Sekolah Seharusnya Menerapkan Pembelajaran Berbasis Kepedulian Lingkungan Hidup
fikriamiruddin.com - Sekolah di Indonesia tampaknya telah gagal mendidik para siswa untuk sadar bahwa lingkungan hidup adalah bagian dari kita umat manusia. Yang ada, sekolah hanya mengajarkan menjawab soal yang manfaatnya tak pernah dirasakan di dunia nyata.
Sejauh pengamatan saya yang beberapa tahun terakhir ini aktif di dunia pendidikan, saya menemukan fakta bahwa, sekolah adalah penyumbang sampah terbesar berjenis kertas. Jumlah sampah kertas itu tentu saja berbanding lurus dengan jumlah pohon yang ditebang untuk keperluan produksi kertas.
Dalam artian, semakin banyak permintaan kertas di pasaran, tentu keberadaan hutan akan semakin terancam. Hal ini tentu saja mau tidak mau manusia harus siap beradaptasi dengan perubahan yang kemungkinan terjadi secara spontan.
Sementara itu, manusia modern juga tidak bisa lepas dari apa yang namanya plastik. Di setiap dimensi kehidupan kita pasti selalu ada plastik. Hal itu lantaran plastik memiliki keunggulan tahan lama, murah, dan praktis.
Saat ini, plastik mendominasi sampah di masyarakat, mulai dari kantong plastik, gelas plastik, sedotan plastik, styrofoam, bungkus makanan ringan, bungkus mie instan, minuman sachet, dan produk-produk sachet lainnya.
Sedangkan sistem pendidikan di sekolah tidak pernah memberikan kesadaran kepada kita, bahwa membuang sampah sembarangan, memakai kantong plastik sekali pakai, dan memakai sabun serta deterjen yang berlebihan adalah bunuh diri secara perlahan.
Pernah suatu ketika saya mengikuti seminar tentang lingkungan hidup yang diadakan oleh salah satu universitas di Surabaya. Peserta dari seminar ini adalah para siswa, guru, mahasiswa, dan tenaga kependidikan.
Seminar tersebut membahas mulai dari sampah plastik, kertas, sampai popok bayi. Pada saat itu, para peserta dan pemateri diminta untuk membawa tumbler atau botol minum sendiri untuk minum. Sedangkan untuk makanan tidak dikemas dengan kotak sekali pakai, namun memakai piring.
Baca Juga: Pandemi Menyelamatkan Anak dari Teror Ketakutan di Sekolah
Secara konsep, acara tersebut sudah pasti ramah lingkungan. Ditambah lagi para peserta adalah orang-orang yang bisa dibilang terpelajar. Namun, realitas yang terjadi di lapangan justru berbanding terbalik.
Sebelum acara dimulai, saya mengamati ada salah satu sekolah yang para guru dan siswanya tidak membawa tumbler. Melainkan masing-masing dari mereka membawa air minum gelas dalam kemasan. Hal ini tentu saja secara tidak langsung merusak acara yang sudah dikemas ramah lingkungan itu.
Tak hanya itu, setelah acara seminar tersebut selesai. Banyak sekali peserta yang tidak peduli dengan sampah yang ditinggalkannya, lalu meninggalkan ruangan begitu saja. Padahal, pemateri dan panitia sudah berusaha mengingatkan mereka berulang kali.
Tentu saya miris melihat akan hal itu. Namun, mau bagaimana lagi? Orang-orang yang dianggap terpelajar saja tidak peduli dengan lingkungan. Bagaimana dengan orang-orang yang tidak pernah mendapatkan edukasi tentang lingkungan?
Berdasarkan realitas tersebut, sudah terlihat jelas bahwa sekolah tidak pernah mengajarkan untuk peduli lingkungan hidup. Sistem pendidikan kita hanya memaksa siswa untuk menghafal dan menjawab persoalan yang jauh dari realitas.
