Sejarah dan Pengertian Aliran Mu’tazilah
fikriamiruddin.com - Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, dalam artian menjauh atau memisahkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah dapat menunjuk kepada dua golongan. Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Pada awalnya golongan jama’ah ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam artian sikap yang lunak dalam menengahi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama dengan Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
Cukup menarik sekali bahwa mereka itulah yang sesungguhnya mula-mula dikatakan kaum Mu’tazilah dalam arti kaum netralis (dalam arti politik) tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh kemudian kelak. Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mu’tazilah.
Mu’tazilah II inilah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini, yang kemunculannya sebagai sejarah memiliki banyak versi. Seperti versi Syahrastani dimulai dari dialog antara Washil bin Atha’ dengan Hasan al-Basri. Pada suatu hari Washil bin Atha datang menemui Hasan Basri dan berkata “Wahai pemuka agama, telah lahir di zaman kita ini sekelompok manusia yang mengkafirkan setiap orang yang melakukan dosa besar.
Dosa besar menurutnya yang menyebabkan kekafiran dan kelompok ini adalah Khawarij. Ada lagi kelompok manusia yang menyerahkan urusannya kepada Allah mengenai orang yang berbuat dosa besar. Menurut mereka dosa besar tidak mempengaruhi iman, karena perbuatan menurut mereka bukan termasuk rukun (unsur) iman, iman tidak akan rusak lantaran berbuat dosa besar, demikian juga ketaatan tidak dipengaruhi oleh kekafiran. Kelompok ini disebut “Murji’ah”. Karena itu, bagaimana pendapatmu mengenai pendirian dari dua kelompok ini?”
Hasan al-Basri berfikir sejenak sebelum memberikan jawaban pertanyaan itu. Namun, Washil bin Atha lebih dahulu menjawab pertanyaannya sendiri, katanya “Ku katakan orang yang melakukan dosa besar masih dianggap beriman dan juga bukan kafir. Setelah mengucapkan ucapan itu ia keluar dari masjid dan memisahkan diri dari kelompok Hasan al-Basri. Dan ia mempertahankan pendiriannya di hadapan murid-murid Hasan al-Basri”.
Hasan al-Basri berkata “Telah memisahkan diri (i’tizal) Washil dari kelompok kita. Karena itu, Washil dan rekan-rekannya yang sama pendiriannya dinamakan “Mu’tazilah” yakni orang yang memisahkan diri”. Dari jawaban Washil bin Atha’ tersebut tampaklah bagi kita pendapat Washil berbeda dengan pendapat Khawarij dan Murji’ah dan dia menegaskan bahwa pelaku dosa besar itu ada di antara dua tempat, yakni di antara iman dan kufr.
Baca Juga: Ajaran dan Sekte Aliran Murji’ah
Setelah kejadian yang cukup dramatis itu Washil meninggalkan halaqah Hasan al-Basri dan duduk di bagian masjid itu juga dan diikuti oleh teman-temannya. Di sinilah dia mengulangi apa yang ia sampaikan, di hadapan teman-temannya. Washil menetapkan mazhabnya. Ketika itulah Hasan al-Basri berkata “Washil telah menjauh dari saya”. Sejak kejadian inilah kelompok Washil disebut Mu’tazilah.
Dengan demikian, sebutan Mu’tazilah diberikan mereka yang tidak sepaham. Namun, lama-kelamaan sebutan tersebut diterima oleh yang bersangkutan (kaum Mu’tazilah) dengan memberi pengertian baru “menjauhi yang salah”. Namun, apabila pertanyaan mengenai “status dosa besar” ini banyak diselimuti latar belakang politis, maka pertanyaan mengenai “kebebasan manusia” terasa lebih bersifat murni teologis.
Sebenarnya pada kisaran inilah Mu’tazilah benar-benar tumbuh sebagai aliran teologi tersendiri di antara aliran-aliran teologi yang lain. Berbeda dengan aliran teologi lainnya, Mu’tazilah secara tegas mengatakan bahwa manusia sepenuhnya memiliki kebebasan sendiri, untuk bertindak. Terdapat sebutan lain untuk Mu’tazilah yakni “al-Mu’attilah”, karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam artian sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan.
