Hukum Islam pada Masa Orde Lama
fikriamiruddin.com - Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia. Di wilayah ini, Belanda mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia.
Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.
Jadi Konstitusi RIS sendiri ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukadimah Konstitusi ini, misalnya, sama sekali tidak menegaskan posisi hukum Islam, sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya yang dipengaruhi oleh paham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja, yakni Republik Indonesia, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir”. Mosi ini sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945.
Dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan UUD Sementara 1950. Jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan tersebut tidak membawa dampak yang signifikan. Ketidakjelasan posisi hukum Islam masih ditemukan, baik dalam Mukadimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing.
Selain itu, pasal 43 juga menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD Sementara 1950. Peluang ini pun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954.
Baca Juga: Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang dan Menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia
Namun, upaya ini gagal, akibatnya “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Setelah itu, semua tokoh politik nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konstitusi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majelis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun, delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majelis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959.
Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta” tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD. Hal lain yang perlu diketahui adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang di antaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini.
Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia.
Namun, ketika kontrol Republik Indonesia terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memploklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Konflik tersebut berakhir pada tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban yang tewas. Menurut sebagian peneliti, pemicu konflik lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo.
Ia kecewa terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya. Orde Lama merupakan era-nya kaum nasionalis dan komunis. Kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi, harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat).
Baca Juga: Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Sementara itu, NU bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Atas dasar itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan dua ketetapan. Salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. TAP MPRS tersebut membuka peluang untuk memosisikan hukum Islam sebagaimana mestinya.
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, namun ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Peran hukum Islam di era ini kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Hukum Islam pada Masa Kerajaan Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.
Jadi Konstitusi RIS sendiri ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukadimah Konstitusi ini, misalnya, sama sekali tidak menegaskan posisi hukum Islam, sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya yang dipengaruhi oleh paham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja, yakni Republik Indonesia, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir”. Mosi ini sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945.
Dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan UUD Sementara 1950. Jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan tersebut tidak membawa dampak yang signifikan. Ketidakjelasan posisi hukum Islam masih ditemukan, baik dalam Mukadimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing.
Selain itu, pasal 43 juga menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD Sementara 1950. Peluang ini pun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954.
Baca Juga: Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang dan Menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia
Namun, upaya ini gagal, akibatnya “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Setelah itu, semua tokoh politik nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konstitusi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majelis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun, delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majelis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959.
Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta” tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD. Hal lain yang perlu diketahui adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang di antaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini.
Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia.
Namun, ketika kontrol Republik Indonesia terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memploklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Konflik tersebut berakhir pada tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban yang tewas. Menurut sebagian peneliti, pemicu konflik lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo.
Ia kecewa terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya. Orde Lama merupakan era-nya kaum nasionalis dan komunis. Kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi, harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat).
Baca Juga: Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Sementara itu, NU bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Atas dasar itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan dua ketetapan. Salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. TAP MPRS tersebut membuka peluang untuk memosisikan hukum Islam sebagaimana mestinya.
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, namun ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Peran hukum Islam di era ini kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Hukum Islam pada Masa Kerajaan Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Hukum Islam pada Masa Orde Lama"
Posting Komentar