Kandungan Pokok dan Corak Kompilasi Hukum Islam Indonesia
fikriamiruddin.com - Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan dokumen paling penting mengenai Syariat yang tersebar luas di Indonesia. Pancasila melandasi KHI. Pasal 1 dari penjelasan menyatakan: “Bagi rakyat dan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, ada hak atas eksistensi suatu hukum nasional tunggal yang akan menjamin kelangsungan kehidupan agama yang berdasarkan kepada prinsip Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang secara bersama-sama mewakili perwujudan kesadaran hukum komunitas dan rakyat Indonesia.”
KHI bukan undang-undang, namun “petunjuk terhadap undang-undang”. Ia dapat diterapkan oleh para hakim Peradilan Agama dalam memecahkan perkara-perkara yang mereka hadapi (Penjelasan pasal 5). Pasal 3 dan 4 dari memorandum penjelasan KHI menyatakan, bahwa “Undang-undang yang dapat diaplikasikan” didasarkan kepada urutan sumber-sumber Syariat di antaranya teks-teks standar dari “mazhab Syafi’i”, “teks-teks tambahan dari mazhab lain”, fatwa-fatwa ulama, dan situasi di negara-negara lain.
Kompilasi diklaim sebagai ringkasan dari sumber-sumber tersebut untuk digunakan para hakim Peradilan Agama. KHI terdiri dari tiga buku. Pertama, berkaitan dengan hukum perkawinan (Pasal 1-170). Buku ini memuat 19 bab dan 170 pasal. Kedua, berkenaan dengan hukum waris (Pasal 171-214) yang terbagi dalam enam bab dan 44 pasal. Ketiga, berkaitan dengan hukum wakaf (Pasal 215-229) yang memuat lima bab dan 15 pasal.
Legislasi kolonial telah mengatur tiga masalah yang sama tersebut. Namun demikian, ketentuan KHI lebih terperinci lagi. Dari ketiga buku ini, hukum perkawinan lebih banyak dibandingkan dua buku yang lain. KHI tidak saja membahas sisi hukum saja, namun juga prosedur pelaksanaannya. Dalam hal ini, terdapat tiga bentuk klausul KHI, yakni pernyataan hukum Islam pada pokok persoalan dengan rumusan yang sederhana, prosedur birokratis dalam pelaksanaan hukum, dan kontrol hukum oleh pengadilan agama.
Sebagai contoh, pasal 129-142 dan 146-148 memerlukan prosedur sebelum perkawinan diputuskan berakhir dengan sah. Tanpa pemenuhan prosedur, hukum Islam tidak bisa diterapkan. Dengan demikian, seorang suami yang ingin menyatakan talak harus melakukan permohonan secara lisan dan tulisan kepada Pengadilan Agama. Jika hakim mengizinkan talak, maka salinan pernyataan dibuat dan didaftarkan sebagai “bukti perceraian”.
Baca Juga: Pengertian Kompilasi dalam Hukum Islam
Tujuan pembatasan ini adalah untuk mengontrol status diri seseorang. Negara memiliki kepentingan besar dalam masalah ini, karena istri yang dicerai dan anak-anak yang tanpa ayah akan menambah beban bagi negara. Ulama berargumen, di satu sisi, talak yang sering disalahgunakan diperbolehkan menurut Wahyu. Di sisi lain, konsekuensi sosialnya menyakitkan bagi semua pihak.
Mempertahankan izin Tuhan dan merumuskan prosedur birokratis merupakan jawaban yang bijaksana. KHI juga menjawab problem hukum Islam yang sering terjadi di masyarakat, namun jarang dikupas dalam kitab-kitab hukum Islam. kehamilan di luar nikah sering terjadi di masyarakat akibat pergaulan bebas serta gaya hidup yang salah. KHI merespon masalah ini dalam bab VIII sebagai berikut:
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Baca Juga: 11 Macam Dalil dalam Hukum Islam
Keunikan lain dari KHI adalah adopsi hukum dari luar negeri. Sebagai contoh, wasiat wajibah (wasiat secara otomatis) diadopsi dari hukum Islam yang diterapkan di Mesir. Wasiat demikian ini belum pernah dibahas pakar hukum Islam klasik. Karenanya, anak angkat, berdasarkan pasal 209 (ayat 1) KHI, mendapatkan harta wasiat secara otomatis maksimal 1/3 bagian dari harta orang tua angkatnya, meski pernyataan wasiatnya tidak pernah diutarakan. Begitu pula, orang tua angkat bisa mendapat wasiat otomatis dari angkatnya, sesuai pasal 29 ayat 2 KHI.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pengertian Istidlal dalam Hukum Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
KHI bukan undang-undang, namun “petunjuk terhadap undang-undang”. Ia dapat diterapkan oleh para hakim Peradilan Agama dalam memecahkan perkara-perkara yang mereka hadapi (Penjelasan pasal 5). Pasal 3 dan 4 dari memorandum penjelasan KHI menyatakan, bahwa “Undang-undang yang dapat diaplikasikan” didasarkan kepada urutan sumber-sumber Syariat di antaranya teks-teks standar dari “mazhab Syafi’i”, “teks-teks tambahan dari mazhab lain”, fatwa-fatwa ulama, dan situasi di negara-negara lain.
