Memahami Pemikiran Washil bin Atha
fikriamiruddin.com - Washil terlahir dengan nama lengkap Abu Hudhayfah Washil bin Atha al-Gazzal (al-Gazzal merupakan nama laqab untuk menyatakan bahwa Washil jauh dari wanita). Ia lahir di Madinah pada tahun 80 H/689 M dan wafat pada tahun 131 H/749 M. Lahir dan dibesarkan dalam keadaan hamba sahaya bagi Bani Dibbah. Meskipun sebagai hamba sahaya, ia diberi kesempatan untuk belajar.
Namun, ada yang menjelaskan bahwa Washil merdeka dari belenggu kehamba-sahayaan dan ia kelak menjadi pemimpin bagi aliran Mu’tazilah di Basrah. Berdasarkan riwayat lain yang menyatakan bahwa Washil kemudian menjadi seorang hartawan, sering bersedekah dan mengirimkan da’i-da’i (penyebar ajaran Mu’tazilah) ke daerah-daerah. Menurut al-Mallati yang dikutip oleh Harun Nasution dalam bukunya Teologi bahwa Washil mempunyai dua murid penting yang masing-masing Bishr bin Sa’id dan Abu Uthman al-Za’farani.
Dari kedua murid inilah dua pemimpin lainnya, Abu Hudhail bin al-Mu’tamir sendiri yang kemudian menjadi pemimpin Mu’tazilah cabang Baghdad. Sebelum belajar di halaqah Hasan al-Basri di Basrah, ia pernah belajar pada Abu Hakim Abdullah bin Muhammad bin al-Hanafiyah di Madinah. Ia (Abu Hasyim) termasuk dalam golongan I. Karena itu, terdapat sebagian orang berpendapat bahwa Mu’tazilah II yang dibangun oleh Washil merupakan kelanjutan dari Mu’tazilah I.
Kemudian pindah ke Basrah dan di sana ia bertemu dengan Hasan al-Basri yang kemudian ia berguru padanya. Di mana Kota Basrah waktu itu telah terjadi akumulasi berbagai ilmu pengetahuan. Washil merupakan orang yang berkepribadian luhur, zuhud, dan banyak bertaqarrub pada Allah, memiliki logika yang dapat diandalkan untuk menanggapi lawan-lawan pemikirannya.
Mengenai pemikiran dan pendapat-pendapat Washil bin Atha bin Nadzim menyebutkannya di dalam “al-Fahrasat” di bawah judul Khatb fi al-Tawhid wa al-Adl bahwasannya al-Jahiz berkata mengenai Washil “Sesungguhnya Washil adalah orang pertama yang mengatakan bahwa kebenaran dapat diketahui dari empat arah, yakni kitab nathiq (al-Qur’an), berita yang disepakati, argumentasi rasional, dan kesepakatan/ijma’ umat”.
Washil adalah orang pertama yang disebut mengasingkan diri dikarenakan ia menghindar atau tidak sependapat dengan ketidaktuntasan golongan Murji’ah serta berlebih-lebihannya golongan Khawarij. Ia menulis mengenai macam-macam golongan yang menyimpang (al-Mulhudin) dan golongan Khawarij serta berlebih-lebihannya golongan Syi’ah terutama mazhab Hasysyasin, menentang paham Jabariyah, dan meniadakan sifat-sifat Qadim Allah untuk menghindari syirik.
Baca Juga: Sejarah dan Pengertian Aliran Mu’tazilah
Selain itu, menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan agama di samping al-Qur’an, al-Sunnah, dan ijma’, serta menetapkan kebebasan kehendak atau free will manusia. Washil berpendapat bahwa qadla dan qadar yang baik maupun yang buruk semua dari Allah, seperti sehat dan sakit, namun qadla dan qadar yang berhubungan dengan perbuatan manusia adalah dari manusia dengan kehendaknya sendiri.
Washil memang salah seorang pemikir yang besar jasanya dalam perkembangan pemikiran Islam. Ali Musthafa al-Ghurabi mengungkapkan bahwa “Sesungguhnya pantas bagi kita untuk menetapkan Washil sebagai pemimpin besar golongan Mu’tazilah ini, yang memelopori pembahasan teologi secara ilmu kalam, yang telah meninggalkan warisan filsafat yang berharga bagi kaum muslimin, serta membuka lembaran baru metode pembahasan logis terhadap Aqidah Islamiyah, yang menyebabkan para pemeluk agama lain berhenti menyerang aqidah Islam ini.
