Al-Qur’an Sebagai Teks Suci yang Terucap
fikriamiruddin.com - Sesungguhnya, berbicara mengenai al-Qur’an adalah berbicara mengenai teks suci. Berbicara mengenai teks suci adalah berbicara mengenai kelebihannya yang berupa keasliannya dan diakui keberadaannya, khususnya kitab-kitab suci agama-agama Samawi. Kitab Suci dalam bahasa Inggris disebut scripture, dalam bahasa Jerman disebut schrift, dan dalam bahasa Italia disebut Scrittura.
Kata ini berasal dari bahasa Latin, yakni scriptura, yang berarti tulisan. Istilah kitab suci (scripture), yang berarti tulisan atau catatan suci, seringkali digunakan sebagai istilah umum (a generic category) dalam ilmu modern. Penggunaan istilah ini, menurut the Oxford English Dictionary, telah dibuktikan kebenarannya sejak tahun 1581. Istilah ini digunakan untuk merujuk pada teks-teks non-Kitab sekaligus teks-teks Injil, bahkan istilah ini pertama kali digunakan untuk teks-teks non-Yahudi, non-Kristiani pada tahun 1805.
Setiap pemeluk agama menjadikan Kitab Suci sebagai sumber utama yang normatif dan otoritatif. Studi mengenai Kitab Suci membutuhkan studi dokumen dan konteks historis di mana Kitab Suci itu berada. Perhatian utamanya adalah untuk menetapkan teks asli, belum tercemar, merekonstruksi proses penyusunan teks, menganalisis teks demi informasi historis kontemporer dan meneliti gagasan-gagasan kunci dalam teks serta menelusuri sumber-sumbernya.
Dalam beberapa kajian fenomenologi agama, Kitab Suci cenderung didefinisikan sebagai tulisan-tulisan suci (sacret writings), yang erat hubungannya dengan istilah tulisan suci (holy writ). Kategori ini sering dipasangkan dengan firman suci (holy word). Beberapa fenomenolog menggarisbawahi dikotomi antara kata (word) dan tulisan (writ), dengan menunjukkan bahwa, sekalipun kata tertulis menentukan dan meminjamkan permanensinya pada kata terucap.
Ia juga mengancam dan bisa membunuh spirit utama kata oral yang asli, dengan mengurungnya dalam huruf. Dalam artian, bahwa membukukan bahasa oral dalam bentuk tulisan kata bisa membatasi gerak dan makna bahasa oral tersebut. Dengan cara ini, para pengkaji agama harus memperkuat delimitasi Kitab Suci pada teks hitam dan putih dan tulisan suci serta otoritas resmi dalam suatu tradisi.
Maka problem yang muncul kemudian adalah pemahaman simplistik mengenai Kitab Suci hanya sebagai kata tertulis, hanya teks fisik dari tulisan suci. Kitab suci menjadi terlalu mudah merujuk pada satu objek. Sikap ini berpusat pada pemahaman mengenai bahasa itu sendiri yang cenderung pada orientasi naskah dan visual, sehingga bertentangan dengan orientasi suara dan oral.
Baca Juga: Memahami Tafsir Al-Qur’an Sebagai Sumber Ajaran Islam
Pada akhirnya, dengan memfokuskan kajian pada bahasa teks membuat pengkaji al-Qur’an berada dalam budaya tipografi, di mana secara sadar berasumsi bahwa bentuk bahasa yang paling fundamental adalah kata tertulis atau tercetak, sehingga umat Islam kehilangan banyak dimensi budaya sastra oral-aural yang menandai peradaban umat Islam.
Di bawah dominasi kebisuan kata tercetak secara massal, umat Islam berpikiran bahwa buku adalah gudang kata-kata, data dan gagasan-gagasan tertulis, sehingga mereka memandangnya sebagai objek yang jauh lebih penting daripada teks-teks yang hidup dan diucapkan. Maka pemahaman mengenai Kitab Suci tidak secara sederhana merujuk pada suatu teks, namun juga selalu merujuk pada teks dalam hubungannya dengan tradisi yang terus hidup, yakni hubungannya dengan person atau komunitas imani yang memandangnya suci dan normatif.
Selama umat Islam menggunakan kitab suci untuk merujuk lebih pada suatu dokumen atau tidak lebih dari sekedar dokumen, maka makna kitab suci sebagai kategori yang bermakna dalam analisis mengenai agama akan menjadi minimal. Padahal kitab suci adalah sesuatu yang dihidupkan dan dijadikan sebagai pegangan hidup manusia. Apa pun siginifikansi etimologis dan harfiahnya, kitab suci adalah petunjuk yang paling hidup, di mana ia hidup sebagai realitas oral dan aural serta vokal.
