Sejarah dan Pengertian Aliran Murji’ah
fikriamiruddin.com - Murji’ah berasal dari kata irja’ yang memiliki beberapa pengertian di antaranya penangguhan. Kata Murji’ah dipergunakan untuk menyebut suatu kelompok Muslim, sebab mereka menangguhkan perbuatan dari niat dan balasan. Kemudian kata Murji’ah juga berasal dari kata al-raja’ yang berarti harapan. Jadi, al-irja’ bermakna i’ta’ al-raja’ (memberi harapan). Dua makna inilah yang menurut al-Syahrastani menjadi asal makna al-irja’.
Adapun secara istilah, Murji’ah merupakan kelompok yang mengesampingkan atau memisahkan amal dari keimanan, sehingga menurut mereka suatu kemaksiatan itu tidak mengurangi keimanan seseorang. Mereka disebut Murji’ah karena mereka mengakhirkan atau mengeyampingkan amal dari keimanan. Sedangkan menurut pendapat lain, mereka disebut Murji’ah sebab mereka menjadikan orang-orang memiliki al-raja’ yang berlebihan, tanpa ada kekhawatiran sama sekali bahwa dosa-dosa yang mereka perbuat akan mencederai keimanan mereka.
Sebagian orang mengatakan bahwa iman tidak terganggu karena perbuatan maksiat dan demikian pula ketaatan tidak terpengaruh karena kekafiran. Ini berarti mengakhirkan atau menomor-duakan amal perbuatan dari iman. Ada pula yang berpendapat memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Sebagian lagi mengatakan bahwa irja’ berarti penangguhan hukuman kepada orang yang berbuat dosa besar sampai hari kiamat.
Dalam artian, orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak. Mengakhirkan atau membelakangkan posisi, kedudukan atau derajat Ali bin Abi Thalib dari kedudukan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, atau meletakkan posisi Ali di belakang ketiga sahabat Nabi tersebut.
Pengertian secara harfiah yang kedua memberi harapan, merujuk suatu pandangan bahwa orang-orang Islam yang telah melakukan dosa besar tidaklah dapat disebut kafir, namun tetap mukmin, dan apabila ia masuk neraka, tidak akan kekal di dalamnya. Artinya, pandangan mereka memberikan pengharapan bagi orang yang berbuat dosa (khususnya dosa besar) untuk mendapatkan rahmat Allah, masuk surga.
Penafsiran yang berbeda-beda mengenai irja’ ini apabila dihubungkan dengan paham beberapa golongan Murji’ah tampak akan saling melengkapi untuk menggambarkan secara utuh keseluruhan paham Murji’ah. Di luar persoalan siapa yang memberikan julukan tersebut, istilah Murji’ah tampaknya mendapat rujukan dalam al-Qur’an surat At-Taubah ayat 106. Sedangkan apabila dilihat pada sikap beberapa sahabat yang tidak mau terlibat dalam perselisihan politik setelah al-fitnah al-kubra, maka benih-benih awal Murji’ah sudah ada sebelum munculnya Khawarij.
Baca Juga: Doktrin Syiah yang Perlu Diketahui
Menurut Ahmad Amin, benih-benih Murji’ah tersebut adalah dari segolongan sahabat Nabi seperti Abu Bakrah, Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqas, dan Imaran bin Husein yang tidak mau terlibat dalam persengketaan politik. Bagi Ahmad Amin, sikap netral para sahabat yang tidak mau terlibat dalam perselisihan dan perang saudara itu adalah azas dari paham irja’, meskipun paham irja’ sebagai suatu mazhab teologis baru terbentuk sesudah lahirnya Khawarij dan Syiah.
Golongan Murji’ah pada awalnya merupakan golongan politik, kemudian berkembang menjadi aliran teologi. Abu Zahrah berpendapat bahwa golongan ini timbul di tengah-tengah dibicarakannya masalah orang yang berbuat dosa besar, apakah mukmin atau tidak? Bagi Khawarij, mereka itu kafir. Bagi Mu’tazilah, mereka itu bukan kafir dan sebenarnya ia masih disebut muslim.
Adapun Hasan al-Basri dan sebagian Tabi’in menyatakan bahwa orang itu munafik, sebab sesungguhnya perbuatan menunjukkan hati dan ucapan syahadat itu tidak menunjukkan iman. Adapun menurut kebanyakan sahabat, mereka tetap beriman meskipun telah berbuat maksiat dan urusannya di tangan Allah, bisa disiksa atau diampuni. Di tengah-tengah perbincangan itulah Murji’ah muncul dengan menyatakan bahwa dosa tidak merusak iman sebagaimana taat juga tidak memberi manfaat bagi kafir.
