Tips Menghadapi Lingkaran Setan Toxic Parents
fikriamiruddin.com - Di Indonesia isu mengenai toxic parents masih dianggap tabu dan seperti kurang layak diungkap di ruang publik. Hal itu lantaran budaya dan agama yang berkembang di Indonesia mengajarkan anak untuk berbakti dan patuh kepada kedua orangtua.
Padahal, dalam realitasnya toxic parents itu benar ada dan banyak anak di Indonesia yang menjadi korban. Setidaknya indikasi orangtua yang toxic ditandai dengan beberapa hal di antaranya ekspektasi berlebihan, membicarakan keburukan anak, egois, menjadi monster, menjadi rentenir, dan selalu menyalahkan anak.
Tak hanya itu, orangtua yang toxic biasanya cenderung manipulatif, sering melakukan kekerasan verbal, mental, fisik, bahkan simbolik. Namun ia biasanya akan berlaku seakan-akan sang anak yang menjadi penyebab perilaku tersebut.
Saya sendiri pernah berada pada masa kedua orangtua menjadi toxic. Hal itu terjadi ketika saya duduk di bangku SMP. Apabila dikategorikan saat itu apa yang dilakukan oleh orang tua saya masuk pada jenis ekspektasi berlebihan.
Hal itu lantaran ketika duduk di bangku SD saya selalu mendapat juara kelas dan bahkan nilai Ujian Nasional saya tertinggi di sekolah saat itu. Namun, ketika duduk di bangku SMP, saya tidak pernah menjadi juara kelas, bahkan masuk 10 besar pun hampir tak pernah.
Pada saat itu saya berpikir maklum saja sulit juara kelas, wong dulu waktu SD kompetitor-nya hanya anak se-kampung. Sedangkan ketika SMP kompetitor-nya anak se-kabupaten, lantaran saya bersekolah di salah satu SMP favorit di kota saya.
Baca Juga: Menebak Karakter Orang Berdasarkan Unsur Semesta yang Mendominasi
Hingga pada akhirnya, saya memutuskan untuk banting setir mencari alternatif prestasi di bidang non-akademik. Namun, orangtua saya kurang setuju dengan aktivitas di bidang non-akademik. Dan masih saja berekspektasi berlebihan dengan saya harus berprestasi di bidang akademik.
Dengan ekspektasi berlebihan itu, orangtua berpikir bahwa bidang akademik adalah yang terbaik bagi anaknya. Pada saat itu, mereka tidak tahu bagaimana posisi menjadi anak yang dihantui dan terbebani dengan ekspektasi itu.
Namun, demi membahagiakan mereka dengan cara lain, saya tetap bersikeras untuk bisa berprestasi di bidang non-akademik. Pada awalnya memang diremehkan, bahkan oleh orangtua sendiri, dan itu cukup berat memang.
Hingga pada akhirnya, saya mampu meyakinkan orangtua dengan bukti prestasi-prestasi non-akademik yang pernah saya raih. Yang membuat saya senang adalah ternyata saya mampu melewati dan merobohkan tembok ekspektasi yang berlebihan itu.
Di sisi lain, teman saya sebut saja namanya Bunga. Dia justru harus menghadapi toxic parents yang cukup complicated. Setidaknya dia menghadapi tiga indikasi toxic parents, yakni orangtua yang menjadi monster, menjadi rentenir, dan selalu menyalahkan anak.
Hal itu dialaminya sedari duduk di bangku SMP hingga saat ini. Ketika duduk di bangku SD dia masih ikut neneknya di desa, sedangkan kedua orangtuanya bekerja di kota. Sewaktu di desa dirinya mengaku mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup.
Namun, ketika dirinya diboyong orangtuanya ke kota, justru dia tidak merasakan kasih sayang dan perhatian yang cukup. Orangtuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga semua urusan rumah tangga dari mulai memasak, mencuci, dan lain sebagainya dilimpahkan kepadanya.
Tak hanya itu, ketika kedua orangtuanya pulang kerja, selalu marah-marah nggak jelas dan terkadang dia menjadi korban kemarahannya. Hingga tak jarang membentak dan memukulnya tanpa ada alasan yang jelas.