Mereka menamainya dengan wa’diah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum Tuhan. Sebutan al-Mu’attilah ini diberikan oleh golongan Ahlussunnah kepada aliran Mu’tazilah sebagai ejekan. Pada awalnya sebutan itu diberikan kepada aliran Jahmiyah, karena Jahm bin Shafwan mengosongkan Tuhan dari sifat-sifat-Nya, lantaran persoalan sifat-sifat Tuhan diambil dari aliran Mu’tazilah, mereka juga disebut “Mu’attilah”.
Namun, orang-orang Mu’tazilah lebih suka disebut “Ahl al-Adl wa al-Tawhid”, namun mereka tidak menolak disebut Mu’tazilah”. Bahkan dari ucapan-ucapan pemuka Mu’tazilah dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa mereka sendirilah yang menimbulkan nama itu. Menurut al-Qadi Abdul Jabbar, seorang pemuka Mu’tazilah bahwa di dalam teologi terdapat kata “i’tazala” yang mengandung arti mengasingkan diri dari yang salah dan benar, dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian.
Tetapi menurut keterangan seorang Mu’tazilah yang lain yakni Ibnu al-Murtada bahwa nama Mu’tazilah itu bukan diberikan oleh orang lain, namun orang-orang Mu’tazilah sendiri yang menciptakan nama itu, sehingga sebutan nama Mu’tazilah timbul lantaran golongan Mu’tazilah menyalahi pendapat umat, dalam artian mereka mempunyai pemecahan sendiri. Perpindahan tempat dari satu sudut ke sudut lain boleh jadi hanya merupakan lambang penjauhan dari golongan-golongan yang ada dan menciptakan aliran tersendiri.
Baca Juga: Sejarah dan Pengertian Aliran Murji’ah
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa aliran Mu’tazilah merupakan aliran yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa oleh golongan Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan teologi, Mu’tazilah banyak memakai akal (rasio), sehingga mereka dijuluki “kaum rasionalis dalam Islam”. Dalam artian, Mu’tazilah banyak memakai akal dalam merumuskan keyakinan teologisnya lantaran itu mereka menjadi rasionalis. Tetapi tidak serta-merta mengabaikan wahyu.
Kaum Mu’tazilah-lah yang menyebut identitas dirinya sebagai ahl al-‘adl (pendukung paham keadilan Tuhan) wa ahl al-tawhid (golongan pembela tauhid). Pihak lawan memberi nama golongan ini dengan al-Qadariyah lantaran mereka menganut paham free will and free act, yakni bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Doktrin Syiah yang Perlu Diketahui. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Cukup menarik sekali bahwa mereka itulah yang sesungguhnya mula-mula dikatakan kaum Mu’tazilah dalam arti kaum netralis (dalam arti politik) tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh kemudian kelak. Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mu’tazilah.
Mu’tazilah II inilah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini, yang kemunculannya sebagai sejarah memiliki banyak versi. Seperti versi Syahrastani dimulai dari dialog antara Washil bin Atha’ dengan Hasan al-Basri. Pada suatu hari Washil bin Atha datang menemui Hasan Basri dan berkata “Wahai pemuka agama, telah lahir di zaman kita ini sekelompok manusia yang mengkafirkan setiap orang yang melakukan dosa besar.
Dosa besar menurutnya yang menyebabkan kekafiran dan kelompok ini adalah Khawarij. Ada lagi kelompok manusia yang menyerahkan urusannya kepada Allah mengenai orang yang berbuat dosa besar. Menurut mereka dosa besar tidak mempengaruhi iman, karena perbuatan menurut mereka bukan termasuk rukun (unsur) iman, iman tidak akan rusak lantaran berbuat dosa besar, demikian juga ketaatan tidak dipengaruhi oleh kekafiran. Kelompok ini disebut “Murji’ah”. Karena itu, bagaimana pendapatmu mengenai pendirian dari dua kelompok ini?”
Hasan al-Basri berfikir sejenak sebelum memberikan jawaban pertanyaan itu. Namun, Washil bin Atha lebih dahulu menjawab pertanyaannya sendiri, katanya “Ku katakan orang yang melakukan dosa besar masih dianggap beriman dan juga bukan kafir. Setelah mengucapkan ucapan itu ia keluar dari masjid dan memisahkan diri dari kelompok Hasan al-Basri. Dan ia mempertahankan pendiriannya di hadapan murid-murid Hasan al-Basri”.