Menurut Hasan Ibrahim Hasan, Murji’ah ini berkembang di Damaskus ibukota kerajaan Umaiyah pada pertengahan abad pertama hijriyah yang dipengaruhi oleh paham Masehi. Pengaruh ini agak tampak apabila diperhatikan dari pernyataan Jahm bin Safwan, salah seorang tokoh Murji’ah. Dia menyatakan bahwa iman itu mengi’tiqadkan dengan hati. Kalaupun seseorang menyatakan kufur dengan lidah tanpa taqiyah, menyembah berhala, ikut-ikutan Yahudi dan Nasrani, menyembah salib, menyatakan trinitas, sedangkan ia berada di lingkungan Islam, maka matinya tetap dalam iman yang sempurna serta ahli surga.
Muhammad Imarah memiliki pendapat lain mengenai kemunculan Murji’ah. Menurutnya, awal kemunculan Murji’ah adalah hasil rekayasa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para pengikutnya yang bertujuan untuk mengokohkan kekuasaan Bani Umayyah saat itu. Seperti kita ketahui, sejak Mu’awiyah berkuasa, banyak terjadi perubahan khususnya dalam sistem pergantian khilafah yang bermula dari sistem shura kepada sistem dinasti.
Berbagai perubahan yang dilakukan oleh penguasa saat itu tentu memancing reaksi keras dari kaum muslimin, sehingga dibutuhkanlah sebuah “pemikiran” yang bisa meredam reaksi tersebut. Pemikiran al-fashl bayna al-iman wa al-‘amal adalah pemikiran yang tepat untuk meredam reaksi tersebut, karena pemikiran ini membuat orang beranggapan bahwa apa pun yang dilakukan oleh seseorang, baik atau buruk, tidak berpengaruh apa-apa terhadap kesempurnaan imannya.
Selain itu, penyebaran fikrah ini juga bertujuan untuk menjauhkan masyarakat dari bayang-bayang pemikiran takfir yang selalu menghantui penguasa saat itu, sebab setiap pengkafiran mesti berujung pada penghalalan darah yang akhirnya berujung pada pemberontakan dan pembunuhan. Namun, sepertinya Muhammad Imarah tidak memiliki bukti yang cukup kuat yang membenarkan pendapatnya tersebut.
Sebagaimana kita tahu, Kufah yang menjadi tempat awal kemunculan Murji’ah bukanlah “habitat” yang subur bagi Bani Umayyah untuk menempatkan orang-orangnya di situ. Apalagi jika kita lihat orang-orang yang dianggap pendiri kelompok tersebut bukanlah para politisi atau tokoh-tokoh yang dekat dengan kekuasaan. Demikian juga tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa para tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor Murji’ah tersebut adalah kaki tangan Bani Umayyah.
Demikianlah, benih dalam paham Murji’ah sebenarnya sudah mulai tumbuh pada masa akhir pemerintahan Usman dan awal pemerintahan Ali. Mereka adalah netralis-netralis politik dan moderat religius yang lebih memusatkan diri pada pengembangan ilmu keislaman. Bagi mereka para sahabat yang terlibat dalam sengketa politik itu masih merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari ajaran yang benar.
Baca Juga: Sekte Syiah yang Perlu Diketahui
Itulah sebabnya, maka mereka menunda persoalan siapa yang benar dan yang salah sampai pada hari kiamat. Dalam menghadapi kelompok-kelompok keras yang mendukung dan menentang Utsman dan Ali, kaum Murji’ah ini mewakili pandangan yang moderat. Mereka meng-irja’-kan posisi Ali di belakang Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan sesuai urutan dan keutamaan masing-masing.
Paham Murji’ah di atas dapat membawa suatu pemahaman bahwa yang paling penting adalah iman, sedang perbuatan merupakan soal lain. Iman cukup dalam hati saja dan perbuatan kurang esensial artinya. Keyakinan yang ada dalam hati itulah yang penting dan apa yang ada dalam hati manusia hanya Tuhan yang mengetahuinya di samping manusia yang bersangkutan.
