Manusia dan Kejadiannya dalam Teologi Islam
fikriamiruddin.com - Tuhan menciptakan manusia dalam kejadian (fitrah) yang paling tinggi dibanding dengan segala makhluk. Di samping Tuhan memberikan kepada manusia perasaan syukur, yang dengannya manusia dapat merasakan apa itu nikmat dan kelezatan hidup. Selain itu, juga derita kepahitan yang bukan bersifat jasmani, yang oleh karena itu hidupnya berbeda dengan kehidupan binatang.
Tuhan juga menjadikan manusia mempunyai akal dan daya untuk memperoleh pengetahuan yang tidak terbatas, sebab Tuhan menciptakannya untuk hidup yang tidak terbatas pula (dunia dan akhirat). Menurut Abduh, manusia itu hidup berdasarkan iman dan akidah-nya. Jika iman dan akidah-nya benar, maka akan benar pula perjalanan hidupnya. Akidah itu bisa benar apabila manusia mempelajarinya dengan cara yang benar pula.
Jika mencarinya dengan cara yang tidak benar dan dari sumber yang tidak benar, maka kemungkinan tersesat cukup tinggi. Karena itu, haruslah manusia memilih dan memilah mana yang benar-benar dari yang kelihatannya benar namun tidak benar sebagaimana banyak bermunculan aliran-aliran sesat di masyarakat. Pendirian inilah yang mendorong Abduh untuk menegakkan tauhid dan berjuang untuk hidupnya.
Ia mengajar dan menulis tauhid untuk umum dan mahasiswa. Demikian pula Imam Abdul al-Wahhab yang berusaha menegakkan sendi-sendi tauhid, memurnikan ajaran Islam dari praktik tahayul, khurafat, dan bid’ah.
Terdapat tiga persoalan teologis yang perlu dijawab. Pertama, Allah adalah yang mencipta manusia dan mencipta semua perbuatannya, mengapa Ia menghisab perbuatan jahat yang dilakukannya, sedang Ia-lah yang mencipta? Kedua, apakah maksud firman Allah: Ia menyesatkan siapa saja yang dikehendaki dan menunjuki siapa saja yang dikehendaki.
Ketiga, apabila Allah telah menentukan diriku menjadi orang yang celaka, lalu bagaimana dengan amalku, dan mengapa Ia menyiksaku? Atau sebaliknya, jika Allah telah menentukan diriku bernasib selalu mujur dalam durhaka kepada-Nya, lalu kedurhakaan itu bagaimana?
Baca Juga: Aspirasi Menegakkan Identitas Agama dalam Teologi Islam
Manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki keunikan dibanding dengan semua ciptaan (makhluk) lainnya. Meskipun manusia makhluk yang paling mulia, namun pada diri manusia terkandung sifat-sifat yang sama dengan benda, tanaman, dan hewan. Semua yang berhubungan dengannya adalah musayyar (dijalankan, ditentukan), tidak memiliki iradah (kemauan atau kehendak) atau ikhtiar sama sekali.
Misalnya, apabila ada orang yang dapat terbang tinggi, maka ia pasti akan jatuh seperti kepingan batu, sebab hukum mengenai benda berlaku di dalamnya (gravitasi). Manusia berkembang sedikit demi sedikit, tanpa adanya campur tangan dan usaha manusia, sebab hukum mengenai tanaman berlaku di dalamnya. Ia dapat merasakan tanpa ikhtiar atau bergerak dengan gerak refleks.
Sedangkan ia tidak memiliki peran usaha sama sekali dalam merasakan dan bergerak tersebut. Ia tidak tahu bagaimana alat pencernanya bekerja, bagaimana alat kandungannya melakukan fungsinya, bagaimana terjadinya proses pernafasan yang berfungsi menjaga kehidupan ini. Tegasnya tidak pernah merasakan bahwa ia memiliki iradah dalam tugas-tugas organik, pelaksanaan fungsi-fungsi organ tersebut, sehingga hukum hewan dan tumbuh-tumbuhan berlaku di dalamnya.
Jadi, sifat yang sama dengan sifat benda, tanam-tanaman dan hewan yang ada pada manusia adalah musayyar (artinya hanya ditentukan, dijalankan saja). Tak ada bagian dari proses organik ini yang dikontrol secara sadar atau dipahami oleh seseorang, apalagi dengan hukum mekanika tertutup. Sebab kita tak punya kontrol kesadaran terhadap proses pemberian gizi terhadap tubuh kita, kita tak dapat mengatakan “Aku memasukkan makanan ke mulut, merencanakan dan mengatur segala sesuatu untuk makan, mencernanya, mendistribusikannya ke tempat yang diperlukan”.
