Pemikiran Hukum Islam dalam Persatuan Islam (Persis)
fikriamiruddin.com - Fatwa-fatwa Persis mayoritas merupakan karya tokoh pendirinya, yakni Ahmad Hassan (1887-1958). Karyanya sering direpresentasikan sebagai “agresif”, “puritan”, dan “ekstrim”. Dalam fatwa-fatwanya, ia menyajikan sebuah contoh “literalisme” murni. “Literalisme” yang dimaksud adalah metode pembacaan Ahmad Hassan terhadap teks-teks dasar agama yang mengandung syariat (sumber dasar), fiqih, bahasa, dan hadis.
Dua yang terakhir merupakan hal utama dalam pandangan Persis. Tentu saja ada keterkaitan antara bahasa dan hadis: tata bahasa dan etimologi merupakan fondasi, sementara hadis adalah perangkat riwayat lisan dan tulisan. Untuk memperjelas karakteristik hukum Islam Persis, perlu dikemukakan contoh tanya-jawab agama yang diasuh oleh Ahmad Hassan. Soal No. 522 (hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an).
T: Ada ayat dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa jika seorang hampir meninggal dan mempunyai harta, diwajibkan membuat wasiat. Namun, ada hadis yang menerangkan bahwa tidak ada wasiat bagi ahli waris. Tidakkah ayat dan hadis itu bertentangan?
J: Ayat yang tersebut dalam al-Qur’an (al-Baqarah: 180) dan hadis itu memang tampaknya bertentangan. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Turmudzi, Ibnu Majah, dan Daraquthni, derajatnya “Hasan”. Menurut pemikiran yang sehat dan beberapa keterangan dari agama, mustahil ucapan Nabi Muhammad Saw yang diutus oleh Allah Swt bertentangan dengan firman-Nya.
Oleh karena itu, kami tidak percaya hadis itu ucapan Nabi Muhammad Saw, meskipun derajatnya Hasan atau Sahih. Ada juga sebagian ulama berkata: ayat itu sudah di-mansukh oleh hadis. Pendapat ini selain menurunkan derajat al-Qur’an, juga tidak bisa diterima, lantaran dalam al-Qur’an tidak ada satu pun ayat yang mansukh. Pada Soal No. 552, semua hadis harus diteliti, tidak cukup hanya menerima apa pun yang tertulis.
Menerima hadis tanpa teliti berarti merusak agama. Cara utama penelitian hadis adalah memeriksa nama-nama dalam transmisi hadis. Biasanya, ada nama-nama yang menyesatkan. Tidak ada yang orisinil dalam tanya-jawab tersebut, namun ada kecurigaan yang terus-menerus oleh Persis terhadap fatwa-fatwa yang takhayul. Penjelasan ini cukup untuk menunjukkan bahwa kerangka dasar pemikiran hukum Islam Persis adalah menguji teks.
Baca Juga: Hukum Islam pada Masa Orde Baru dan Era Reformasi
Ini membawa pada masalah fundamental tentang Ijma’. Persis sama sekali menolak Ijma’. Dalam fatwa nomor 572 tahun (1933), masalah ini dibahas secara terperinci dan bertahap. Tahapan pertama, arti kebahasaan Ijma’ yang didefinisikan sebagai “sepakat untuk mencapai kesimpulan yang sama”. Tahapan kedua arti teknis hukum Islam. Dalam hal ini, fatwa-fatwa itu mengutip beberapa teks yang berbeda-beda sebagai ketelitian sumber yang dikenal baik, khususnya dengan rujukan pada rukun-rukun.
Tahapan ketiga, pada dasarnya, umat Islam harus mempertanyakan: Bagaimana seseorang “mengetahui”? Epistemologi apa yang dapat menjadi dasar Ijma’? Keterangan tersebut menunjukkan adanya pendekatan kritis dari Persis. Sumber-sumber dipertanyakan: Apa yang dimaksud masyarakat muslim; apakah pada masa lalu, sekarang, atau yang akan datang; apakah mencakup semuanya, baik yang bijak maupun bodoh; siapa itu ulama; dan bagaimana ia diketahui; otoritas apa untuk memutuskan; apakah suatu masalah bersifat keagamaan atau tidak; dan apakah hal tersebut merupakan kategori yang tepat?
Ini merupakan pertanyaan klasik dan Persis menjawabnya bahwa kita harus melihat kepada al-Qur’an dan hadis. Berkenaan dengan Ijma’, pertanyaan Persis adalah apakah ada Ijma’ mengenai Ijma’? Fatwa menolak hal ini dan menawarkan serangkaian bantahan atas justifikasi yang biasa. Secara sederhana, Ijma’ adalah buatan manusia dan tidak akan pernah bisa “membentuk sebagian hukum Allah Swt.”