Dan berhenti pula orang-orang yang hendak membalas dendam terhadapnya dengan cara berdebat. Dengan kata lain, setelah kaum Mu’tazilah melihat cara menyerang akidah Islam, maka Mu’tazilah berlatih dan berusaha menguasai cara mereka yang digunakan untuk memerangi mereka dengan senjata mereka sendiri, yakni logika dan filsafat.
Seandainya persoalannya terhenti pada argumentasi al-Qur’an dan al-Hadits, sudah barang tentu serangan orang yang tidak menyetujui agama Islam ini tidak dapat dipatahkan, karena mereka memang tidak percaya kepada keduanya (al-Qur’an dan al-Hadits). Karena itu, tidak ada cara lain untuk memberi kepuasan kepada mereka itu kecuali dengan menggunakan dalil-dalil logika dan filsafat sebagaimana yang disusun oleh orang-orang Mu’tazilah. Di sinilah jasa Washil bin Atha yang tidak bisa dilupakan dan diingkari kebenarannya.
Beberapa pokok pemikiran Washil ini dapat disimpulkan menjadi tiga hal pokok sebagai berikut:
1. Al-Manzil bayna al-manzilatayn
Seperti dikemukakan di atas, bahwa pendapat Washil mengenai pelaku dosa besar berada di luar lingkungan mu’min, namun juga tidak masuk dalam lingkungan kafir. Dia berada di posisi tengah antara keduanya. Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagai disebut paham Khawarij, dan bukan pula mukmin sebagaimana paham Murji’ah, namun fasiq, yang menduduki posisi di antara mukmin dan kafir.
Kata mukmin, menurut Washil merupakan sifat baik dan nama pujian, yang tak dapat diberikan kepada fasiq dengan dosa besarnya. Namun, predikat kafir tidak bisa diberikan kepadanya (fasiq) karena ia masih mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Namun, apabila ia meninggal sedang ia telah melakukan dosa besar dan belum bertobat, maka ia kekal di neraka, hanya siksaan yang diterimanya lebih ringan dari siksa yang diterima orang kafir. Lantaran di akhirat hanya ada dua tempat, yakni surga dan neraka.
2. Paham Qadariyah
Pemikiran Washil berpandangan bahwa Tuhan bersikap bijaksana dan adil serta tidak bisa berbuat jahat dan juga tidak berlaku dhalim. Tidak mungkin Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya. Menurut paham ini manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan jahatnya, iman dan kufurnya, kepatuhan dan ketidakpatuhannya kepada Tuhan.
Atas perbuatan-perbuatannya ini, manusia memperoleh balasan. Untuk terwujudnya perbuatan-perbuatan itu Tuhan memberikan daya dan kekuatan kepadanya. Tidak mungkin Tuhan menurunkan perintah pada manusia untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak mempunyai daya dan kekuatan yang berbuat, demikianlah paham Qadariyah.
Baca Juga: Ajaran dan Sekte Aliran Murji’ah
3. Nafsy al-Sifah
Ajaran Washil selanjutnya adalah nafy al-shifah yang berarti peniadaan sifat-sifat Tuhan. Maksudnya adalah semua yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar Dzat Tuhan tetapi sifat yang merupakan esensi Tuhan. Dalam usaha memurnikan paham ke-Maha-Esaan Tuhan, dia menolak segala pemikiran yang dapat membawa kepada syirik.
Kalau Tuhan mempunyai sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak, yakni unsur Dzat yang disifati dan unsur-unsur sifat yang melekat kepada Dzat. Dengan demikian, Allah mengetahui dengan Dzat-Nya, Allah hidup dengan Dzat-Nya dan sebagainya. Paham peniadaan sifat ini kelihatannya berasal dari Jahm yang berpendapat bahwa sifat-sifat yang ada pada manusia tak dapat diberikan kepada Tuhan, karena itu akan membawa kepada anthropomorphism yang disebut dalam istilah Arab al-tajassum atau tashbih.