Hingga akhirnya, pendidikan justru malah menghancurkan kita, menjauhkan kita dari lingkungan, dan membuat kita terasing di masyarakat. Apalagi jika guru hanya memberi tugas dan pekerjaan rumah terus-menerus, tanpa pernah tahu persoalan yang dihadapi setiap siswanya.
Ketika siswa telat datang ke sekolah misalnya, guru langsung memberikan sanksi tanpa pernah mau tahu alasan mereka terlambat. Padahal, ada siswa yang harus masak, mencuci, dan mengerjakan urusan rumah lainnya sebelum berangkat ke sekolah.
Selain itu, sering kali ada siswa terlambat ke sekolah untuk membantu korban kecelakaan di jalan raya, menyebrangkan lansia, atau mungkin mengantarkan orangtua mereka bekerja terlebih dahulu.
Baca Juga: Rekomendasi Tugas yang Bisa Diberikan Guru di Masa Pandemi Corona
Sialnya pihak sekolah tidak pernah mau peduli dengan semua itu. Padahal, seharusnya kurikulum di sekolah itu selayaknya berkaitan dengan hal-hal yang ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari terlebih dahulu. Kemudian kalau ada waktu lebih, baru belajar hal-hal lain yang jarang ditemui dalam realitas sehari-hari.
Sehingga dalam hal ini, sekolah harus menerapkan pembelajaran berbasis lingkungan hidup. Mulai dari mengajarkan siswa untuk bertani, bercocok tanam, mengolah limbah, memilah sampah, dan persoalan lain dalam kehidupan sehari-hari.
Setidaknya sekolah harus memberikan kesadaran untuk memakai sabun atau sampo alternatif, hemat dalam menggunakan kertas, mengurangi konsumsi daging, hemat listrik, efektif memakai gadget, dan banyak menonton film dokumenter tentang lingkungan hidup.
Semua itu harus dilakukan demi terciptanya kelestarian lingkungan hidup demi anak cucu kita pada masa yang akan datang. Semoga.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Merawat dan Meneladani Nilai-Nilai Utama Gus Dur dalam Konteks Kekinian. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Sejauh pengamatan saya yang beberapa tahun terakhir ini aktif di dunia pendidikan, saya menemukan fakta bahwa, sekolah adalah penyumbang sampah terbesar berjenis kertas. Jumlah sampah kertas itu tentu saja berbanding lurus dengan jumlah pohon yang ditebang untuk keperluan produksi kertas.
Dalam artian, semakin banyak permintaan kertas di pasaran, tentu keberadaan hutan akan semakin terancam. Hal ini tentu saja mau tidak mau manusia harus siap beradaptasi dengan perubahan yang kemungkinan terjadi secara spontan.
Sementara itu, manusia modern juga tidak bisa lepas dari apa yang namanya plastik. Di setiap dimensi kehidupan kita pasti selalu ada plastik. Hal itu lantaran plastik memiliki keunggulan tahan lama, murah, dan praktis.
Saat ini, plastik mendominasi sampah di masyarakat, mulai dari kantong plastik, gelas plastik, sedotan plastik, styrofoam, bungkus makanan ringan, bungkus mie instan, minuman sachet, dan produk-produk sachet lainnya.
Sedangkan sistem pendidikan di sekolah tidak pernah memberikan kesadaran kepada kita, bahwa membuang sampah sembarangan, memakai kantong plastik sekali pakai, dan memakai sabun serta deterjen yang berlebihan adalah bunuh diri secara perlahan.
Pernah suatu ketika saya mengikuti seminar tentang lingkungan hidup yang diadakan oleh salah satu universitas di Surabaya. Peserta dari seminar ini adalah para siswa, guru, mahasiswa, dan tenaga kependidikan.
Seminar tersebut membahas mulai dari sampah plastik, kertas, sampai popok bayi. Pada saat itu, para peserta dan pemateri diminta untuk membawa tumbler atau botol minum sendiri untuk minum. Sedangkan untuk makanan tidak dikemas dengan kotak sekali pakai, namun memakai piring.