Perbuatan menurut mereka tidak mempunyai pengaruh terhadap keyakinan. Iman seseorang tidak dapat dirusakkan oleh dosa yang dilakukannya. Sikap ini pada satu sisi akan membawa kepada tingkat fatalisme, penundaan, dan penyerahan urusan dosa besar kepada Allah semata membawa implikasi Jabariyah.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Sejarah Syiah dan Beberapa Pendapat tentang Kelahiran Syiah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Adapun secara istilah, Murji’ah merupakan kelompok yang mengesampingkan atau memisahkan amal dari keimanan, sehingga menurut mereka suatu kemaksiatan itu tidak mengurangi keimanan seseorang. Mereka disebut Murji’ah karena mereka mengakhirkan atau mengeyampingkan amal dari keimanan. Sedangkan menurut pendapat lain, mereka disebut Murji’ah sebab mereka menjadikan orang-orang memiliki al-raja’ yang berlebihan, tanpa ada kekhawatiran sama sekali bahwa dosa-dosa yang mereka perbuat akan mencederai keimanan mereka.
Sebagian orang mengatakan bahwa iman tidak terganggu karena perbuatan maksiat dan demikian pula ketaatan tidak terpengaruh karena kekafiran. Ini berarti mengakhirkan atau menomor-duakan amal perbuatan dari iman. Ada pula yang berpendapat memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Sebagian lagi mengatakan bahwa irja’ berarti penangguhan hukuman kepada orang yang berbuat dosa besar sampai hari kiamat.
Dalam artian, orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak. Mengakhirkan atau membelakangkan posisi, kedudukan atau derajat Ali bin Abi Thalib dari kedudukan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, atau meletakkan posisi Ali di belakang ketiga sahabat Nabi tersebut.
Pengertian secara harfiah yang kedua memberi harapan, merujuk suatu pandangan bahwa orang-orang Islam yang telah melakukan dosa besar tidaklah dapat disebut kafir, namun tetap mukmin, dan apabila ia masuk neraka, tidak akan kekal di dalamnya. Artinya, pandangan mereka memberikan pengharapan bagi orang yang berbuat dosa (khususnya dosa besar) untuk mendapatkan rahmat Allah, masuk surga.
Penafsiran yang berbeda-beda mengenai irja’ ini apabila dihubungkan dengan paham beberapa golongan Murji’ah tampak akan saling melengkapi untuk menggambarkan secara utuh keseluruhan paham Murji’ah. Di luar persoalan siapa yang memberikan julukan tersebut, istilah Murji’ah tampaknya mendapat rujukan dalam al-Qur’an surat At-Taubah ayat 106. Sedangkan apabila dilihat pada sikap beberapa sahabat yang tidak mau terlibat dalam perselisihan politik setelah al-fitnah al-kubra, maka benih-benih awal Murji’ah sudah ada sebelum munculnya Khawarij.
Baca Juga: Doktrin Syiah yang Perlu Diketahui
Menurut Ahmad Amin, benih-benih Murji’ah tersebut adalah dari segolongan sahabat Nabi seperti Abu Bakrah, Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqas, dan Imaran bin Husein yang tidak mau terlibat dalam persengketaan politik. Bagi Ahmad Amin, sikap netral para sahabat yang tidak mau terlibat dalam perselisihan dan perang saudara itu adalah azas dari paham irja’, meskipun paham irja’ sebagai suatu mazhab teologis baru terbentuk sesudah lahirnya Khawarij dan Syiah.
Golongan Murji’ah pada awalnya merupakan golongan politik, kemudian berkembang menjadi aliran teologi. Abu Zahrah berpendapat bahwa golongan ini timbul di tengah-tengah dibicarakannya masalah orang yang berbuat dosa besar, apakah mukmin atau tidak? Bagi Khawarij, mereka itu kafir. Bagi Mu’tazilah, mereka itu bukan kafir dan sebenarnya ia masih disebut muslim.
Adapun Hasan al-Basri dan sebagian Tabi’in menyatakan bahwa orang itu munafik, sebab sesungguhnya perbuatan menunjukkan hati dan ucapan syahadat itu tidak menunjukkan iman. Adapun menurut kebanyakan sahabat, mereka tetap beriman meskipun telah berbuat maksiat dan urusannya di tangan Allah, bisa disiksa atau diampuni. Di tengah-tengah perbincangan itulah Murji’ah muncul dengan menyatakan bahwa dosa tidak merusak iman sebagaimana taat juga tidak memberi manfaat bagi kafir.
