Pengertian Kompilasi dalam Hukum Islam
fikriamiruddin.com - Secara bahasa, kompilasi berasal dari bahasa Latin “compilare”, yang berarti mengumpulkan bersama-sama. Kata ini dikembangkan dalam bahasa Inggris menjadi “compilation” yang berarti suatu kumpulan atau himpunan. Dari pemahaman bahasa ini, definisi kompilasi dapat dikemukakan, yakni proses kegiatan pengumpulan berbagai bahan dan data yang diambil dari berbagai sumber buku sesuai dengan kebutuhan untuk disusun kembali ke dalam sebuah buku baru yang lebih teratur dan sistematis.
Pengertian di atas menunjukkan bahwa kompilasi dapat diterapkan di bidang hukum maupun di luar hukum. Pembuatan buku atau makalah dengan mengutip banyak sumber data tanpa analisis sedikitpun juga bisa disebut kompilasi. Kutipan ini tidak dicantumkan semuanya, melainkan pendapat yang diseleksi sesuai dengan kebutuhannya. Singkat kata, kompilasi hanya berhubungan dengan karya tertulis.
Beberapa kitab fikih mengenai perbandingan mazhab juga berisi kompilasi hukum Islam, semacam Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Ruysd dan al-Mizan al-Kubro karya al-Sya’rani. Selain itu, kompilasi juga telah dikenal oleh generasi murid sahabat Nabi Muhammad Saw. Abu Ameenah Bilal Philips mencatat, bahwa:
“Para ulama Hijaz awal mulai mengumpulkan beragam fatwa dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Aisyah binti Abu Bakar. Demikian juga, para ulama dari Iraq mulai mengumpulkan beragam fatwa dari Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib. Sayangnya, tidak satu pun koleksi awal tersebut tetap bertahan dalam bentuk aslinya. Kesemuanya sekarang hanya bisa diketahui melalui referensi-referensi dalam kitab-kitab yang ditulis para ulama generasi kemudian.”
Dalam ilmu hukum, kompilasi masih digunakan dalam wilayah hukum Islam. Dalam hukum Islam, terdapat aneka pendapat tentang suatu masalah yang berada dalam koridor Syari’ah. Semua pendapat ini diseleksi dan dihimpun hingga menjadi kompilasi. Di luar hukum Islam, terkenal dengan istilah kodifikasi, yakni menghimpun peraturan perundang-undangan tentang bidang tertentu dalam satu buku.
Contoh untuk kodifikasi adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam kitab ini, terhimpun semua peraturan yang terkait dengan hukum pidana. Perbedaan utama antara kompilasi dan kodifikasi adalah terletak pada kekuatan dan kepastian hukumnya. Kodifikasi lebih kuat kedudukan hukumnya daripada kompilasi yang hanya menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Kompilasi bisa digunakan sebagai media untuk meningkatkan pendapat hukum menjadi peraturan perundang-undangan. Dalam hukum Islam, pendapat hukum berserakan dalam beberapa mazhab. Penggunaan pendapat hukum ini tentu saja sulit dilaksanakan, karena umat Islam tidak bisa disatukan dalam satu mazhab. Perbedaan aneka pendapat hukum tersebut hanya dapat diatasi dengan kompilasi, yakni menyeleksi pendapat yang sesuai dengan kemashlahatan umat.
Kompilasi saja tidak cukup, mengingat belum memiliki kekuatan. Karena itu, kompilasi harus dilanjutkan hingga menjadi peraturan perundang-undangan. Proses demikian ini terjadi pada pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Baca Juga: 11 Macam Dalil dalam Hukum Islam
Proses Pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia
Gagasan pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia dilontarkan pada tahun 1985. Tidak ada kejelasan tentang orang yang melontarkan gagasan tersebut. Ada yang mengemukakan bahwa pencetusnya adalah Busthanul Arifin, Hakim Agung dan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahmakah Agung RI. Ada pula yang menyebut Munawir Sjadzali, Menteri Agama RI, bahkan ada pula yang mengemukakan KH. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa MUI.
Siapa pun pencetusnya, yang jelas ketiga orang ini terlibat aktif dan strategis dalam melahirkan KHI. Proyek pembentukan KHI dilaksanakan oleh dua instansi, yakni Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Kedua instansi ini mengangkat 16 orang sebagai pelaksana utama, delapan orang dari MA, tujuh orang dari Departemen Agama, dan seorang dari MUI, yakni KH. Ibrahim Hosen.
