Mengenal Ajaran Abu Hasan al-Asy’ari
fikriamiruddin.com - Abu Hasan al-Asy’ari merupakan seorang tokoh yang pandangannya bersebrangan secara diametral dengan Mu’tazilah, khususnya mengenai kedudukan akal dan wahyu. Mu’tazilah memberikan porsi yang cukup besar pada akal, sedangkan tidak demikian dengan al-Asy’ari yang berpandangan bahwa mengetahui baik dan buruk, wajib dan sebagainya hanya diketahui melalui wahyu.
Ajaran pokok Asy’ariyah di antaranya adalah Tuhan dan sifat-sifat-Nya, kebebasan dalam berkehendak, baik dan buruk menurut akal dan wahyu, kemakhlukan al-Qur’an, melihat Tuhan (ru’yat Allah), keadilan Tuhan, dan kedudukan seorang mukmin yang berbuat dosa besar. Lebih jelasnya akan dibahas secara terperinci sebagai berikut.
1. Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
Perbedaan pendapat di kalangan Mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan meskipun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok Mujassimah (antropomorfis) dan kelompok Mushabbihah yang berpendapat bahwa Allah memiliki sifat yang disebutkan dalam al-Qur’an dan Hadis serta sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya.
Di pihak lain, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris atau kiasan.
Menghadapi dua kelompok tersebut, al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti halnya memiliki tangan dan kaki, serta ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok Sifatiyah). Selanjutnya, al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah itu sendiri, namun sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.
Baca Juga: Alasan Abu Hasan al-Asy’ari Keluar dari Aliran Mu’tazilah
2. Kebebasan Berkehendak
Dalam persoalan apakah manusia mempunyai kemampuan untuk memilih dan menentukan serta mengaktualisasikan perbuatannya? Al-Asy’ari mengambil pendapat yang menengah di antara dua pendapat yang ekstrim, Jabariyah dan Qadariyah. Kaum Jabariyah dan ulama ortodox extrim berpegang teguh pada pendapat yang fatalis. Kaum Mu’tazilah dan Qadariyah, di sisi lain, berpendapat bahwa manusia itu memiliki kemampuan untuk menentukan iradah dan perbuatannya secara bebas dan potensi-potensi tersebut sudah diciptakan oleh Allah dalam tubuh manusia.
Untuk menengahi dua pendapat di atas, al-Asy’ari membedakan antara khalq dan kasb (perbuatan manusia yang diciptakan Tuhan). Menurut al-Asy’ari, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia. Sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya (muktasbi). Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan dan perbuatan manusia).
3. Akal dan Wahyu serta Kriteria Baik dan Buruk
Meskipun al-Asy’ari setuju dengan Mu’tazilah mengenai perlunya penggunaan akal dalam hal keimanan, mereka berbeda dalam menjawab persoalan apakah ayat atau wahyu yang memiliki peran utama dalam memahami ajaran-ajaran agama. Mu’tazilah berpendapat bahwa akallah yang lebih utama kedudukannya lantaran datangnya wahyu itu untuk mengkonfirmasi mengenai kebenaran rasional.
Karena itu, apabila terjadi pertentangan antara rasio dan wahyu, maka rasiolah yang harus didahulukan dan wahyu harus ditakwilkan agar dapat diterima oleh rasio. Sebaliknya, al-Asy’ari berpendapat bahwa lebih bisa dipercaya, lantaran kebenaran rasional sifatnya hanyalah mengkonfirmasi kebenaran yang disampaikan oleh wahyu.
Perbedaan antara al-Asy’ari dan Mu’tazilah dalam hal wahyu dan akal menyebabkan adanya perbedaan di antara mereka dalam menentukan baik dan buruk. Al-Asy’ari berpendapat bahwa untuk menentukan baik dan buruk adalah berdasarkan wahyu. Perbuatan manusia pada dasarnya adalah netral dan wahyulah yang menentukan apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk. Dan pendapat di atas jelas bertentangan dengan ajaran Mu’tazilah.
4. Persoalan tentang al-Qur’an
Pada dasarnya persoalan mengenai keqadiman atau kehadisan al-Qur’an adalah sangat terkait dengan persoalan mengenai sifat Allah, yakni sifat Kalam. Menurut pendapat kaum ortodok ekstrim, Kalam adalah salah satu di antara sifat-sifat Allah. Karena sifat-sifat Allah adalah Qadim, maka Kalam adalah qadim, termasuk Kalam Allah yang tersusun dengan lafadz maupun suara. Pendapat ini bertolak belakang dengan doktrin Mu’tazilah Rafidhah (al-Qur’an baru, jika tidak maka terjadi ta’adud al-qudama’).
Sebagai penengah, al-Asy’ari berpendapat bahwa Kalam Allah dalam arti al-Kalam al-haqiqi tidak memiliki huruf dan suara serta bersifat Qadim, sedang jika al-Kalam al-haqiqi ini diekspresikan melalui huruf atau suara maka Kalam tersebut adalah baru. Inilah alasan ia mengatakan bahwa al-Qur’an bukan makhluk dan bukan selain makhluk.
Alasan tersebut di antaranya al-Qur’an adalah termasuk Ilmu Allah, lantaran itu ia tidak dapat dipisahkan dengan ilmu-Nya yang Qadim. Kemudian Allah menciptakan sesuatu dengan lafadz “Kun”. Jika “Kun” itu baru maka “Kun” tersebut menjadi pencipta selain Allah. Oleh karena itu, ia harus qadim. Sedangkan dalam al-Qur’an, Allah membedakan antara Khalq dan ‘Amr. Ini berarti bahwa Amr (termasuk Kalam Allah) itu bukan makhluk.
5. Melihat Allah
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat. Namun, dengan tanpa bisa digambarkan. Kemungkinan ru’yah (melihat) dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Allah menciptakan kemampuan manusia untuk melihat Allah.
Baca Juga: Mengenal Biografi Abu Hasan al-Asy’ari
6. Keadilan
Selain pokok-pokok ajaran di atas, al-Asy’ari juga tidak sependapat dengan ajaran al-‘Adl-nya Mu’tazilah (Allah harus adil, oleh karena itu Allah harus menyiksa orang yang salah dan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik). Al-Asy’ari, sebaliknya berpendapat bahwa Allah tidak harus memiliki keharusan apa pun lantaran Dia adalah penguasa mutlak.
7. Kedudukan Orang Mukmin yang Berbuat Dosa
Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasiq, sebab iman tidak mungkin hilang lantaran dosa selain kufr.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Tokoh, Ajaran dan Dalil Qadariyah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to " Mengenal Ajaran Abu Hasan al-Asy’ari"
Posting Komentar