Menurut Hasan Ibrahim Hasan, Murji’ah ini berkembang di Damaskus ibukota kerajaan Umaiyah pada pertengahan abad pertama hijriyah yang dipengaruhi oleh paham Masehi. Pengaruh ini agak tampak apabila diperhatikan dari pernyataan Jahm bin Safwan, salah seorang tokoh Murji’ah. Dia menyatakan bahwa iman itu mengi’tiqadkan dengan hati. Kalaupun seseorang menyatakan kufur dengan lidah tanpa taqiyah, menyembah berhala, ikut-ikutan Yahudi dan Nasrani, menyembah salib, menyatakan trinitas, sedangkan ia berada di lingkungan Islam, maka matinya tetap dalam iman yang sempurna serta ahli surga.
Muhammad Imarah memiliki pendapat lain mengenai kemunculan Murji’ah. Menurutnya, awal kemunculan Murji’ah adalah hasil rekayasa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para pengikutnya yang bertujuan untuk mengokohkan kekuasaan Bani Umayyah saat itu. Seperti kita ketahui, sejak Mu’awiyah berkuasa, banyak terjadi perubahan khususnya dalam sistem pergantian khilafah yang bermula dari sistem shura kepada sistem dinasti.
Berbagai perubahan yang dilakukan oleh penguasa saat itu tentu memancing reaksi keras dari kaum muslimin, sehingga dibutuhkanlah sebuah “pemikiran” yang bisa meredam reaksi tersebut. Pemikiran al-fashl bayna al-iman wa al-‘amal adalah pemikiran yang tepat untuk meredam reaksi tersebut, karena pemikiran ini membuat orang beranggapan bahwa apa pun yang dilakukan oleh seseorang, baik atau buruk, tidak berpengaruh apa-apa terhadap kesempurnaan imannya.
Selain itu, penyebaran fikrah ini juga bertujuan untuk menjauhkan masyarakat dari bayang-bayang pemikiran takfir yang selalu menghantui penguasa saat itu, sebab setiap pengkafiran mesti berujung pada penghalalan darah yang akhirnya berujung pada pemberontakan dan pembunuhan. Namun, sepertinya Muhammad Imarah tidak memiliki bukti yang cukup kuat yang membenarkan pendapatnya tersebut.
Sebagaimana kita tahu, Kufah yang menjadi tempat awal kemunculan Murji’ah bukanlah “habitat” yang subur bagi Bani Umayyah untuk menempatkan orang-orangnya di situ. Apalagi jika kita lihat orang-orang yang dianggap pendiri kelompok tersebut bukanlah para politisi atau tokoh-tokoh yang dekat dengan kekuasaan. Demikian juga tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa para tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor Murji’ah tersebut adalah kaki tangan Bani Umayyah.
Demikianlah, benih dalam paham Murji’ah sebenarnya sudah mulai tumbuh pada masa akhir pemerintahan Usman dan awal pemerintahan Ali. Mereka adalah netralis-netralis politik dan moderat religius yang lebih memusatkan diri pada pengembangan ilmu keislaman. Bagi mereka para sahabat yang terlibat dalam sengketa politik itu masih merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari ajaran yang benar.
Baca Juga: Sekte Syiah yang Perlu Diketahui
Itulah sebabnya, maka mereka menunda persoalan siapa yang benar dan yang salah sampai pada hari kiamat. Dalam menghadapi kelompok-kelompok keras yang mendukung dan menentang Utsman dan Ali, kaum Murji’ah ini mewakili pandangan yang moderat. Mereka meng-irja’-kan posisi Ali di belakang Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan sesuai urutan dan keutamaan masing-masing.
Paham Murji’ah di atas dapat membawa suatu pemahaman bahwa yang paling penting adalah iman, sedang perbuatan merupakan soal lain. Iman cukup dalam hati saja dan perbuatan kurang esensial artinya. Keyakinan yang ada dalam hati itulah yang penting dan apa yang ada dalam hati manusia hanya Tuhan yang mengetahuinya di samping manusia yang bersangkutan.
Perbuatan menurut mereka tidak mempunyai pengaruh terhadap keyakinan. Iman seseorang tidak dapat dirusakkan oleh dosa yang dilakukannya. Sikap ini pada satu sisi akan membawa kepada tingkat fatalisme, penundaan, dan penyerahan urusan dosa besar kepada Allah semata membawa implikasi Jabariyah.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Sejarah Syiah dan Beberapa Pendapat tentang Kelahiran Syiah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Sejarah dan Pengertian Aliran Murji’ah"
Posting Komentar