Mengenal Ajaran Pokok Teologi Mu’tazilah
fikriamiruddin.com - Ajaran pokok teologi Mu’tazilah populer dikenal dengan konsep lima ajaran pokok (al-Ushul al-Khamsah). Kelima ajaran pokok tersebut di antaranya al-Tawhid, al-‘Adl, al-wa’ad wa al-wa’id, al-manzilah bayna al-manzilatayn, dan al-amr bi al-ma’ruf wa nahy an al-munkar. Kelima ajaran pokok Mu’tazilah tersebut harus diterima oleh para penganut Mu’tazilah. Untuk lebih jelasnya kelima ajaran pokok tersebut akan dibahas secara terperinci sebagai berikut.
1. Al-Tawhid
Dalam meng-Esa-kan atau Wahdaniyah Tuhan dari sifat-sifat-Nya, maka Mu’tazilah mengambil pemikiran bahwa sesungguhnya Tuhan tidak mempunyai sifat seperti “Maha Mengetahui”, “Maha Mendengar”, “Maha Bijaksana”, dan lain sebagainya. Al-Tawhid (ke-Maha Esaan Tuhan) diartikan bahwa Tuhan hanya betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia.
Satu-satunya sifat Tuhan yang betul-betul tidak ada pada makhluknya adalah Qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan. Karena itu, tidak ada yang lain selain dari Allah yang bisa bersifat qadim. Hanya Dzat Tuhan yang boleh qadim. Berkaitan dengan ke-Esaan Tuhan sebagaimana dijelaskan di atas, lahirlah beberapa pandangan dari kalangan Mu’tazilah mengenai peniadaan sifat-sifat Tuhan (nafy al-sifah).
Selain itu, penolakan faham antropomophisme (penyerupaan Tuhan dengan makhluk/manusia), penolakan terhadap beautific vision (Tuhan dapat dilihat dengan mata manusia dan segala faham yang membawa kepada berbilangnya yang Qadim (ta’addud al-qudama’). Yang dimaksud dengan penolakan terhadap sifat-sifat Tuhan dalam faham Mu’tazilah adalah apabila sifat-sifat itu berdiri sendiri terpisah dari dzat.
2. Al-‘Adl
Al-‘Adl erat kaitannya dengan al-Tawhid. Kalau al-Tawhid kaum Mu’tazilah ingin menyucikan diri Tuhan dari persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘Adl mereka ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan perbuatan makhluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil. Tuhan tidak bisa berbuat dzalim. Dalam artian, apabila al-Tawhid membahas keunikan Tuhan, al-‘Adl membahas keunikan perbuatan Tuhan.
Tuhan juga memberikan daya kepada manusia untuk dapat memikul beban-beban yang diletakkan Tuhan di atas pundak-Nya, menerangkan hakekat akan beban-bebas tersebut dan memberi hukuman atas perbuatan-perbuatannya. Apabila Tuhan memberi siksaan, maka siksaan itu adalah untuk kepentingan dan maslahat manusia, jika tidak demikian maka berarti Tuhan melalaikan kewajiban-Nya.
Dengan konsep al-‘Adl semacam ini, Mu’tazilah memandang betapa Sucinya Tuhan, Maha Agung, dan Maha Sempurna. Tuhan sama sekali tidak melakukan keburukan dan berbuat zalim bahkan tidak dapat (tidak mampu) berbuat keburukan. Pendapat inilah yang kemudian melahirkan konsep al-salah wa al-aslah yang berarti bahwa wajib bagi Tuhan untuk mendatangkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk manusia.
Baca Juga: Pemikiran dan Sekte Teologi Mu’tazilah
3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id
Seorang mukmin yang mati dengan segala ketaatan dan penuh taubat, ia berhak mendapat pahala. Barang siapa yang mati tanpa bertaubat dari dosa besar yang pernah diperbuatnya, ia akan kekal di neraka, namun siksanya lebih ringan daripada orang kafir. Karena itu, ia menolak adanya syafaat (pengampunan) pada hari kiamat. Baik syafaat dari para nabi, para wali, maupun rahmat Tuhan sendiri tidak dapat merubah apa yang telah diputuskan oleh keadilan-Nya.
