Dekonstruksi Konsep Kunci dalam Teologi Islam
fikriamiruddin.com - Di dalam agama apa saja, gagasan keagamaan dimungkinkan untuk ditafsirkan secara komunal dan melawan pembebasan. Sebaliknya, memungkinkan untuk ditafsirkan yang mendukung pluralisme dan pembebasan. Maka dari itu, diperlukan dekonstruksi gagasan-gagasan keagamaan yang cukup penting, sebab konsep-konsep kunci yang akan didekonstruksi itu memungkinkan ditampilkan secara ambigu.
1. Ibadah dan Musyrik
Untuk menjaga visi besar diperlukan pergeseran paradigma memaknai ibadah yang selama ini dikaitkan dengan praktik-praktik ritual di wilayah individual, ke arah tindakan perjuangan menegakkan keadilan dan pembebasan di wilayah sosial. Dan musyrik, bukan soal orang yang tidak mengakui Tuhan, melainkan orang yang memadu Tuhan dengan taghut. Baginya ritual ya ritual, ibadah ya ibadah, dalam artian ritual bukan ibadah dan ibadah bukan ritual.
Keduanya berbeda secara mendasar. Pertama, dari segi term-nya yang digunakan untuk ibadah kepada Allah dan beribadah kepada taghut (selain Allah) yang digunakan di luar ritual. Kedua, dari sisi wilayah cakupan dan tujuannya, ibadah ada dalam wilayah sosial untuk melawan taghut dan tidak menyekutukan Allah. Sedangkan ritual ada dalam wilayah individual untuk “Mengingat Allah” dan untuk menentramkan jiwa, tidak lebih. Ketiga, terkait dengan perjuangan melawan taghut, tidak mengabdi kepada taghut, dan lebih mengabdi kepada Allah.
2. Kafir
Pemaknaan kafir sebagai orang-orang yang berada di luar pengikut agama Muhammad (agama Islam) adalah kesalahan mendasar. Kafir yang memiliki makna yang cukup variatif, yang tentu memiliki makna yang berbeda-beda sesuai konteksnya itu jika dilihat dari sisi turunnya al-Qur’an surat al-An’am ayat 33, di sini mesti dicari konteksnya, kenapa kalau bukan karena soal keyakinan, bukan soal ritual, bukan soal tidak mau mengakui kenabian Muhammad, orang-orang Mekkah begitu keras menentang Muhammad.
Kalau pada akhirnya sebagian orang-orang Mekkah disebut kafir, lantaran ada sebab-sebabnya. Setelah dilacak dalam asbabul nuzul-nya ayat di atas, ternyata terkait dengan peristiwa tiga tokoh quraisy yang cukup berpengaruh, yakni Abu Jahl, Abu Sufyan, dan al-Ahnas saat mengintip Rasulullah mendaras al-Qur’an. Mereka secara tidak sengaja berpapasan, kemudian mereka sepakat tutup mulut dan tidak mengulangi perbuatan yang cukup memalukan itu.
Namun, di malam ke tiga, peristiwa tersebut terulang kembali. Kemudian Abu Jahl mengakui bahwa penyebab pembangkangannya terhadap ajaran Muhammad lantaran faktor harga diri dan gengsi belaka. Jadi, jelas bahwasannya sebagian besar orang-orang Mekkah disebut kafir. Salah satunya lantaran faktor gengsi dan harga diri yang tentunya berhubungan dengan hegemoni kekuasaan ekonomi dan politik saat itu.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, kafir adalah bisa jadi orang yang tidak membagikan nikmat yang diberikan Tuhan kepada yang berhak; bisa jadi orang-orang itu sombong dan superioritas darah birunya ataupun yang lain; dan bisa jadi dalam pengertian, mereka yang membunuh para pejuang pembebasan, yang disepadankan dengan membunuh para Nabi pada masa lalu. Dan untuk konteks orang-orang kafir Mekkah, mereka adalah para penindas atas kelompok lemah, dan justru menghancurkan perjuangan pembebasan atas kaum tertindas.
Baca Juga: Berbuat Kebajikan Sebagai Syarat Mutlak Keselamatan Beragama
3. Murtad
Pemaknaan murtad sebagai keluar dari agama atau pindah agama yang selalu menjadi kredo pengikut agama komunal adalah tidak sesuai dengan prinsip dasar “kebebasan dalam beragama”. Karena itu, diperlukan pemaknaan dan pembongkaran atas konsep ini yang sensitif pluralitas. Setidaknya terdapat tiga ayat yang berkaitan dengan konsep murtad, yakni surat Muhammad ayat 25, al-Baqarah ayat 217, dan al-Maidah ayat 54.
Dari ketiga ayat di atas jelas bahwa murtad dianggap diperdaya setan dan mati dalam kekafiran serta menggugurkan amal-amal mereka di akhirat. Dan kemurtadan akan diganti Allah dengan kaum yang mengasihi dan dikasihi Allah. Tentu saja makna di atas dapat dengan mudah digunakan meneguhkan gagasan Islam yang komunalistik. Komunalisme di satu sisi dan kebebasan beragama di sisi yang lain.
Pertama, terkait dengan surat Muhammad ayat 25, tema besarnya adalah “para penindas yang akan dihinakan” adalah kaum kafir Mekkah, yang keluar dari petunjuk Allah atau “keluar dari mengikuti Muhammad” dilawankan dengan “masuk ke dalam kelompok penindas Mekkah”. Jadi, "irtadda” dimaknai masuk golongan pendukung penindas untuk mengusir Muhammad dari Mekkah, bukan dimaknai dalam konteks orang yang keluar dari Islam ke komunitas agama lain.