Selain itu, Allah Swt juga tidak memerintahkan untuk mengikuti Ijma’ yang dibuat oleh sekelompok ulama. Ahmad Hassan telah memberikan pendapatnya dalam fatwa sebagai berikut.
“Kami mengatakan bahwa definisi etimologis terbaik untuk tujuan kami adalah ‘kesatuan pendapat tentang suatu masalah’. Kami membahas arti teknis Ijma’ dalam konteks hukum Islam dan menemukan bahwa semua definisi yang diberikan tidak memadai. Kemudian kami mempertimbangkan apakah sebenarnya mungkin memiliki Ijma’. Setelah itu kami mempertimbangkan bagaimana kita mengetahui bahwa ada Ijma’.
Akhirnya, kami menganggap otoritas yang berasal dari al-Qur’an dan hadis untuk mendukung pernyataan bahwa adalah wajib mengikuti Ijma’, kami tidak menemukan bukti yang mendukung pernyataan itu. Jelaslah bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk membuat hukum atas nama Allah Swt. Nabi sendiri hanya memutuskan hukum dengan mengikuti Wahyu dari Allah Swt.
Baca Juga: Hukum Islam pada Masa Orde Lama
Manusia bisa membuat hukum tentang urusan keduniaan dan jika perlu hukum itu bisa diubah oleh yang membuatnya atau orang lain. Karena itu, jelas tidak ada Ijma’ yang harus kita ikuti selain Ijma’ yang datang dari Sahabat Nabi Saw. Menerima Ijma’ dari Sahabat Nabi Saw bukan berarti bahwa kita harus menerima keputusan atau ketetapan mereka mengenai urusan agama. Kita percaya bahwa Sahabat Nabi Muhammad Saw tidak akan berani menetapkan sesuatu dalam suatu masalah atas nama Islam.
Jika mereka tidak mendengar atau menerima penjelasan dari Nabi Muhammad Saw jika ada perbedaan di kalangan Sahabat Nabi Saw, kita menggunakan pendapat mereka sejauh pendapat itu didukung al-Qur’an atau hadis. Jadi, apa yang dimaksud dengan Ijma’ dalam konteks ini adalah beberapa tindakan keagamaan atau kepercayaan yang dirujuk oleh sejumlah Sahabat yang terkenal, yang mempunyai penjelasan otoritatif, namun tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis dan tidak ada Sahabat Nabi Muhammad Saw lainnya yang tidak setuju.”
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Dua yang terakhir merupakan hal utama dalam pandangan Persis. Tentu saja ada keterkaitan antara bahasa dan hadis: tata bahasa dan etimologi merupakan fondasi, sementara hadis adalah perangkat riwayat lisan dan tulisan. Untuk memperjelas karakteristik hukum Islam Persis, perlu dikemukakan contoh tanya-jawab agama yang diasuh oleh Ahmad Hassan. Soal No. 522 (hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an).
T: Ada ayat dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa jika seorang hampir meninggal dan mempunyai harta, diwajibkan membuat wasiat. Namun, ada hadis yang menerangkan bahwa tidak ada wasiat bagi ahli waris. Tidakkah ayat dan hadis itu bertentangan?
J: Ayat yang tersebut dalam al-Qur’an (al-Baqarah: 180) dan hadis itu memang tampaknya bertentangan. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Turmudzi, Ibnu Majah, dan Daraquthni, derajatnya “Hasan”. Menurut pemikiran yang sehat dan beberapa keterangan dari agama, mustahil ucapan Nabi Muhammad Saw yang diutus oleh Allah Swt bertentangan dengan firman-Nya.
Oleh karena itu, kami tidak percaya hadis itu ucapan Nabi Muhammad Saw, meskipun derajatnya Hasan atau Sahih. Ada juga sebagian ulama berkata: ayat itu sudah di-mansukh oleh hadis. Pendapat ini selain menurunkan derajat al-Qur’an, juga tidak bisa diterima, lantaran dalam al-Qur’an tidak ada satu pun ayat yang mansukh. Pada Soal No. 552, semua hadis harus diteliti, tidak cukup hanya menerima apa pun yang tertulis.
Menerima hadis tanpa teliti berarti merusak agama. Cara utama penelitian hadis adalah memeriksa nama-nama dalam transmisi hadis. Biasanya, ada nama-nama yang menyesatkan. Tidak ada yang orisinil dalam tanya-jawab tersebut, namun ada kecurigaan yang terus-menerus oleh Persis terhadap fatwa-fatwa yang takhayul. Penjelasan ini cukup untuk menunjukkan bahwa kerangka dasar pemikiran hukum Islam Persis adalah menguji teks.