Jika kita memang melakukannya, apakah kita tidak akan menghubungkan diri kita dengan perbuatan Tuhan. Kita harus mengakui realitas. Ketika kita memasukkan makanan ke mulut, proses yang luar biasa mulai beroperasi. Sebuah tangan yang tak terlihat akan kuat menggerakkan proses ini sesuai dengan waktu yang dibutuhkan. Zat yang mengawali dan memelihara semua proses ini adalah Tuhan, artinya musayyar.
Sepanjang hal-hal yang bersifat musayyar (ditentukan, dijalankan Tuhan), maka manusia tidak memiliki kebebasan mutlak. Karena itu, yang musayyar ini manusia tidak diminta pertanggung-jawaban. Manusia tidak akan ditanya mengenai “Mengapa anda lahir, mengapa rambutmu lurus tidak keriting, mengapa anda lahir di negara A, kenapa dilahirkan dari ibu dan ayah yang kaya? Dan lain sebagainya.
Sebab kita tidak dapat memilih agar terlahir dari orang tua yang bernasib seperti apa. Seandainya dapat kita memilihnya, niscaya kita minta dilahirkan dari perut itu yang bernasib beruntung dalam segala aspek mulai dari berilmu, kaya, bertahta, sehat, dan lain sebagainya. Namun, itulah kenyataan hidup, ada orang yang lahir dengan fasilitas lengkap tak perlu berusaha kecuali mengurus harta waris yang berlimpah.
Tak habis dihambur-hamburkan hingga tujuh keturunan dan ada pula yang terlahir dengan nasib miskin, ditambah dengan penyakit turunan seperti diabetes, hipertensi, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, letak keistimewaan manusia adalah akal, pemahaman dan kemampuanlah yang membedakan. Dengan kemampuan ini, manusia menjadi mukallaf (ada beban agama). Sebab orang yang tak berakal tak terbebani agama.
Bila ia mukallaf, maka ia akan mampu mempertimbangkan suatu pilihan antara melakukan atau tidak melakukannya. Dengan ini berarti, manusia bebas, diberikan pilihan antara menerima syariat atau menolaknya. Anak kecil, orang gila, tertidur, dan lupa (otak dan kesadarannya tidak berfungsi) tidak mukallaf, sehingga tidak terdapat beban syariat sampai dia dewasa dari kanak-kanak, sembuh dari gila, bangun dari tidur, dan ingat dari lupa.
Karena itu, pendapat bahwa manusia bersifat mukhayyar secara mutlak dan musayyar secara mutlak adalah keliru. Namun perbuatan manusia dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, musayyar (tidak mempunyai kebebasan-ikhtiar sama sekali untuk menerima atau menolaknya), seperti kelahirannya, bentuk tubuh, dan warna kulit atau rambutnya, terlahir dari siapa dan di negeri mana, gerak-gerik organ tubuhnya, kematiannya, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Memahami Khatam al-Anbiya’ dalam Teologi Islam
Kedua, mukhayyar (memiliki kebebasan dan ikhtiar untuk menerima dan menolaknya) seperti semua kewajiban syariat adalah masih berada dalam jangkauan dan iradah-nya, sebab ia memiliki kebebasan dalam hal pelaksanaannya. Terhadap hal-hal yang kejadiannya bersifat musayyar, manusia tidak dimintai pertanggung-jawaban, sebab tak ada kebebasan dan yang bersangkutan tak memiliki kemampuan untuk menciptakannya.
Melainkan terhadap hal-hal yang bersifat mukhayyar -yang di atasnya ada taklif- maka baginya terdapat pertanggung-jawaban. Misalnya, ada seseorang yang di hadapannya disuguhi seorang wanita cantik jelita di sebuah hotel berbintang lima untuk dikencani, orang itu pasti memiliki kebebasan untuk bermaksiat atau menolak dengan wanita tersebut. Kebebasan dalam hal ini, inheren dalam dirinya, sehingga dia bebas untuk melakukan dan menolaknya tersebut, karena itu bersifat mukhayyar.
Terhadap kejadiannya yang pemberian dan bersifat fisikal, dalam persoalan ini manusia tak bisa menentukan (hayat al-nas musayyar wa laysa mukhayyar). Dalam artian, bahwa hidup manusia itu dijalankan oleh Allah dan bukan dipilih oleh yang bersangkutan. Namun, karena manusia tidak tahu ke mana dia ditakdirkan, maka dia harus berusaha sekuat kemampuan (jiwa dan raga, ilmu, harta, tenaga, waktu, pikiran, dan lain sebagainya) di dalam memperjuangkan, memperbaiki kualitas hidup dan kehidupannya, baru setelah itu bertawakkal kepada Allah.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Dekonstruksi Konsep Kunci dalam Teologi Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Manusia dan Kejadiannya dalam Teologi Islam"
Posting Komentar