Karena hal tersebut akan membahayakan kebajikan-Nya dan membiarkan makhluk-Nya sama sekali akan nasibnya yang terakhir (yang sebenarnya). Dari prinsip ini tidak ada alternatif bagi Tuhan kecuali memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan menyiksa orang yang berbuat jahat, kecuali orang tersebut telah tertaubat dengan sebenarnya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan baik itu terkait dengan janji dan ancaman-Nya.
4. Al-manzilah bayna al-manzilatayn
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut sebagai kafir atau musyrik, sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang tersebut tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan.
Boleh jadi dosa tersebut diampuni Tuhan. Adapun pendapat Wasil bin Atha bahwa pelaku dosa besar berada di antara dua posisi (al-manzilah bayna al-manzilatayn). Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum bertaubat bukan lagi disebut mukmin atau kafir, namun fasiq.
5. Al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahy’an al-Munkar
Ajaran Mu’tazilah yang kelima ini lebih menitikberatkan pada aspek moral praktis dan politis (daripada aspek teologis) menurut ajaran tersebut, perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat wajib dilakukan oleh orang yang beriman apabila memenuhi beberapa syarat di antaranya ia mengetahui bahwa yang diperintahkan itu memang sesuatu yang ma’ruf dan yang dilarang itu memang sesuatu yang munkar.
Baca Juga: Memahami Pemikiran Washil bin Atha
Kemudian ia mengetahui bahwa yang munkar itu nyata dilakukan orang. Selanjutnya Ia mengetahui bahwa perintah berbuat baik atau larangan berbuat jahat itu tidak akan membawa mudharat yang lebih besar. Berikutnya ia mengetahui atau setidaknya menyangka bahwa usahanya akan berhasil. Selain itu, ia mengetahui atau setidaknya sudah mengira bahwa apa yang dilakukan tidak akan membahayakan dirinya atau hartanya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Sejarah dan Pengertian Aliran Mu’tazilah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
1. Al-Tawhid
Dalam meng-Esa-kan atau Wahdaniyah Tuhan dari sifat-sifat-Nya, maka Mu’tazilah mengambil pemikiran bahwa sesungguhnya Tuhan tidak mempunyai sifat seperti “Maha Mengetahui”, “Maha Mendengar”, “Maha Bijaksana”, dan lain sebagainya. Al-Tawhid (ke-Maha Esaan Tuhan) diartikan bahwa Tuhan hanya betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia.
Satu-satunya sifat Tuhan yang betul-betul tidak ada pada makhluknya adalah Qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan. Karena itu, tidak ada yang lain selain dari Allah yang bisa bersifat qadim. Hanya Dzat Tuhan yang boleh qadim. Berkaitan dengan ke-Esaan Tuhan sebagaimana dijelaskan di atas, lahirlah beberapa pandangan dari kalangan Mu’tazilah mengenai peniadaan sifat-sifat Tuhan (nafy al-sifah).
Selain itu, penolakan faham antropomophisme (penyerupaan Tuhan dengan makhluk/manusia), penolakan terhadap beautific vision (Tuhan dapat dilihat dengan mata manusia dan segala faham yang membawa kepada berbilangnya yang Qadim (ta’addud al-qudama’). Yang dimaksud dengan penolakan terhadap sifat-sifat Tuhan dalam faham Mu’tazilah adalah apabila sifat-sifat itu berdiri sendiri terpisah dari dzat.