Kedua, terkait dengan surat al-Baqarah ayat 217, memang mengatakan bahwa siapa yang murtad dengan menggunakan kata yartadid, maka betul-betul akan merugi, mati dalam keadaan melawan pembebasan dan tidak diterima perbuatan-perbuatannya pada masa lalu (ketika masih memperjuangkan pembebasan). Pada ayat ini dikaitkan pula dengan peristiwa ketika kafir Mekkah memerangi Muhammad pada saat bulan-bulan haram sekalipun.
Sementara tradisi Ibrahim melarang melakukan pertempuran pada bulan-bulan haram. Atas pengingkaran tradisi inilah orang kafir Mekkah memaksakan diri agar kaum muslimin berpaling kepada mereka dan berpihak pada kaum penindas. Lagi-lagi di sini murtad dikontekskan dalam soal “masuk komunitas penindas kafir Mekkah”, bukan dalam konteks pindah komunitas agama.
Dalam konteks kekinian, jelas murtad bukan soal pindah agama dari Islam ke agama tertentu misalnya (atau sebaliknya), namun orang-orang Islam yang kemudian beralih dalam kehidupannya membela kelompok penindas yang mengeksploitasi orang-orang miskin. Dengan bahasa lain, mereka yang berpaling dan mendukung para taghut, dan pendukungnya yang terdiri atas kelas-kelas borjuis dan penguasa-penguasa penindas dalam segala variannya.
Ketiga, tentang surat al-Maidah ayat 54 memang bicara murtad terkait dengan kelompok Quraish yang melakukan penindasan atas usaha-usaha Muhammad untuk membebaskan rakyat jelata. Murtad di sini juga tidak ada kaitannya dengan persoalan pindah agama, namun justru berkaitan dengan mereka yang keluar dari barisan Muhammad untuk membela kelompok-kelompok penindas Mekkah.
4. Jihad
Pada dasarnya merupakan mekanisme memilih jalan perjuangan. Mengingat visi besar Islam adalah agama damai, maka diperlukan pemaknaan ulang arti jihad dari “perang suci” menuju arti yang sesuai dengan visi besarnya. Jihad dalam al-Qur’an disebut dengan varian sebutan yang cukup banyak seperti halnya juhd, al-jihad, yujahid, jahada-jahadu, al-mujahidin, al-mujahidun, dan seterusnya, yang disebutkan sebanyak 41 kali, yang tentunya memiliki makna variatif juga sesuai konteksnya.
Hanya secara bahasa, akar kata jihad yang berasal dari jahada bermaknsa sungguh-sungguh, dalam arti bersungguh-sungguh dalam berbagai variasinya. Jihad diartikan perang suci, baru terjadi pada periode Madinah, tidak terjadi pada periode Mekkah. Sebab ketika di periode Madinah, Nabi Muhammad di samping berperan sebagai rasul juga berperan sebagai kepala Negara.
Jihad sebagai perang suci di sini, lebih pas dimaknai mempertahankan teritorial Negara oleh semua rakyatnya yang ketika itu terdiri dari banyak pengikut agama. Yang dilawan bukan kekuatan komunitas agama lain, namun kekuatan kafir Mekkah yang menyerang wilayah teritorial dan bertujuan menindas. Jadi, konteks berjihad dengan menggunakan fisik (kekerasan) adalah untuk mempertahankan teritorial.
Yang sekaligus diasumsikan melindungi kepentingan kelompok-kelompok agama yang mengikat perjanjian dalam teritorial Madinah tersebut. Jihad dalam pengertian ini hanya bisa diterapkan dalam medan perang terbuka, dalam teritorial muslim ketika diserang musuh. Makna jihad di atas, hanya merupakan salah satu dari makna jihad yang variatif tadi. Bahkan “jihad terbesar” seperti tersebut dalam hadis Rasulullah lebih tepat dimaknai sebagai “melawan potensi yang menjadikan manusia sebagai penindas kelompok-kelompok lemah”.
Baca Juga: Agama Kebajikan Sebagai Konstruksi Berbasiskan Teologi Islam
Dalam jihad akbar, bukanlah kekerasan, melainkan mencerahkan jiwa, mengasah otak, dan membersihkan kalbu untuk tidak menjadi para penindas kaum lemah, serta sekaligus membaca realitas ketidakadilan dimana pun untuk melawannya dengan cara santun dan damai. Sasaran jihad seperti ini, tentu saja untuk membela esensi Islam sebagai jalan spiritual. Jihad-nya kaum Muslim elit misalnya tidak melakukan Borjuisme dan penindasan kelompok lemah.
Seperti yang dicontohkan oleh Abu Bakar as-Siddiq dan Usman bin Affan yang mendukung suara pembebasan Nabi Muhammad. Jihad-nya kelompok lemah adalah terus memperjuangkan keadilan dan sabar, seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Ankabut ayat 8, seorang Muslim yang harus menolak keras-keras sebuah pemaksaan (yang dicontohkan orang tua memaksa anaknya) untuk mengabdi kepada para penindas.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pendekatan yang Digunakan dalam Memahami Teologi Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Dekonstruksi Konsep Kunci dalam Teologi Islam"
Posting Komentar