Pengertian Istidlal dalam Hukum Islam
fikriamiruddin.com - Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata istadalla yang berarti minta petunjuk, memperoleh dalil, dan menarik kesimpulan. Imam al-Dimyathi memberikan arti istidlal secara umum, yakni mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta. Menurut arti ini, istidlal berangkat dari kasus yang dicari keputusan hukumnya. Dalam proses pencarian, mula-mula al-Qur’an menjadi rujukan pertama.
Jika tidak ditemukan jawaban di dalamnya, maka al-Sunnah menjadi alternatif kedua. Jika tidak ditemukan jawabannya, Ijma’ menjadi pilihan ketiga, kemudian Qiyas pilihan berikutnya. Apabila keempat dalil yang telah disepakati ulama tersebut belum bisa membuat keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah mencari dalil yang diperselisihkan para ulama, seperti istihsan, mashlahah mursalah, hukum adat, dan lain sebagainya.
Terdapat arti istidlal yang lebih khusus, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Hamid Hakim, yakni mencari dalil yang tidak ada pada nash al-Qur’an dan al-Sunnah, tidak ada pada Ijma’ dan tidak ada pada Qiyas. Definisi di atas menunjukkan adanya pencarian dalil di luar dalil yang telah disepakati para ulama. Karena itu, menurut pengertian ini, pencarian dalil dalam al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Qiyas tidak dikatakan sebagai istidlal.
Dengan demikian, teori istidlal merupakan pencarian dalil-dalil di luar keempat dalil tersebut. Menurut bahasa kata dalil mengandung beberapa makna, yakni petunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi. Dalam artian, dalil berarti petunjuk kepada sesuatu, baik yang material maupun yang non-material. Menurut kebiasaan para pakar studi hukum Islam, istilah dalil diartikan dengan “Sesuatu yang mengandung petunjuk (dalalah) atau bimbingan (irsyad)”.
Dengan kata lain, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan seseorang kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek informatif. Pengertian demikian ini secara lebih jelas terlihat dalam kandungan kitab-kitab fikih dalam membicarakan masalah hukum. Para penulis kitab-kitab ini merujuk kepada ayat-ayat, hadis-hadis, dan pendapat ulama, hal itu lantaran di dalamnya terkandung suatu petunjuk atau bimbingan yang akan dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Baca Juga: Pengertian Istinbath dalam Hukum Islam
Definisi tentang dalil yang lebih mengarah pada landasan hukum dikemukakan oleh Abd al-Wahhab Khallaf. Menurutnya, dalil adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis. Jadi, dalil merupakan landasan bagi para pakar studi hukum Islam dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan itu bisa saja bersifat pasti atau tidak pasti.
Macam-macam Dalil
Dlihat dari keberadaannya, dalil dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, dalil-dalil yang hukum keberadaannya terdapat dalam teks suci (adillah al-ahkam al-manshushah). Dalil-dalil hukum yang masuk kategori ini adalah al-Qur’an dan Sunnah. Dalil ini juga disebut Dalil Naqli. Kedua, dalil-dalil hukum yang keberadaannya tidak terdapat dalam teks suci, melainkan dirumuskan melalui analisis pemikiran (adillah al-ahkam ghair al-manshushah).
Dalil tersebut disebut juga Dalil Aqli. Berdasarkan pengertian ini, para ulama menempatkan sebelas dalil sebagai landasan penetapan suatu hukum, yakni al-Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, sadd al-dzari’ah, ‘urf (tradisi), syar’u man qablana (syari’ah sebelum masa Nabi Muhammad Saw), dan mazhab al-shahabi (pendapat sahabat Nabi).
Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Mazhab Zhahiri
Pendapat sahabat Nabi adalah pendapat tentang suatu kasus yang dikutip oleh para ulama, baik berupa fatwa atau ketetapan hukum. Sementara itu, al-Qur’an dan Sunnah tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pemikiran Hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Jika tidak ditemukan jawaban di dalamnya, maka al-Sunnah menjadi alternatif kedua. Jika tidak ditemukan jawabannya, Ijma’ menjadi pilihan ketiga, kemudian Qiyas pilihan berikutnya. Apabila keempat dalil yang telah disepakati ulama tersebut belum bisa membuat keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah mencari dalil yang diperselisihkan para ulama, seperti istihsan, mashlahah mursalah, hukum adat, dan lain sebagainya.
Terdapat arti istidlal yang lebih khusus, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Hamid Hakim, yakni mencari dalil yang tidak ada pada nash al-Qur’an dan al-Sunnah, tidak ada pada Ijma’ dan tidak ada pada Qiyas. Definisi di atas menunjukkan adanya pencarian dalil di luar dalil yang telah disepakati para ulama. Karena itu, menurut pengertian ini, pencarian dalil dalam al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Qiyas tidak dikatakan sebagai istidlal.
Dengan demikian, teori istidlal merupakan pencarian dalil-dalil di luar keempat dalil tersebut. Menurut bahasa kata dalil mengandung beberapa makna, yakni petunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi. Dalam artian, dalil berarti petunjuk kepada sesuatu, baik yang material maupun yang non-material. Menurut kebiasaan para pakar studi hukum Islam, istilah dalil diartikan dengan “Sesuatu yang mengandung petunjuk (dalalah) atau bimbingan (irsyad)”.
Dengan kata lain, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan seseorang kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek informatif. Pengertian demikian ini secara lebih jelas terlihat dalam kandungan kitab-kitab fikih dalam membicarakan masalah hukum. Para penulis kitab-kitab ini merujuk kepada ayat-ayat, hadis-hadis, dan pendapat ulama, hal itu lantaran di dalamnya terkandung suatu petunjuk atau bimbingan yang akan dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Baca Juga: Pengertian Istinbath dalam Hukum Islam
Definisi tentang dalil yang lebih mengarah pada landasan hukum dikemukakan oleh Abd al-Wahhab Khallaf. Menurutnya, dalil adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis. Jadi, dalil merupakan landasan bagi para pakar studi hukum Islam dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan itu bisa saja bersifat pasti atau tidak pasti.
Macam-macam Dalil
Dlihat dari keberadaannya, dalil dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, dalil-dalil yang hukum keberadaannya terdapat dalam teks suci (adillah al-ahkam al-manshushah). Dalil-dalil hukum yang masuk kategori ini adalah al-Qur’an dan Sunnah. Dalil ini juga disebut Dalil Naqli. Kedua, dalil-dalil hukum yang keberadaannya tidak terdapat dalam teks suci, melainkan dirumuskan melalui analisis pemikiran (adillah al-ahkam ghair al-manshushah).
Dalil tersebut disebut juga Dalil Aqli. Berdasarkan pengertian ini, para ulama menempatkan sebelas dalil sebagai landasan penetapan suatu hukum, yakni al-Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, sadd al-dzari’ah, ‘urf (tradisi), syar’u man qablana (syari’ah sebelum masa Nabi Muhammad Saw), dan mazhab al-shahabi (pendapat sahabat Nabi).
Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Mazhab Zhahiri
Pendapat sahabat Nabi adalah pendapat tentang suatu kasus yang dikutip oleh para ulama, baik berupa fatwa atau ketetapan hukum. Sementara itu, al-Qur’an dan Sunnah tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pemikiran Hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Pengertian Istidlal dalam Hukum Islam"
Posting Komentar