Berbuat Kebajikan Sebagai Syarat Mutlak Keselamatan Beragama
fikriamiruddin.com - Praksis agama kebajikan dalam hal ini adalah sebuah orientasi praksis dalam keberagamaan seseorang. Dalam hal ini, secara praksis “Agama Kebajikan” mesti menjawab mengenai pondasi tertinggi keselamatan dalam beragama, yang kemudian diletakkan dalam icon berbuat baik, bukan dalam hal ini. Jadi, pondasi tertinggi dalam hal keselamatan dalam beragama, kalau seorang tersebut berbuat kebajikan, terkait hal ini adalah bagian dari kewajiban sosial untuk syarat keselamatan dalam beragama.
Dalam hal ini, kita bicara di manakah kebajikan itu dalam sebuah tatanan makro kosmos dalam sistem sosial yang luas? Kebajikan adalah “icon besar”, dan kemudian representasi riilnya di mana? Persoalan ini cukup mendasar, dan untuk menjawabnya kita sampai rekonstruksi Agama Kebajikan terakhir di tingkat praksis. Dalam konteks al-Qur’an, kebajikan disebutkan membawahi sebagian dari al-khayr yang meliputi al-birr, al-amal al-salih, al-ma’ruf, dan al-hasanah.
Kesemuanya ini dilawankan dengan perbuatan yang tidak baik dengan menggunakan berbagai macam terminologi al-ithm, al-fasad atau mufsid, al-munkarat, dan al-sayyiat. Semua terminologi kebajikan itu memiliki esensi dan substansi yang sama, di mana “berbuat baik” mesti ada dua entitas, yakni mereka yang berbuat baik dan mereka yang dijadikan sasaran kebajikan. Karena itu, yang disebut berbuat baik bukan soal terhadap diri pribadi, namun kepada orang lain, sesama, dan umat manusia.
Lebih jauh lagi ketika dikaitkan dengan terminologi al-‘amal al-salih yang dilawankan dengan kata al-mufsid, berbuat kebajikan dikaitkan dengan pembebasan terhadap yang tertindas. Dan orang-orang yang dianggap muslih, mereka yang menciptakan sistem yang adil untuk membela kepada mereka yang lemah. Demikian term al-ma’ruf adalah upaya membela yang tertindas dengan menggunakan cara-cara yang baik agar tidak terjadi penindasan kembali.
Dari kedua terminologi inilah mesti kita ambil kesimpulan bahwa berbuat kebajikan merupakan tindakan yang membebaskan manusia. Di dalam agama apa pun, gagasan keagamaan dimungkinkan untuk ditafsirkan secara komunal dan melawan pembebasan. Sebaliknya juga, memungkinkan untuk ditafsirkan yang mendukung pluralisme dan pembebasan. Maka diperlukan dekonstruksi gagasan-gagasan keagamaan yang sangat penting, sebab konsep-konsep kunci yang akan didekonstruksi itu memungkinkan ditampilkan secara ambigu.
Yakni mengentalkan komunalisme dan melawan pembebasan, dengan dekonstruksi diasumsikan terbalik. Pertama yang mesti dijelaskan dulu adalah visi besar dalam praksis berbuat keadilan. Visi besar di sini adalah mengasumsikan siapakah “kita” dan siapakah “orang lain”. “Kita” di sini adalah saudara yang mesti terus menggalang terwujudnya kebajikan. “Orang lain” di sini adalah mereka yang mesti dilawan atau ditempatkan sebagai bukan “kita” dalam menggalang kebebasan itu.
Baca Juga: Agama Kebajikan Sebagai Konstruksi Berbasiskan Teologi Islam
Suatu fakta kepengikutan formal dalam beragama tidak menjamin seseorang untuk disebut sebagai orang yang beragama secara tulus. Hal itu ditegaskan dalam surat al-Ma’un yang terkenal itu. dalam surat tersebut jelas yang dituju adalah mereka yang beragama komunal. Banyak di antara mereka yang “mengangkangi” ajaran-ajaran agamanya yang dikategorikan sebagai “pendusta agama” adalah mereka yang mengabaikan anak yatim.
Mereka yang mengabaikan dan menolak menolong fakir miskin, mereka yang rajin salat, namun lalu dengan maksud dan tujuan salat, bahkan sekedar ingin dipuji-puji, dan mereka yang enggan memberi pertolongan kepada sesama. Pernyataan tegas al-Ma’un bisa dijadikan sebagai dasar konstruksi untuk melihat, bahwa teks-teks suci sejatinya mengkonstruksi realitas sosial, bukan sebaliknya.
Apalagi secara sosial, al-Ma’un di atas memang mencoba mewadahi persoalan-persoalan di zaman Nabi. Dari konsep ini, maka “kita” didefinisikan sebagai orang-orang yang berbuat kebajikan di mana pun tempatnya (lintas agama) dan mengaitkan persaudaraan “seiman” mesti dimaknai sebagai orang-orang mukmin yang tidak berdusta dan mereka (lintas agama) yang juga tidak berdusta.
Orang-orang inilah yang kemudian kita definisikan sebagai “kita”. Sementara mereka yang melakukan penindasan (walau satu komunitas) pun, kita anggap sebagai “orang lain”, yang mesti dilawan dengan cara-cara yang santun. Dari sini pula, beragama kebajikan tampak sebagai upaya keteguhan seseorang (hanif) dalam mengabdi kepada Tuhan. Mereka-mereka yang teguhlah yang bisa memaknai persaudaraan kemanusiaan.
Baca Juga: Pendekatan yang Digunakan dalam Memahami Teologi Islam
Keteguhan Ibrahim, keteguhan Muhammad, Isa, dan Sidharta adalah keteguhan berkeyakinan dan praktik melawan penindasan yang didasarkan pada simbol-simbol keberhalaan yang berwujud apa saja, yakni masjid, gereja, kuil, sinagog, kekuasaan, uang, dan apa pun yang dapat digunakan untuk melakukan penindasan, atas nama agama dan Tuhan sekalipun. Kalau begitu beragama kebajikan sangat simple, kita bisa menjadikan siapa pun sebagai saudara, bagi mereka yang berbuat kebajikan, lantaran “berbuat kebajikan” di situ adalah satu-satunya syarat dalam keselamatan beragama.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Persoalan dalam Memahami Studi Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Berbuat Kebajikan Sebagai Syarat Mutlak Keselamatan Beragama"
Posting Komentar