Pemikiran Hukum Islam Mazhab Zhahiri
fikriamiruddin.com - Mazhab Zhahiri dipelopori oleh Imam Dawud bin Ali al-Asfahani. Imam Dawud pada mulanya merupakan penganut fanatik Mazhab Syafi’i, meskipun ayahnya penganut Mazhab Hanafi. Ia tidak belajar langsung kepada Imam Syafi’i, namun dari murid sahabatnya, lantaran ia baru berusia empat tahun ketika Imam Syafi’i wafat. Ia pernah mempelajari hukum Islam Mazhab Syafi’i di Baghdad, namun kemudian ia mengkritik mazhab yang ia pelajarinya itu.
Ia kemudian melahirkan teori-teori baru dalam kajian hukumnya. Sasaran kritiknya adalah pemikiran rasionalis Imam Syafi’i yang bertumpu pada Qiyas dengan menolak Istihsan. Inilah yang dianggap tidak konsisten oleh Imam Dawud. Menurutnya, Qiyas dan Istihsan adalah sama-sama rasionalitas. Imam Dawud pun bergabung dengan pengajian Imam Ahmad untuk belajar hadis kepadanya.
Namun, ia pun diusir oleh Imam Ahmad, karena mengemukakan pendapat bahwa al-Qur’an adalah hal yang baru (muhdats). Imam Dawud berkata, “Al-Qur’an yang ada di Lauh Mahfuzh bukan makhluk, sedangkan al-Qur’an yang ada di manusia adalah makhluk”. Setelah keluar dari pengajian Imam Ahmad, Imam Dawud membuat pemikirannya sendiri. Imam Dawud belajar hadis kepada para pakar hadis di Baghdad dan Nisabur, Iran.
Imam Dawud memiliki banyak perbendaharaan hadis. Namun, tidak banyak ulama yang meriwayatkan hadis darinya. Penyebabnya ialah pendapatnya bahwa al-Qur’an di manusia itu makhluk. Pada masanya, pendapat demikian ini dianggap bid’ah (di luar ketentuan Nabi Saw) dan hadis tidak boleh diriwayatkan oleh orang yang melakukan bid’ah.
Imam Dawud kemudian mengemukakan pemikirannya yang lebih menekankan pada pemahaman literalis. Ia berharap agar pemikirannya bisa dipraktikkan dalam kehidupan manusia. Pemikiran demikian disebutnya sebagai istidlal. Sebab pendekatannya yang bertumpu pada makna teks sumber hukum yang tampak, maka mazhab-nya populer dengan nama Mazhab Zhahiri.
Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal
Secara garis besar, pemikiran Imam Dawud dapat dikemukakan di antaranya sebagai berikut. Pertama, al-Qur’an dan as-Sunnah tetap menjadi rujukan dan sumber hukum utama. Hanya saja, Imam Dawud hanya berkutat pada makna yang tampak dari teks-teks sumber hukum tersebut. Ia menghindari makna-makna yang lebih jauh, apalagi hasil penggalian rasional.
Kedua, Ijma’ sahabat Nabi bisa diambil berdasarkan hukum yang diwahyukan kepada Nabi dan disampaikan kepada sahabatnya. Pada masa sahabat, Ijma’ dimungkinkan, sebab kesepakatannya melibatkan sedikit orang dan wilayahnya tidak begitu luas. Dengan demikian, Ijma’ sahabat Nabi tidak dipandang sebagai hasil dari penalaran. Adapun Ijma’ generasi setelah sahabat Nabi tidak diakui.
Ketiga, Qiyas tidak diterima oleh Imam Dawud lantaran terkait dengan penalaran. Meski demikian, prinsip makna yang dipahami (mafhum) dari teks al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana diajukan Imam Dawud sebagai pengganti Qiyas, ternyata tidak berbeda dengan Qiyas. Imam Dawud memberikan syarat bagi penggunaan Qiyas, yakni alasan hukumnya (‘illat) harus telah dijelaskan oleh teks sumber hukum al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan digali dari pemikiran manusia.