Selain pelaksana utama, proyek KHI juga melibatkan para ulama seluruh Indonesia, para cendekiawan dari Perguruan Tinggi Agama Islam seluruh Indonesia, serta para hakim agama di seluruh Peradilan Tinggi Agama seluruh Indonesia. Tujuan proyek ini adalah mengkompilasikan aturan hukum Islam yang mencakup wilayah muamalah dan yurisdiksi peradilan agama ke dalam tiga kitab, yakni kitab perkawinan, kitab waris, kitab wakaf, shadaqah, hibah, dan baitul mal.
Bahan data yang menjadi pertimbangan dalam pembentukan KHI adalah pendapat ulama seluruh Indonesia, pendapat hukum di kitab-kitab yang menjadi rujukan ulama Indonesia, serta hasil keputusan hakim di Peradilan Agama. Para ulama yang diwawancarai tercatat sebanyak 185 ulama seluruh Indonesia. Kitab-kitab yang menjadi kajian para cendekiawan sebanyak 38 kitab. Produk-produk putusan Peradilan Agama yang diteliti berjumlah 16 buku himpunan yurisprudensi.
Semua hasil kajian ini didiskusikan dalam beberapa lokakarya “Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi”. Selain itu, hasil kajian juga diperkuat dengan hasil studi banding di tiga negara, yakni Maroko, Turki, dan Mesir. Pada akhirnya, hasil semua kajian dirumuskan oleh pelaksana utama proyek KHI. Rumusan yang telah dianggap sempurna ini disampaikan dalam lokakarya yang terakhir kalinya.
Baca Juga: Pengertian Istidlal dalam Hukum Islam
Begitu rumusan KHI telah disepakati, maka Presiden Soeharto menerbitkan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 sebagai kekuatan hukum KHI. Inpres ini ditujukan kepada Menteri Agama, agar menyebarluaskan rumusan KHI dan menggunakannya sebagai pertimbangan pengambilan keputusan hukum oleh hakim agama di Peradilan Agama. Dengan demikian, proses pembuatan KHI dimulai dari penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) Hakim Agung dan Menteri Agama tanggal 25 Maret 1985 hingga terbitnya Inpres tanggal 10 Juni 1991.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pengertian Istinbath dalam Hukum Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Pengertian di atas menunjukkan bahwa kompilasi dapat diterapkan di bidang hukum maupun di luar hukum. Pembuatan buku atau makalah dengan mengutip banyak sumber data tanpa analisis sedikitpun juga bisa disebut kompilasi. Kutipan ini tidak dicantumkan semuanya, melainkan pendapat yang diseleksi sesuai dengan kebutuhannya. Singkat kata, kompilasi hanya berhubungan dengan karya tertulis.
Beberapa kitab fikih mengenai perbandingan mazhab juga berisi kompilasi hukum Islam, semacam Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Ruysd dan al-Mizan al-Kubro karya al-Sya’rani. Selain itu, kompilasi juga telah dikenal oleh generasi murid sahabat Nabi Muhammad Saw. Abu Ameenah Bilal Philips mencatat, bahwa:
“Para ulama Hijaz awal mulai mengumpulkan beragam fatwa dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Aisyah binti Abu Bakar. Demikian juga, para ulama dari Iraq mulai mengumpulkan beragam fatwa dari Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib. Sayangnya, tidak satu pun koleksi awal tersebut tetap bertahan dalam bentuk aslinya. Kesemuanya sekarang hanya bisa diketahui melalui referensi-referensi dalam kitab-kitab yang ditulis para ulama generasi kemudian.”
Dalam ilmu hukum, kompilasi masih digunakan dalam wilayah hukum Islam. Dalam hukum Islam, terdapat aneka pendapat tentang suatu masalah yang berada dalam koridor Syari’ah. Semua pendapat ini diseleksi dan dihimpun hingga menjadi kompilasi. Di luar hukum Islam, terkenal dengan istilah kodifikasi, yakni menghimpun peraturan perundang-undangan tentang bidang tertentu dalam satu buku.
