Makna Taklif Pembebanan dalam Teologi Islam
fikriamiruddin.com - Allah tidak membebani seseorang melebihi kadar batas kemampuannya (la yukallif Allah nafsan illa wus’aha). Dalam menghadapi tugas-tugas hidup, manusia secara instrinsik atau inheren telah dibekali oleh potensi dasar, yakni kemampuan untuk melakukan dan untuk tidak melakukan yang baik. Potensi dasar ini juga untuk melakukan dan tidak melakukan yang jelek.
Umpama seseorang memiliki harta kekayaan, dia telah diberi kemampuan untuk men-tasarruf-kan (mempergunakan dan menyalurkan) kepada hal-hal yang terpuji menurut syara’ dan akal serta tidak menyalurkan kepada yang baik atau sebaliknya. Seseorang yang memiliki kedudukan yang tinggi telah dibekali kemampuan untuk bertindak secara adil, arif, dan seterusnya. Seseorang yang diberi musibah telah diberi kemampuan untuk sabar dan sekaligus tidak sabar dalam menghadapi musibah tersebut.
Yang diminta bagi manusia adalah usaha yang maksimal. Maksimalitas upaya itulah yang dibebankan kepada manusia. Tuhan tidak menuntut hamba-Nya dengan pembebanan yang melebihi kapasitas potensi yang dimilikinya. Melakukan upaya semaksimal mungkin dalam semua hal seperti maksimal tenaga dan kemauan, maksimal ilmu, maksimal harta, maksimal waktu, dan lain sebagainya.
Jika semuanya sudah dilakukan secara maksimal, maka sudah tidak ada lagi yang harus dilakukan. Dalam artian, yang tidak dapat dikerjakan itu berarti berada di luar batas kemampuannya, dan tidak berdosa lantaran tidak melakukannya, dianggap dosa baginya. Orang yang tidak mampu salat berdiri, maka tidak wajib baginya untuk melaksanakan salat dalam keadaan berdiri, maka kewajiban yang terbebankan kepadanya adalah melaksanakan salat dengan posisi yang lain.
Misalnya, bukan berdiri, apakah dengan duduk atau mungkin berbaring. Orang yang tidak memiliki harta, maka tidak wajib atasnya bersedekah dengan hartanya, demikian seterusnya dalam semua kewajiban agama. Tak ada yang perlu disesali terhadap sesuatu yang tidak dapat dikerjakan lantaran berada di luar jangkauan kemampuan, kecuali ketidak-mampuannya itu sendiri.
Baca Juga: Manusia dan Kejadiannya dalam Teologi Islam
Makna Takdir dan Qada’ Tuhan
Takdir dapat diartikan sebagai ukuran, ketentuan, kemampuan, dan kepastian. Makna takdir ini berlaku dalam tiga hal dalam pandangan Komaruddin Hidayat sebagai berikut. Pertama, takdir Tuhan yang berlaku pada fenomena alam fisika, yakni hukum atau ketentuan Tuhan yang mengikat perilaku alam yang bersifat objektif, sehingga watak dan hukum kausalitas alam mudah dipahami manusia.
Respon waktu (time respon) dari mekanisme hukum alam ini relatif pendek, sehingga hasil dan efeknya mudah serta cepat diketahui manusia. Misalnya, bekerjanya obat-obatan yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Adanya takdir Tuhan yang berlaku objektif ini telah memungkinkan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang secara pesat.
Kedua, takdir Tuhan yang berkenaan dengan hukum sosial (sunnatullah) yang berlakunya dengan melibatkan manusia hadir di dalamnya. Takdir ini sering diisyaratkan dengan bentuk pertanyaan, apakah kamu sekalian tidak belajar dari perilaku kaum sebelum kamu yang senantiasa membuat kerusakan di muka bumi, yang mengisyaratkan bahwa takdir ini bersifat objektif. Dalam artian, nasib jatuh bangunnya suatu kaum itu memiliki rasionalitas tersendiri yang bisa dipahami oleh generasi setelahnya.
Sebab adanya hukum sosial yang objektif inilah, maka kita kemudian mengenal yang namanya ilmu sejarah, sosiologi, psikologi, dan lain sebagainya. Time respons dari sunnatullah ini relatif lebih panjang dari pada takdir yang berlaku pada dunia fisika. Lebih dari itu, hasilnya tidak sejelas pada hukum alam, sebab dari itu hasilnya tidak sejelas pada hukum alam. Karena manusia yang mengamati ikut hadir dan terlibat di dalamnya.