Hasan al-Basri berkata “Telah memisahkan diri (i’tizal) Washil dari kelompok kita. Karena itu, Washil dan rekan-rekannya yang sama pendiriannya dinamakan “Mu’tazilah” yakni orang yang memisahkan diri”. Dari jawaban Washil bin Atha’ tersebut tampaklah bagi kita pendapat Washil berbeda dengan pendapat Khawarij dan Murji’ah dan dia menegaskan bahwa pelaku dosa besar itu ada di antara dua tempat, yakni di antara iman dan kufr.
Baca Juga: Ajaran dan Sekte Aliran Murji’ah
Setelah kejadian yang cukup dramatis itu Washil meninggalkan halaqah Hasan al-Basri dan duduk di bagian masjid itu juga dan diikuti oleh teman-temannya. Di sinilah dia mengulangi apa yang ia sampaikan, di hadapan teman-temannya. Washil menetapkan mazhabnya. Ketika itulah Hasan al-Basri berkata “Washil telah menjauh dari saya”. Sejak kejadian inilah kelompok Washil disebut Mu’tazilah.
Dengan demikian, sebutan Mu’tazilah diberikan mereka yang tidak sepaham. Namun, lama-kelamaan sebutan tersebut diterima oleh yang bersangkutan (kaum Mu’tazilah) dengan memberi pengertian baru “menjauhi yang salah”. Namun, apabila pertanyaan mengenai “status dosa besar” ini banyak diselimuti latar belakang politis, maka pertanyaan mengenai “kebebasan manusia” terasa lebih bersifat murni teologis.
Sebenarnya pada kisaran inilah Mu’tazilah benar-benar tumbuh sebagai aliran teologi tersendiri di antara aliran-aliran teologi yang lain. Berbeda dengan aliran teologi lainnya, Mu’tazilah secara tegas mengatakan bahwa manusia sepenuhnya memiliki kebebasan sendiri, untuk bertindak. Terdapat sebutan lain untuk Mu’tazilah yakni “al-Mu’attilah”, karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam artian sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan.
Mereka menamainya dengan wa’diah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum Tuhan. Sebutan al-Mu’attilah ini diberikan oleh golongan Ahlussunnah kepada aliran Mu’tazilah sebagai ejekan. Pada awalnya sebutan itu diberikan kepada aliran Jahmiyah, karena Jahm bin Shafwan mengosongkan Tuhan dari sifat-sifat-Nya, lantaran persoalan sifat-sifat Tuhan diambil dari aliran Mu’tazilah, mereka juga disebut “Mu’attilah”.
Namun, orang-orang Mu’tazilah lebih suka disebut “Ahl al-Adl wa al-Tawhid”, namun mereka tidak menolak disebut Mu’tazilah”. Bahkan dari ucapan-ucapan pemuka Mu’tazilah dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa mereka sendirilah yang menimbulkan nama itu. Menurut al-Qadi Abdul Jabbar, seorang pemuka Mu’tazilah bahwa di dalam teologi terdapat kata “i’tazala” yang mengandung arti mengasingkan diri dari yang salah dan benar, dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian.
Tetapi menurut keterangan seorang Mu’tazilah yang lain yakni Ibnu al-Murtada bahwa nama Mu’tazilah itu bukan diberikan oleh orang lain, namun orang-orang Mu’tazilah sendiri yang menciptakan nama itu, sehingga sebutan nama Mu’tazilah timbul lantaran golongan Mu’tazilah menyalahi pendapat umat, dalam artian mereka mempunyai pemecahan sendiri. Perpindahan tempat dari satu sudut ke sudut lain boleh jadi hanya merupakan lambang penjauhan dari golongan-golongan yang ada dan menciptakan aliran tersendiri.
Baca Juga: Sejarah dan Pengertian Aliran Murji’ah
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa aliran Mu’tazilah merupakan aliran yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa oleh golongan Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan teologi, Mu’tazilah banyak memakai akal (rasio), sehingga mereka dijuluki “kaum rasionalis dalam Islam”. Dalam artian, Mu’tazilah banyak memakai akal dalam merumuskan keyakinan teologisnya lantaran itu mereka menjadi rasionalis. Tetapi tidak serta-merta mengabaikan wahyu.
Kaum Mu’tazilah-lah yang menyebut identitas dirinya sebagai ahl al-‘adl (pendukung paham keadilan Tuhan) wa ahl al-tawhid (golongan pembela tauhid). Pihak lawan memberi nama golongan ini dengan al-Qadariyah lantaran mereka menganut paham free will and free act, yakni bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Doktrin Syiah yang Perlu Diketahui. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Sejarah dan Pengertian Aliran Mu’tazilah"
Posting Komentar