Baca Juga: Pandemi Menyelamatkan Anak dari Teror Ketakutan di Sekolah
Secara konsep, acara tersebut sudah pasti ramah lingkungan. Ditambah lagi para peserta adalah orang-orang yang bisa dibilang terpelajar. Namun, realitas yang terjadi di lapangan justru berbanding terbalik.
Sebelum acara dimulai, saya mengamati ada salah satu sekolah yang para guru dan siswanya tidak membawa tumbler. Melainkan masing-masing dari mereka membawa air minum gelas dalam kemasan. Hal ini tentu saja secara tidak langsung merusak acara yang sudah dikemas ramah lingkungan itu.
Tak hanya itu, setelah acara seminar tersebut selesai. Banyak sekali peserta yang tidak peduli dengan sampah yang ditinggalkannya, lalu meninggalkan ruangan begitu saja. Padahal, pemateri dan panitia sudah berusaha mengingatkan mereka berulang kali.
Tentu saya miris melihat akan hal itu. Namun, mau bagaimana lagi? Orang-orang yang dianggap terpelajar saja tidak peduli dengan lingkungan. Bagaimana dengan orang-orang yang tidak pernah mendapatkan edukasi tentang lingkungan?
Berdasarkan realitas tersebut, sudah terlihat jelas bahwa sekolah tidak pernah mengajarkan untuk peduli lingkungan hidup. Sistem pendidikan kita hanya memaksa siswa untuk menghafal dan menjawab persoalan yang jauh dari realitas.
Hingga akhirnya, pendidikan justru malah menghancurkan kita, menjauhkan kita dari lingkungan, dan membuat kita terasing di masyarakat. Apalagi jika guru hanya memberi tugas dan pekerjaan rumah terus-menerus, tanpa pernah tahu persoalan yang dihadapi setiap siswanya.
Ketika siswa telat datang ke sekolah misalnya, guru langsung memberikan sanksi tanpa pernah mau tahu alasan mereka terlambat. Padahal, ada siswa yang harus masak, mencuci, dan mengerjakan urusan rumah lainnya sebelum berangkat ke sekolah.
Selain itu, sering kali ada siswa terlambat ke sekolah untuk membantu korban kecelakaan di jalan raya, menyebrangkan lansia, atau mungkin mengantarkan orangtua mereka bekerja terlebih dahulu.
Baca Juga: Rekomendasi Tugas yang Bisa Diberikan Guru di Masa Pandemi Corona
Sialnya pihak sekolah tidak pernah mau peduli dengan semua itu. Padahal, seharusnya kurikulum di sekolah itu selayaknya berkaitan dengan hal-hal yang ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari terlebih dahulu. Kemudian kalau ada waktu lebih, baru belajar hal-hal lain yang jarang ditemui dalam realitas sehari-hari.
Sehingga dalam hal ini, sekolah harus menerapkan pembelajaran berbasis lingkungan hidup. Mulai dari mengajarkan siswa untuk bertani, bercocok tanam, mengolah limbah, memilah sampah, dan persoalan lain dalam kehidupan sehari-hari.
Setidaknya sekolah harus memberikan kesadaran untuk memakai sabun atau sampo alternatif, hemat dalam menggunakan kertas, mengurangi konsumsi daging, hemat listrik, efektif memakai gadget, dan banyak menonton film dokumenter tentang lingkungan hidup.
Semua itu harus dilakukan demi terciptanya kelestarian lingkungan hidup demi anak cucu kita pada masa yang akan datang. Semoga.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Merawat dan Meneladani Nilai-Nilai Utama Gus Dur dalam Konteks Kekinian. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Sekolah Seharusnya Menerapkan Pembelajaran Berbasis Kepedulian Lingkungan Hidup"
Posting Komentar