Itulah sebabnya barangkali ilmu humaniora itu seringkali dikenal dengan istilah soft science, sedangkan ilmu alam disebut dengan hard science. Ketiga, takdir dalam pengertian hukum kepastian Tuhan yang berlaku namun time respons-nya lebih jauh lagi. Yakni efeknya baru diketahui setelah di alam akhirat nanti. Ketika di dunia, efek dari hubungan sebab akibatnya belum berakhir sehingga harus dibuktikan di akhirat nanti.
Takdir ini biasanya kemudian disikapi dengan iman, sebab selama kita masih di dunia, efeknya belum bisa dibuktikan. Sementara informasinya lalu didasarkan pada berita kitab suci. Bidang operasi takdir semacam ini kadang al-Qur’an menggunakan istilah Qada’ atau dekrit Tuhan bahwa nasib orang di akhirat nanti akan ditentukan oleh apa yang diperbuatnya selama hidup di dunia.
Tiga takdir itu pada dasarnya adalah merupakan semacam hukum sebab akibat (kausalitas) yang berlaku secara pasti, yang operasionalnya di bawah kontrol dan pengawasan Tuhan Yang Mahatahu dan Mahaadil. Berlakunya hukum sebab akibat ini ada yang melibatkan manusia dan ada juga yang tidak.
Terkait takdir yang berkenaan dengan kebebasan manusia, kalangan Mu’tazilah (Abd al-Jabbar) berpandangan bahwa manusia menciptakan sendiri perbuatannya. Sebab apabila Tuhan yang menciptakannya berarti manusia tidak berhak memperoleh pahala maupun siksa. Di samping itu, apabila semua perbuatan manusia terjadi berdasarkan Qada’ dan Qadar Tuhan, berarti Dia meridhai orang kafir menjadi kafir.
Di samping itu, apabila Allah yang menciptakan perbuatan manusia, maka perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan bagi mereka. Oleh karena itu, batallah taklif dan batallah janji serta ancaman Allah. Berkaitan dengan itu mereka berpendapat bahwa taklif dipandang baik apabila manusia mungkin melakukannya. Pandangan tersebut memiliki dasar rasionalitas, yakni jika Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia, maka tidak ada gunanya Dia mengutus rasul-Nya, sebab mereka tidak bebas di dalam mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya.
Baca Juga: Aspirasi Menegakkan Identitas Agama dalam Teologi Islam
Ada yang membedakan term Qada', takdir, dan Qadar Tuhan. Qadar berarti ketentuan Tuhan yang manusia dapat mengetahuinya sebelum terjadi. Hal ini berlaku dalam ilmu kealaman dan kausalitas, seperti besi apabila dipanaskan akan memuai, benda yang dilempar ke atas akan jatuh ke bawah (gravitasi). Manusia dalam masalah Qadar ini dapat meramu setiap kejadian, misal pesawat dapat terbang dan bentuk-bentuk penemuan ilmu teknologi yang berkembang pesat.
Manusia dalam Qadar benda ala ini hanya berusaha menemukan hukumnya. Sedangkan takdir merupakan suatu kejadian yang manusia baru mengetahuinya setelah kejadian. Dalam artian, manusia dapat menelusuri sebab-sebabnya setelah terjadinya (musibah). Misalnya, dia sudah berusaha berhati-hati di jalan, namun mendapat musibah. Dia telah menghitung segala perangkat alat pada pesawat challenger.
Namun, beberapa detik setelah diluncurkan dari pangkalannya di Amerika, ternyata meledak dan menyebabkan seluruh awak pesawatnya tujuh orang tewas. Demikian, takdir terjadi pada banyak orang di luar jangkauan nalar sebelumnya. Sementara Qada’ Tuhan adalah ketetapan Tuhan sejak azali yang manusia tidak mengetahui sebenarnya sepanjang hayat. Hukum Tuhan dalam Qada’-Nya itu maka orang beriman senantiasa berusaha dan berdoa atas dasar iman.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Memahami Khatam al-Anbiya’ dalam Teologi Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Makna Taklif Pembebanan dalam Teologi Islam"
Posting Komentar