2. Al-‘Adl
Al-‘Adl erat kaitannya dengan al-Tawhid. Kalau al-Tawhid kaum Mu’tazilah ingin menyucikan diri Tuhan dari persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘Adl mereka ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan perbuatan makhluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil. Tuhan tidak bisa berbuat dzalim. Dalam artian, apabila al-Tawhid membahas keunikan Tuhan, al-‘Adl membahas keunikan perbuatan Tuhan.
Tuhan juga memberikan daya kepada manusia untuk dapat memikul beban-beban yang diletakkan Tuhan di atas pundak-Nya, menerangkan hakekat akan beban-bebas tersebut dan memberi hukuman atas perbuatan-perbuatannya. Apabila Tuhan memberi siksaan, maka siksaan itu adalah untuk kepentingan dan maslahat manusia, jika tidak demikian maka berarti Tuhan melalaikan kewajiban-Nya.
Dengan konsep al-‘Adl semacam ini, Mu’tazilah memandang betapa Sucinya Tuhan, Maha Agung, dan Maha Sempurna. Tuhan sama sekali tidak melakukan keburukan dan berbuat zalim bahkan tidak dapat (tidak mampu) berbuat keburukan. Pendapat inilah yang kemudian melahirkan konsep al-salah wa al-aslah yang berarti bahwa wajib bagi Tuhan untuk mendatangkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk manusia.
Baca Juga: Pemikiran dan Sekte Teologi Mu’tazilah
3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id
Seorang mukmin yang mati dengan segala ketaatan dan penuh taubat, ia berhak mendapat pahala. Barang siapa yang mati tanpa bertaubat dari dosa besar yang pernah diperbuatnya, ia akan kekal di neraka, namun siksanya lebih ringan daripada orang kafir. Karena itu, ia menolak adanya syafaat (pengampunan) pada hari kiamat. Baik syafaat dari para nabi, para wali, maupun rahmat Tuhan sendiri tidak dapat merubah apa yang telah diputuskan oleh keadilan-Nya.
Karena hal tersebut akan membahayakan kebajikan-Nya dan membiarkan makhluk-Nya sama sekali akan nasibnya yang terakhir (yang sebenarnya). Dari prinsip ini tidak ada alternatif bagi Tuhan kecuali memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan menyiksa orang yang berbuat jahat, kecuali orang tersebut telah tertaubat dengan sebenarnya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan baik itu terkait dengan janji dan ancaman-Nya.
4. Al-manzilah bayna al-manzilatayn
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut sebagai kafir atau musyrik, sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang tersebut tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan.
Boleh jadi dosa tersebut diampuni Tuhan. Adapun pendapat Wasil bin Atha bahwa pelaku dosa besar berada di antara dua posisi (al-manzilah bayna al-manzilatayn). Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum bertaubat bukan lagi disebut mukmin atau kafir, namun fasiq.
5. Al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahy’an al-Munkar
Ajaran Mu’tazilah yang kelima ini lebih menitikberatkan pada aspek moral praktis dan politis (daripada aspek teologis) menurut ajaran tersebut, perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat wajib dilakukan oleh orang yang beriman apabila memenuhi beberapa syarat di antaranya ia mengetahui bahwa yang diperintahkan itu memang sesuatu yang ma’ruf dan yang dilarang itu memang sesuatu yang munkar.
Baca Juga: Memahami Pemikiran Washil bin Atha
Kemudian ia mengetahui bahwa yang munkar itu nyata dilakukan orang. Selanjutnya Ia mengetahui bahwa perintah berbuat baik atau larangan berbuat jahat itu tidak akan membawa mudharat yang lebih besar. Berikutnya ia mengetahui atau setidaknya menyangka bahwa usahanya akan berhasil. Selain itu, ia mengetahui atau setidaknya sudah mengira bahwa apa yang dilakukan tidak akan membahayakan dirinya atau hartanya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Sejarah dan Pengertian Aliran Mu’tazilah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Mengenal Ajaran Pokok Teologi Mu’tazilah"
Posting Komentar