Selain pemikiran di atas, Imam Dawud juga tidak setuju dengan sikap taqlid, yakni mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya. Menurutnya, setiap muslim harus bisa berpikir sendiri, setidaknya jika tidak mengerti, ia harus bertanya kepada orang yang telah memahami. Tak hanya itu, pendapat yang menjadi jawaban harus mengandung dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Pendapat tanpa dalil tidak boleh diikuti.
Pemikiran Imam Dawud mengenai al-Qur’an di atas sulit diterima oleh kalangan ulama. Karena itu, Mazhab Zhahiri sulit untuk berkembang. Tak hanya itu, Mazhab Zhahiri juga menjadi stigma bagi ulama yang menolak Qiyas, meskipun tidak pernah berguru kepada Imam Dawud. Pada abad keempat hijriyah, Mazhab Zhahiri tidak hanya berkembang di Iran dan Irak, melainkan sampai Oman dan Sind.
Mazhab Zhahiri memiliki banyak penganut hingga pertengahan abad kelima. Setelah hampir redup, Mazhab Zhahiri dihidupkan kembali oleh murid Mas’ud bin Sulaiman, penganut Mazhab Zhahiri, yakni Ali bin Ahmad bin Hazm al-Andalusia yang dikenal dengan nama Ibnu Hazm. Ibnu Hazm sangat cerdas dalam merumuskan pemikiran hukum Islam. Ia juga begitu gigih membela pemikiran gurunya.
Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Imam Asy-Syafi’i
Usahanya diwujudkan dalam beberapa karyanya mengenai hukum Islam, antar lain al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, al-Fishal, dan al-Muhalla. Karena Ibnu Hazm berdomisili di Andalus, Spanyol, maka Mazhab Zhahiri mengalami kemajuan pesat dan berkembang di Spanyol. Ketika Islam di Spanyol jatuh, saat itu pula Mazhab Zhahiri musnah. Perlu diketahui, bahwa Mazhab Zhahiri juga pernah menjadi mazhab resmi di Maroko.
Selain memiliki pengikut yang cemerlang semacam Ibnu Hazm, Imam Dawud juga memiliki sejumlah karya, antara lain Kitab al-Hujjah, Kitab al-Khabar al-Mujib li al-‘Ilm, Kitab al-Khushush wa al-Umum, Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal, Kitab Ibthal al-Taqlid, Kitab Ibthal al-Qiyas, dan Kitab Khabar al-Wahid. Namun, karya-karya Imam Dawud tersebut saat ini hampir sudah tidak bisa ditemukan lagi.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pemikiran Hukum Islam Mazhab Hanafi. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Ia kemudian melahirkan teori-teori baru dalam kajian hukumnya. Sasaran kritiknya adalah pemikiran rasionalis Imam Syafi’i yang bertumpu pada Qiyas dengan menolak Istihsan. Inilah yang dianggap tidak konsisten oleh Imam Dawud. Menurutnya, Qiyas dan Istihsan adalah sama-sama rasionalitas. Imam Dawud pun bergabung dengan pengajian Imam Ahmad untuk belajar hadis kepadanya.
Namun, ia pun diusir oleh Imam Ahmad, karena mengemukakan pendapat bahwa al-Qur’an adalah hal yang baru (muhdats). Imam Dawud berkata, “Al-Qur’an yang ada di Lauh Mahfuzh bukan makhluk, sedangkan al-Qur’an yang ada di manusia adalah makhluk”. Setelah keluar dari pengajian Imam Ahmad, Imam Dawud membuat pemikirannya sendiri. Imam Dawud belajar hadis kepada para pakar hadis di Baghdad dan Nisabur, Iran.
Imam Dawud memiliki banyak perbendaharaan hadis. Namun, tidak banyak ulama yang meriwayatkan hadis darinya. Penyebabnya ialah pendapatnya bahwa al-Qur’an di manusia itu makhluk. Pada masanya, pendapat demikian ini dianggap bid’ah (di luar ketentuan Nabi Saw) dan hadis tidak boleh diriwayatkan oleh orang yang melakukan bid’ah.
Imam Dawud kemudian mengemukakan pemikirannya yang lebih menekankan pada pemahaman literalis. Ia berharap agar pemikirannya bisa dipraktikkan dalam kehidupan manusia. Pemikiran demikian disebutnya sebagai istidlal. Sebab pendekatannya yang bertumpu pada makna teks sumber hukum yang tampak, maka mazhab-nya populer dengan nama Mazhab Zhahiri.
Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal
Secara garis besar, pemikiran Imam Dawud dapat dikemukakan di antaranya sebagai berikut. Pertama, al-Qur’an dan as-Sunnah tetap menjadi rujukan dan sumber hukum utama. Hanya saja, Imam Dawud hanya berkutat pada makna yang tampak dari teks-teks sumber hukum tersebut. Ia menghindari makna-makna yang lebih jauh, apalagi hasil penggalian rasional.
Kedua, Ijma’ sahabat Nabi bisa diambil berdasarkan hukum yang diwahyukan kepada Nabi dan disampaikan kepada sahabatnya. Pada masa sahabat, Ijma’ dimungkinkan, sebab kesepakatannya melibatkan sedikit orang dan wilayahnya tidak begitu luas. Dengan demikian, Ijma’ sahabat Nabi tidak dipandang sebagai hasil dari penalaran. Adapun Ijma’ generasi setelah sahabat Nabi tidak diakui.
Ketiga, Qiyas tidak diterima oleh Imam Dawud lantaran terkait dengan penalaran. Meski demikian, prinsip makna yang dipahami (mafhum) dari teks al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana diajukan Imam Dawud sebagai pengganti Qiyas, ternyata tidak berbeda dengan Qiyas. Imam Dawud memberikan syarat bagi penggunaan Qiyas, yakni alasan hukumnya (‘illat) harus telah dijelaskan oleh teks sumber hukum al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan digali dari pemikiran manusia.
Selain pemikiran di atas, Imam Dawud juga tidak setuju dengan sikap taqlid, yakni mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya. Menurutnya, setiap muslim harus bisa berpikir sendiri, setidaknya jika tidak mengerti, ia harus bertanya kepada orang yang telah memahami. Tak hanya itu, pendapat yang menjadi jawaban harus mengandung dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Pendapat tanpa dalil tidak boleh diikuti.
Pemikiran Imam Dawud mengenai al-Qur’an di atas sulit diterima oleh kalangan ulama. Karena itu, Mazhab Zhahiri sulit untuk berkembang. Tak hanya itu, Mazhab Zhahiri juga menjadi stigma bagi ulama yang menolak Qiyas, meskipun tidak pernah berguru kepada Imam Dawud. Pada abad keempat hijriyah, Mazhab Zhahiri tidak hanya berkembang di Iran dan Irak, melainkan sampai Oman dan Sind.
Mazhab Zhahiri memiliki banyak penganut hingga pertengahan abad kelima. Setelah hampir redup, Mazhab Zhahiri dihidupkan kembali oleh murid Mas’ud bin Sulaiman, penganut Mazhab Zhahiri, yakni Ali bin Ahmad bin Hazm al-Andalusia yang dikenal dengan nama Ibnu Hazm. Ibnu Hazm sangat cerdas dalam merumuskan pemikiran hukum Islam. Ia juga begitu gigih membela pemikiran gurunya.
Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Imam Asy-Syafi’i
Usahanya diwujudkan dalam beberapa karyanya mengenai hukum Islam, antar lain al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, al-Fishal, dan al-Muhalla. Karena Ibnu Hazm berdomisili di Andalus, Spanyol, maka Mazhab Zhahiri mengalami kemajuan pesat dan berkembang di Spanyol. Ketika Islam di Spanyol jatuh, saat itu pula Mazhab Zhahiri musnah. Perlu diketahui, bahwa Mazhab Zhahiri juga pernah menjadi mazhab resmi di Maroko.
Selain memiliki pengikut yang cemerlang semacam Ibnu Hazm, Imam Dawud juga memiliki sejumlah karya, antara lain Kitab al-Hujjah, Kitab al-Khabar al-Mujib li al-‘Ilm, Kitab al-Khushush wa al-Umum, Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal, Kitab Ibthal al-Taqlid, Kitab Ibthal al-Qiyas, dan Kitab Khabar al-Wahid. Namun, karya-karya Imam Dawud tersebut saat ini hampir sudah tidak bisa ditemukan lagi.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pemikiran Hukum Islam Mazhab Hanafi. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Pemikiran Hukum Islam Mazhab Zhahiri"
Posting Komentar