapkan oleh Allah melalui al-Qur’an dan Hadis Nabi, bagi manusia tidak memiliki hak untuk merubahnya. Ia adalah hukum Islam dalam kualitas Ilahiyah.
Sementara fikih adalah pemahaman manusia terhadap Syariah atau aktivitas keilmuan manusia. Jadi, fikih adalah menemukan dan mengungkap pengertian Syariah, sehingga hasilnya cukup beragam. Fikih lahir dari hasil penafsiran yang dipengaruhi oleh kehidupan sosial para perumusnya. Maka ditemukanlah perbedaan bentuk hasil rumusan fikih dari beberapa tokoh mujtahid di atas.
Meskipun demikian, apa pun hasil yang dicapai dari proses ijtihad adalah mendapatkan pahala. Jika benar mendapat dua pahala, jika salah mendapat pahala satu. Hal itu berarti bahwa apa pun hasil ijtihad, tidak boleh disalahkan bagi orang yang berijtihad, sebab dipastikan mendapatkan pahala. Tidak ada yang mendapat dosa, hanya saja kita tidak tahu siapa yang berhak mendapat dua pahala, sebab rumusan fikih itu cukup dipengaruhi oleh fakta sosial, ekonomi, dan politik masyarakatnya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Al-Qur’an Sebagai Teks Suci yang Terucap. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Ijtihad Sebagai Upaya Memahami Islam Setelah Nabi Wafat"
Posting Komentar