Namun, berlainan dengan Mu’tazilah, Jahm masih memberi sifat berkuasa, berbuat dan mencipta pada Tuhan. Sebagai orang yang menganut paham Jabariyah atau fatalisme, Jahm melihat bahwa hanya Tuhan yang berkuasa, berbuat, dan mencipta. Manusia tak mempunyai daya apa-apa.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Sejarah dan Pengertian Aliran Murji’ah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Namun, ada yang menjelaskan bahwa Washil merdeka dari belenggu kehamba-sahayaan dan ia kelak menjadi pemimpin bagi aliran Mu’tazilah di Basrah. Berdasarkan riwayat lain yang menyatakan bahwa Washil kemudian menjadi seorang hartawan, sering bersedekah dan mengirimkan da’i-da’i (penyebar ajaran Mu’tazilah) ke daerah-daerah. Menurut al-Mallati yang dikutip oleh Harun Nasution dalam bukunya Teologi bahwa Washil mempunyai dua murid penting yang masing-masing Bishr bin Sa’id dan Abu Uthman al-Za’farani.
Dari kedua murid inilah dua pemimpin lainnya, Abu Hudhail bin al-Mu’tamir sendiri yang kemudian menjadi pemimpin Mu’tazilah cabang Baghdad. Sebelum belajar di halaqah Hasan al-Basri di Basrah, ia pernah belajar pada Abu Hakim Abdullah bin Muhammad bin al-Hanafiyah di Madinah. Ia (Abu Hasyim) termasuk dalam golongan I. Karena itu, terdapat sebagian orang berpendapat bahwa Mu’tazilah II yang dibangun oleh Washil merupakan kelanjutan dari Mu’tazilah I.
Kemudian pindah ke Basrah dan di sana ia bertemu dengan Hasan al-Basri yang kemudian ia berguru padanya. Di mana Kota Basrah waktu itu telah terjadi akumulasi berbagai ilmu pengetahuan. Washil merupakan orang yang berkepribadian luhur, zuhud, dan banyak bertaqarrub pada Allah, memiliki logika yang dapat diandalkan untuk menanggapi lawan-lawan pemikirannya.
Mengenai pemikiran dan pendapat-pendapat Washil bin Atha bin Nadzim menyebutkannya di dalam “al-Fahrasat” di bawah judul Khatb fi al-Tawhid wa al-Adl bahwasannya al-Jahiz berkata mengenai Washil “Sesungguhnya Washil adalah orang pertama yang mengatakan bahwa kebenaran dapat diketahui dari empat arah, yakni kitab nathiq (al-Qur’an), berita yang disepakati, argumentasi rasional, dan kesepakatan/ijma’ umat”.
Washil adalah orang pertama yang disebut mengasingkan diri dikarenakan ia menghindar atau tidak sependapat dengan ketidaktuntasan golongan Murji’ah serta berlebih-lebihannya golongan Khawarij. Ia menulis mengenai macam-macam golongan yang menyimpang (al-Mulhudin) dan golongan Khawarij serta berlebih-lebihannya golongan Syi’ah terutama mazhab Hasysyasin, menentang paham Jabariyah, dan meniadakan sifat-sifat Qadim Allah untuk menghindari syirik.
Baca Juga: Sejarah dan Pengertian Aliran Mu’tazilah
Selain itu, menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan agama di samping al-Qur’an, al-Sunnah, dan ijma’, serta menetapkan kebebasan kehendak atau free will manusia. Washil berpendapat bahwa qadla dan qadar yang baik maupun yang buruk semua dari Allah, seperti sehat dan sakit, namun qadla dan qadar yang berhubungan dengan perbuatan manusia adalah dari manusia dengan kehendaknya sendiri.
Washil memang salah seorang pemikir yang besar jasanya dalam perkembangan pemikiran Islam. Ali Musthafa al-Ghurabi mengungkapkan bahwa “Sesungguhnya pantas bagi kita untuk menetapkan Washil sebagai pemimpin besar golongan Mu’tazilah ini, yang memelopori pembahasan teologi secara ilmu kalam, yang telah meninggalkan warisan filsafat yang berharga bagi kaum muslimin, serta membuka lembaran baru metode pembahasan logis terhadap Aqidah Islamiyah, yang menyebabkan para pemeluk agama lain berhenti menyerang aqidah Islam ini.