Contoh untuk kodifikasi adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam kitab ini, terhimpun semua peraturan yang terkait dengan hukum pidana. Perbedaan utama antara kompilasi dan kodifikasi adalah terletak pada kekuatan dan kepastian hukumnya. Kodifikasi lebih kuat kedudukan hukumnya daripada kompilasi yang hanya menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Kompilasi bisa digunakan sebagai media untuk meningkatkan pendapat hukum menjadi peraturan perundang-undangan. Dalam hukum Islam, pendapat hukum berserakan dalam beberapa mazhab. Penggunaan pendapat hukum ini tentu saja sulit dilaksanakan, karena umat Islam tidak bisa disatukan dalam satu mazhab. Perbedaan aneka pendapat hukum tersebut hanya dapat diatasi dengan kompilasi, yakni menyeleksi pendapat yang sesuai dengan kemashlahatan umat.
Kompilasi saja tidak cukup, mengingat belum memiliki kekuatan. Karena itu, kompilasi harus dilanjutkan hingga menjadi peraturan perundang-undangan. Proses demikian ini terjadi pada pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Baca Juga: 11 Macam Dalil dalam Hukum Islam
Proses Pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia
Gagasan pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia dilontarkan pada tahun 1985. Tidak ada kejelasan tentang orang yang melontarkan gagasan tersebut. Ada yang mengemukakan bahwa pencetusnya adalah Busthanul Arifin, Hakim Agung dan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahmakah Agung RI. Ada pula yang menyebut Munawir Sjadzali, Menteri Agama RI, bahkan ada pula yang mengemukakan KH. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa MUI.
Siapa pun pencetusnya, yang jelas ketiga orang ini terlibat aktif dan strategis dalam melahirkan KHI. Proyek pembentukan KHI dilaksanakan oleh dua instansi, yakni Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Kedua instansi ini mengangkat 16 orang sebagai pelaksana utama, delapan orang dari MA, tujuh orang dari Departemen Agama, dan seorang dari MUI, yakni KH. Ibrahim Hosen.
Selain pelaksana utama, proyek KHI juga melibatkan para ulama seluruh Indonesia, para cendekiawan dari Perguruan Tinggi Agama Islam seluruh Indonesia, serta para hakim agama di seluruh Peradilan Tinggi Agama seluruh Indonesia. Tujuan proyek ini adalah mengkompilasikan aturan hukum Islam yang mencakup wilayah muamalah dan yurisdiksi peradilan agama ke dalam tiga kitab, yakni kitab perkawinan, kitab waris, kitab wakaf, shadaqah, hibah, dan baitul mal.
Bahan data yang menjadi pertimbangan dalam pembentukan KHI adalah pendapat ulama seluruh Indonesia, pendapat hukum di kitab-kitab yang menjadi rujukan ulama Indonesia, serta hasil keputusan hakim di Peradilan Agama. Para ulama yang diwawancarai tercatat sebanyak 185 ulama seluruh Indonesia. Kitab-kitab yang menjadi kajian para cendekiawan sebanyak 38 kitab. Produk-produk putusan Peradilan Agama yang diteliti berjumlah 16 buku himpunan yurisprudensi.
Semua hasil kajian ini didiskusikan dalam beberapa lokakarya “Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi”. Selain itu, hasil kajian juga diperkuat dengan hasil studi banding di tiga negara, yakni Maroko, Turki, dan Mesir. Pada akhirnya, hasil semua kajian dirumuskan oleh pelaksana utama proyek KHI. Rumusan yang telah dianggap sempurna ini disampaikan dalam lokakarya yang terakhir kalinya.
Baca Juga: Pengertian Istidlal dalam Hukum Islam
Begitu rumusan KHI telah disepakati, maka Presiden Soeharto menerbitkan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 sebagai kekuatan hukum KHI. Inpres ini ditujukan kepada Menteri Agama, agar menyebarluaskan rumusan KHI dan menggunakannya sebagai pertimbangan pengambilan keputusan hukum oleh hakim agama di Peradilan Agama. Dengan demikian, proses pembuatan KHI dimulai dari penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) Hakim Agung dan Menteri Agama tanggal 25 Maret 1985 hingga terbitnya Inpres tanggal 10 Juni 1991.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pengertian Istinbath dalam Hukum Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Pengertian Kompilasi dalam Hukum Islam"
Posting Komentar