Kompilasi diklaim sebagai ringkasan dari sumber-sumber tersebut untuk digunakan para hakim Peradilan Agama. KHI terdiri dari tiga buku. Pertama, berkaitan dengan hukum perkawinan (Pasal 1-170). Buku ini memuat 19 bab dan 170 pasal. Kedua, berkenaan dengan hukum waris (Pasal 171-214) yang terbagi dalam enam bab dan 44 pasal. Ketiga, berkaitan dengan hukum wakaf (Pasal 215-229) yang memuat lima bab dan 15 pasal.
Legislasi kolonial telah mengatur tiga masalah yang sama tersebut. Namun demikian, ketentuan KHI lebih terperinci lagi. Dari ketiga buku ini, hukum perkawinan lebih banyak dibandingkan dua buku yang lain. KHI tidak saja membahas sisi hukum saja, namun juga prosedur pelaksanaannya. Dalam hal ini, terdapat tiga bentuk klausul KHI, yakni pernyataan hukum Islam pada pokok persoalan dengan rumusan yang sederhana, prosedur birokratis dalam pelaksanaan hukum, dan kontrol hukum oleh pengadilan agama.
Sebagai contoh, pasal 129-142 dan 146-148 memerlukan prosedur sebelum perkawinan diputuskan berakhir dengan sah. Tanpa pemenuhan prosedur, hukum Islam tidak bisa diterapkan. Dengan demikian, seorang suami yang ingin menyatakan talak harus melakukan permohonan secara lisan dan tulisan kepada Pengadilan Agama. Jika hakim mengizinkan talak, maka salinan pernyataan dibuat dan didaftarkan sebagai “bukti perceraian”.
Baca Juga: Pengertian Kompilasi dalam Hukum Islam
Tujuan pembatasan ini adalah untuk mengontrol status diri seseorang. Negara memiliki kepentingan besar dalam masalah ini, karena istri yang dicerai dan anak-anak yang tanpa ayah akan menambah beban bagi negara. Ulama berargumen, di satu sisi, talak yang sering disalahgunakan diperbolehkan menurut Wahyu. Di sisi lain, konsekuensi sosialnya menyakitkan bagi semua pihak.
Mempertahankan izin Tuhan dan merumuskan prosedur birokratis merupakan jawaban yang bijaksana. KHI juga menjawab problem hukum Islam yang sering terjadi di masyarakat, namun jarang dikupas dalam kitab-kitab hukum Islam. kehamilan di luar nikah sering terjadi di masyarakat akibat pergaulan bebas serta gaya hidup yang salah. KHI merespon masalah ini dalam bab VIII sebagai berikut:
BAB VIII
KAWIN HAMIL
Pasal 53
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Baca Juga: 11 Macam Dalil dalam Hukum Islam
Keunikan lain dari KHI adalah adopsi hukum dari luar negeri. Sebagai contoh, wasiat wajibah (wasiat secara otomatis) diadopsi dari hukum Islam yang diterapkan di Mesir. Wasiat demikian ini belum pernah dibahas pakar hukum Islam klasik. Karenanya, anak angkat, berdasarkan pasal 209 (ayat 1) KHI, mendapatkan harta wasiat secara otomatis maksimal 1/3 bagian dari harta orang tua angkatnya, meski pernyataan wasiatnya tidak pernah diutarakan. Begitu pula, orang tua angkat bisa mendapat wasiat otomatis dari angkatnya, sesuai pasal 29 ayat 2 KHI.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pengertian Istidlal dalam Hukum Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Kandungan Pokok dan Corak Kompilasi Hukum Islam Indonesia"
Posting Komentar