Dan berhenti pula orang-orang yang hendak membalas dendam terhadapnya dengan cara berdebat. Dengan kata lain, setelah kaum Mu’tazilah melihat cara menyerang akidah Islam, maka Mu’tazilah berlatih dan berusaha menguasai cara mereka yang digunakan untuk memerangi mereka dengan senjata mereka sendiri, yakni logika dan filsafat.
Seandainya persoalannya terhenti pada argumentasi al-Qur’an dan al-Hadits, sudah barang tentu serangan orang yang tidak menyetujui agama Islam ini tidak dapat dipatahkan, karena mereka memang tidak percaya kepada keduanya (al-Qur’an dan al-Hadits). Karena itu, tidak ada cara lain untuk memberi kepuasan kepada mereka itu kecuali dengan menggunakan dalil-dalil logika dan filsafat sebagaimana yang disusun oleh orang-orang Mu’tazilah. Di sinilah jasa Washil bin Atha yang tidak bisa dilupakan dan diingkari kebenarannya.
Beberapa pokok pemikiran Washil ini dapat disimpulkan menjadi tiga hal pokok sebagai berikut:
1. Al-Manzil bayna al-manzilatayn
Seperti dikemukakan di atas, bahwa pendapat Washil mengenai pelaku dosa besar berada di luar lingkungan mu’min, namun juga tidak masuk dalam lingkungan kafir. Dia berada di posisi tengah antara keduanya. Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagai disebut paham Khawarij, dan bukan pula mukmin sebagaimana paham Murji’ah, namun fasiq, yang menduduki posisi di antara mukmin dan kafir.
Kata mukmin, menurut Washil merupakan sifat baik dan nama pujian, yang tak dapat diberikan kepada fasiq dengan dosa besarnya. Namun, predikat kafir tidak bisa diberikan kepadanya (fasiq) karena ia masih mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Namun, apabila ia meninggal sedang ia telah melakukan dosa besar dan belum bertobat, maka ia kekal di neraka, hanya siksaan yang diterimanya lebih ringan dari siksa yang diterima orang kafir. Lantaran di akhirat hanya ada dua tempat, yakni surga dan neraka.
2. Paham Qadariyah
Pemikiran Washil berpandangan bahwa Tuhan bersikap bijaksana dan adil serta tidak bisa berbuat jahat dan juga tidak berlaku dhalim. Tidak mungkin Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya. Menurut paham ini manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan jahatnya, iman dan kufurnya, kepatuhan dan ketidakpatuhannya kepada Tuhan.
Atas perbuatan-perbuatannya ini, manusia memperoleh balasan. Untuk terwujudnya perbuatan-perbuatan itu Tuhan memberikan daya dan kekuatan kepadanya. Tidak mungkin Tuhan menurunkan perintah pada manusia untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak mempunyai daya dan kekuatan yang berbuat, demikianlah paham Qadariyah.
Baca Juga: Ajaran dan Sekte Aliran Murji’ah
3. Nafsy al-Sifah
Ajaran Washil selanjutnya adalah nafy al-shifah yang berarti peniadaan sifat-sifat Tuhan. Maksudnya adalah semua yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar Dzat Tuhan tetapi sifat yang merupakan esensi Tuhan. Dalam usaha memurnikan paham ke-Maha-Esaan Tuhan, dia menolak segala pemikiran yang dapat membawa kepada syirik.
Kalau Tuhan mempunyai sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak, yakni unsur Dzat yang disifati dan unsur-unsur sifat yang melekat kepada Dzat. Dengan demikian, Allah mengetahui dengan Dzat-Nya, Allah hidup dengan Dzat-Nya dan sebagainya. Paham peniadaan sifat ini kelihatannya berasal dari Jahm yang berpendapat bahwa sifat-sifat yang ada pada manusia tak dapat diberikan kepada Tuhan, karena itu akan membawa kepada anthropomorphism yang disebut dalam istilah Arab al-tajassum atau tashbih.
Namun, berlainan dengan Mu’tazilah, Jahm masih memberi sifat berkuasa, berbuat dan mencipta pada Tuhan. Sebagai orang yang menganut paham Jabariyah atau fatalisme, Jahm melihat bahwa hanya Tuhan yang berkuasa, berbuat, dan mencipta. Manusia tak mempunyai daya apa-apa.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Sejarah dan Pengertian Aliran Murji’ah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Memahami Pemikiran Washil bin Atha"
Posting Komentar