Baca Juga: Hukum Islam pada Masa Orde Baru dan Era Reformasi
Ini membawa pada masalah fundamental tentang Ijma’. Persis sama sekali menolak Ijma’. Dalam fatwa nomor 572 tahun (1933), masalah ini dibahas secara terperinci dan bertahap. Tahapan pertama, arti kebahasaan Ijma’ yang didefinisikan sebagai “sepakat untuk mencapai kesimpulan yang sama”. Tahapan kedua arti teknis hukum Islam. Dalam hal ini, fatwa-fatwa itu mengutip beberapa teks yang berbeda-beda sebagai ketelitian sumber yang dikenal baik, khususnya dengan rujukan pada rukun-rukun.
Tahapan ketiga, pada dasarnya, umat Islam harus mempertanyakan: Bagaimana seseorang “mengetahui”? Epistemologi apa yang dapat menjadi dasar Ijma’? Keterangan tersebut menunjukkan adanya pendekatan kritis dari Persis. Sumber-sumber dipertanyakan: Apa yang dimaksud masyarakat muslim; apakah pada masa lalu, sekarang, atau yang akan datang; apakah mencakup semuanya, baik yang bijak maupun bodoh; siapa itu ulama; dan bagaimana ia diketahui; otoritas apa untuk memutuskan; apakah suatu masalah bersifat keagamaan atau tidak; dan apakah hal tersebut merupakan kategori yang tepat?
Ini merupakan pertanyaan klasik dan Persis menjawabnya bahwa kita harus melihat kepada al-Qur’an dan hadis. Berkenaan dengan Ijma’, pertanyaan Persis adalah apakah ada Ijma’ mengenai Ijma’? Fatwa menolak hal ini dan menawarkan serangkaian bantahan atas justifikasi yang biasa. Secara sederhana, Ijma’ adalah buatan manusia dan tidak akan pernah bisa “membentuk sebagian hukum Allah Swt.”
Selain itu, Allah Swt juga tidak memerintahkan untuk mengikuti Ijma’ yang dibuat oleh sekelompok ulama. Ahmad Hassan telah memberikan pendapatnya dalam fatwa sebagai berikut.
“Kami mengatakan bahwa definisi etimologis terbaik untuk tujuan kami adalah ‘kesatuan pendapat tentang suatu masalah’. Kami membahas arti teknis Ijma’ dalam konteks hukum Islam dan menemukan bahwa semua definisi yang diberikan tidak memadai. Kemudian kami mempertimbangkan apakah sebenarnya mungkin memiliki Ijma’. Setelah itu kami mempertimbangkan bagaimana kita mengetahui bahwa ada Ijma’.
Akhirnya, kami menganggap otoritas yang berasal dari al-Qur’an dan hadis untuk mendukung pernyataan bahwa adalah wajib mengikuti Ijma’, kami tidak menemukan bukti yang mendukung pernyataan itu. Jelaslah bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk membuat hukum atas nama Allah Swt. Nabi sendiri hanya memutuskan hukum dengan mengikuti Wahyu dari Allah Swt.
Baca Juga: Hukum Islam pada Masa Orde Lama
Manusia bisa membuat hukum tentang urusan keduniaan dan jika perlu hukum itu bisa diubah oleh yang membuatnya atau orang lain. Karena itu, jelas tidak ada Ijma’ yang harus kita ikuti selain Ijma’ yang datang dari Sahabat Nabi Saw. Menerima Ijma’ dari Sahabat Nabi Saw bukan berarti bahwa kita harus menerima keputusan atau ketetapan mereka mengenai urusan agama. Kita percaya bahwa Sahabat Nabi Muhammad Saw tidak akan berani menetapkan sesuatu dalam suatu masalah atas nama Islam.
Jika mereka tidak mendengar atau menerima penjelasan dari Nabi Muhammad Saw jika ada perbedaan di kalangan Sahabat Nabi Saw, kita menggunakan pendapat mereka sejauh pendapat itu didukung al-Qur’an atau hadis. Jadi, apa yang dimaksud dengan Ijma’ dalam konteks ini adalah beberapa tindakan keagamaan atau kepercayaan yang dirujuk oleh sejumlah Sahabat yang terkenal, yang mempunyai penjelasan otoritatif, namun tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis dan tidak ada Sahabat Nabi Muhammad Saw lainnya yang tidak setuju.”
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Pemikiran Hukum Islam dalam Persatuan Islam (Persis)"
Posting Komentar