Kitab suci dimaksudkan untuk dibaca, dihafal, dan diulang-ulang. Ia juga untuk didengar, direnungkan, dan diinternalisasi. Ia adalah kata tertulis yang diucapkan, sebab ia merupakan kata terucap sebelum tertulis. Pemahaman semacam inilah yang harus dikedepankan ketika memahami kitab suci yang bernama al-Qur’an.
Alasan memahami peran al-Qur’an (teks suci Islam) sebagai teks oral dalam Islam di antaranya sebagai berikut. Pertama, kata al-Qur’an berasal dari qara’a yang berarti membaca keras. Al-Qur’an juga berarti bacaan. Kedua, al-Qur’an adalah firman Tuhan yang diwahyukan kepada Muhammad melalui perantara Jibril dalam bentuk suara atau bunyi. Hingga kodifikasi atau hingga akhir wahyu yang berhenti dengan wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Tidak dijumpai penggunaan al-Qur’an untuk merujuk pada kumpulan wahyu dalam bentuk tertulis yang lengkap. Maka dalam al-Qur’an, dikenal disiplin pokok dalam studi kitab suci Islam, yakni qira’ah dan tajwid. Istilah ini merupakan istilah teknis, yang digunakan untuk merujuk tidak hanya pada tindakan atau praktik membaca keras sebagian atau keseluruhan al-Qur’an, melainkan juga pada bacaan khusus seperti pengucapan, pelafalan satu kata, frase atau ayat dalam al-Qur’an.
Dengan menganggap al-Qur’an sebagai kitab suci oral akan membuat umat Islam bisa berkomunikasi dengan ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Dalam artian, umat Islam tidak memahami al-Qur’an secara tekstual-normatif, sesuai yang tampak secara eksplisit, namun lebih menggali pada yang tidak tampak (implisit). Dengan demikian, ayat-ayat al-Qur’an menjadi terus hidup, dinamis, dan tidak mandeg (jumud).
Maka isi al-Qur’an tidak bisa diwakili hanya dengan bentuk terjemah. Buktinya, yang merupakan kitab suci adalah teks aslinya. Berbeda dengan kitab-kitab agama lain, yang bisa digantikan dengan bahasa pemeluknya. Dengan demikian, ketika memahami al-Qur’an sebagai kitab suci yang telah dibukukan, harus memahami alasan dari pembukuan al-Qur’an itu. Di mana disebutkan dalam kajian sejarah, bahwa alasan dibukukannya al-Qur’an adalah untuk kemaslahatan umat dan masa depan mereka.
Bahkan Zayd bin Tsabit yang diminta untuk menulisnya pada masa Abu Bakar merasa keberatan dengan tugas tersebut. Ia menerima tugas itu setelah diyakinkan oleh khalifah. Penulisan pun dilakukan dengan hati-hati dan merujuk pada para penghafal al-Qur’an sebagai saksi. Dalam artian, Zayd bin Tsabit tidak menulis satu ayat pun kecuali jika disertai dengan dua orang saksi. Al-Qur’an yang sudah dihimpun itu kemudian disimpan di rumah Hafshah.
Baca Juga: Al-Qur’an dan Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, wilayah Islam semakin luas dan pengikut Islam juga semakin banyak dengan berbagai macam karakter dan suku bangsa. Sementara para penghafal al-Qur’an jumlahnya masih sedikit, bahkan ditemukan perselisihan bentuk bacaan di kalangan para sahabat yang jauh dari Madinah sesuai dengan logat yang mereka miliki. Maka kemudian terjadi klaim dari masing-masing pemilik bacaan, bahwa model bacaan yang mereka miliki adalah yang paling benar.
Pada tahun 25 H, ditemukan konflik di antara kelompok yang terbiasa dengan bacaan Ubay bin Ka’ab di Syam dan kelompok yang terbiasa dengan bacaan Mas’ud di Irak. Maka Khalifah mengambil keputusan dengan membentuk panitia yang bertugas untuk menyalin mushaf yang disimpan di rumah Hafshah dengan rambu-rambu; mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal al-Qur’an.
Apabila terjadi perselisihan bacaan di antara umat Islam, maka haruslah ditulis dengan dialektika suku Qurays, sebab al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Intinya adalah bahwa dibukukannya al-Qur’an adalah untuk kemaslahatan umat Islam agar mereka bisa membaca al-Qur’an dan memahaminya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Kiai As’ad Syamsul Arifin, Penyampai Isyarah Langit dalam Pendirian Nahdlatul Ulama. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Al-Qur’an Sebagai Teks Suci yang Terucap"
Posting Komentar