Pandangan Mengenai Iman dan Kufur dalam Teologi Islam
fikriamiruddin.com - Ketika pertempuran Siffin pada tahun 659 M, antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pasukan Ali berhasil mendesak pasukan Mu’awiyah dan hampir mengalahkan mereka. Namun, ketika pasukan Mu’awiyah telah siap-siap melarikan diri, Amr bin al-Ash seorang panglima perang dari pasukan Mu’awiyah yang terkenal kelicikannya, mengangkat al-Qur’an ke atas sebagai tanda meminta damai.
Pihak Ali menerima dan diadakanlah arbitrase atau perundingan di mana pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan pihak Mu’awiyah diwakili oleh Amr bin al-As. Pada arbitrase ini, pihak Ali mengalami kekalahan sehingga menimbulkan kekecewaan yang luar biasa dari pasukan pendukung Ali. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal tersebut seharusnya tidak diputuskan oleh arbitrase manusia, namun harus datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an.
Golongan ini kemudian memisahkan diri dari barisan Ali yang kemudian disebut dengan golongan Khawarij. Dari perdebatan dalam persoalan politik lalu menjalar ke persoalan teologi. Mereka memandang Ali, Mu’awiyah, dan semua yang menyetujui arbitrase tersebut bersalah dan berdosa besar. Bahkan lebih jauh dari itu, kaum Khawarij memandang mereka kafir dan telah keluar dari Islam.
Dari persoalan di atas, kemudian muncul pertanyaan siapakah yang mukmin dan siapakah yang kafir. Maka timbullah beberapa aliran teologi dalam Islam seperti Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Mereka memiliki konsep yang berbeda-beda dalam memandang masalah iman dan kufur.
1. Konsep Iman
Para Mutakallimun secara umum merumuskan unsur-unsur iman dengan al-tasdiq bi al-qalb, al-iqrar bi al-lisan, dan al-‘amal bin al-jawarih yang berarti pembenaran dengan hati, pernyataan dengan lisan, dan pelaksanaan dengan anggota badan. Terdapat juga yang menyebut unsur ketiga dengan istilah al-‘amal bi al-arkan.
Perbedaan dan persamaan pendapat para Mutakallimun dalam konsep iman nampaknya berkisar pada ketiga unsur tersebut. Bagi kaum Khawarij, pengertian iman ialah pembenaran dengan hati, berikrar dengan lisan, dan menjauhkan diri dari segala dosa.
Pengertian yang diberikan oleh Khawarij di atas, sama dengan pengertian yang diberikan oleh Mu’tazilah pada unsur yang pertama dan yang kedua, namun berbeda pada unsur yang ketiga di dalam hal menjauhkan diri dari segala dosa. Bagi Khawarij melakukan dosa kecil sekaligus dapat menggugurkan iman, sedangkan bagi Mu’tazilah orang yang berbuat dosa besar dihukumi tidak mukmin dan tidak pula kafir.
Baca Juga: Mengenal Ajaran Abu Hasan al-Asy’ari
Mereka disebut fasiq, adapun bagi Murji’ah, baik dosa besar maupun dosa kecil tidak dapat menggugurkan iman seseorang selama dalam hati orang tersebut terdapat iman kepada Allah Swt. Kaum Asy’ariyah memiliki konsep yang sama dengan kaum Murji’ah yang menekankan bahwa iman berada dalam hati. Perbedaannya adalah kaum Murji’ah menggunakan istilah al-ma’rifah, sedangkan kaum Asy’ariyah menggunakan istilah at-tasdiq sebagai bentuk pengakuan kepada Allah Swt.
Kaum Maturidiyah juga memiliki konsep yang secara umum sama dengan konsep Asy’ariyah. Perbedaannya adalah menurut Maturidiyah pembenaran dalam hati harus diperoleh dari ma’rifah. Tasdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep iman dari kelima aliran tersebut secara garis besarnya dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, konsep yang mengharuskan adanya ketiga unsur keimanan, yakni al-tasdiq bi al-qalb, al-iqrar bi al-lisan, al-‘amal bi al-jawarih atau al-‘amal bi al-arkan. Pendapat ini diwakili oleh aliran Khawarij dan Mu’tazilah.
Kedua, yakni konsep yang menekankan pada unsur yang pertama saja, yakni al-tasdiq atau al-ma’rifah bi al-qalb. Pendapat ini diwakili oleh aliran Murji’ah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Asy’ariyah unsur yang kedua dan ketiga hanya merupakan cabang dari iman.
2. Konsep Kufur
Kufur merupakan kebalikan daripada iman. Dari segi bahasa kufur berarti menutupi. Orang yang bersikap kufur disebut kafir, yakni orang yang menutupi hatinya dari hidayah Allah. Malam juga disebut kafir, lantaran malam menutupi orang dan benda-benda lain dengan kegelapannya. Adapun menurut syara’, kufur dapat dibedakan menjadi kufr aqidah atau kufr millah dan kufr ‘amaliyah atau kufr ni’mah.
Kufur aqidah ialah mengingkari akan apa yang wajib diimani, seperti iman kepada Allah, iman kepada Rasul, iman kepada hari akhirat, iman kepada qada’ dan qadar, dan lain-lain. Kufur aqidah juga dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni kufur asli dan kufur setelah beriman. Kufur asli yakni orang yang belum pernah beriman dan menganut ajaran atau kepercayaan selain Islam.
Terhadap mereka, Islam mengajarkan umatnya agar mengajak mereka untuk beriman kepada Allah dan menganut agama Islam. namun, untuk mengajak mereka, tidak diperkenankan dengan cara mengancam atau memaksa lantaran keimanan merupakan hidayah Allah yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.
Adapun kufur setelah beriman adalah seseorang yang telah beriman dengan agama Islam, kemudian ia keluar dari iman itu dengan memeluk agama lain atau bahkan tidak beragama sekalipun. Istilah bagi orang yang kufur setelah beriman ini adalah murtad. Semua golongan dalam Islam menyepakati bahwa orang yang murtad akan kekal di dalam neraka.
Baca Juga: Alasan Abu Hasan al-Asy’ari Keluar dari Aliran Mu’tazilah
Sedangkan pengertian kufur yang diambil dari Ensiklopedi Islam, yakni al-kufr (tertutup) atau tersembunyi, mengalami perluasan makna menjadi “ingkar” atau tidak percaya, ketidakpercayaan kepada Tuhan. Kata kafir mengisyaratkan usaha keras untuk menolak bukti-bukti kebenaran Tuhan, yakni sebuah kehendak untuk mengingkari Tuhan, sengaja tidak mensyukuri kehidupan dan mengingkari wahyu.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Mengenal Biografi Abu Hasan al-Asy’ari. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to " Pandangan Mengenai Iman dan Kufur dalam Teologi Islam"
Posting Komentar