Padahal, seharusnya rumah adalah tempat paling nyaman dan orangtua sudah selayaknya memberikan rasa aman untuk anak-anaknya. Lain halnya dengan Bunga, justru dirinya tidak pernah nyaman dan betah di rumahnya sendiri.
Orangtua Bunga tak jarang juga sering mengungkit tentang besarnya biaya yang telah dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan Bunga. Hal itu dijadikan alat oleh orangtua Bunga agar dirinya selalu mengikuti kemauan orangtuanya.
Padahal, bukankah sudah selayaknya orangtua berkorban banyak demi masa depan anaknya. Dengan demikian, anak tentu berhak menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa dikekang maupun dipaksa untuk mewujudkan mimpi orangtua yang belum tercapai.
Karena itu, lingkaran setan toxic parents ini akan sangat berbahaya jika dibiarkan berlarut tanpa solusi. Hal itu lantaran akan memengaruhi tumbuh kembang anak. Misalnya kurang percaya diri, insecure, kurang bahagia, depresi, dan bahkan anak bisa menjadi pemurung.
Atau mungkin bisa berujung pada persoalan yang lebih besar dan kompeks. Hingga pada akhirnya anak juga akan bertumbuh menjadi toxic person. Dalam hal ini, bukan tidak mungkin lingkaran setan toxic parents ini menjadi siklus abadi yang akan sulit terputus.
Maka dari itu, kita harus mengenali dan menyadari indikasi toxic parents atau bahkan toxic person di sekitar kita. Jangan sampai kita terpengaruh dengan perilaku dan ucapan buruk mereka.
Terkadang orang menjadi toxic itu lantaran adanya permasalahan pada masa lalu yang menumpuk dan belum terselesaikan, sehingga mereka tidak bisa bahagia dengan diri mereka sendiri.
Baca Juga: Nasihat Bagi Kalian yang Kehilangan Semangat Hidup
Memang butuh waktu yang sedikit lama untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan kedewasaan untuk menerima bahwa toxic parents melakukan hal-hal buruk kepada kita.
Seperti yang pernah saya lakukan, fokus dan curahkan energi serta emosi kita untuk berprestasi dan sukses. Sehingga bukan tidak mungkin nantinya kita bisa mandiri secara finansial dan tidak lagi bergantung pada toxic parents kita.
Bersyukurlah selalu dan ikhlaskan apabila toxic parents mungkin tidak mengakui pencapaian kita, bahkan sampai kita dewasa. Tetap semangat, kita masih memiliki banyak orang lain yang positif dan mencintai kita.
Berdamailah dengan diri sendiri dan berbahagialah selalu, sebisa mungkin putuslah lingkaran setan toxics parents di lingkungan kita. Yakinlah selalu ada banyak alternatif untuk berbakti kepada kedua orangtua. Tenang saja.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Lelucon Sebagai Alternatif Perlawanan. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Padahal, dalam realitasnya toxic parents itu benar ada dan banyak anak di Indonesia yang menjadi korban. Setidaknya indikasi orangtua yang toxic ditandai dengan beberapa hal di antaranya ekspektasi berlebihan, membicarakan keburukan anak, egois, menjadi monster, menjadi rentenir, dan selalu menyalahkan anak.
Tak hanya itu, orangtua yang toxic biasanya cenderung manipulatif, sering melakukan kekerasan verbal, mental, fisik, bahkan simbolik. Namun ia biasanya akan berlaku seakan-akan sang anak yang menjadi penyebab perilaku tersebut.
Saya sendiri pernah berada pada masa kedua orangtua menjadi toxic. Hal itu terjadi ketika saya duduk di bangku SMP. Apabila dikategorikan saat itu apa yang dilakukan oleh orang tua saya masuk pada jenis ekspektasi berlebihan.
Hal itu lantaran ketika duduk di bangku SD saya selalu mendapat juara kelas dan bahkan nilai Ujian Nasional saya tertinggi di sekolah saat itu. Namun, ketika duduk di bangku SMP, saya tidak pernah menjadi juara kelas, bahkan masuk 10 besar pun hampir tak pernah.
Pada saat itu saya berpikir maklum saja sulit juara kelas, wong dulu waktu SD kompetitor-nya hanya anak se-kampung. Sedangkan ketika SMP kompetitor-nya anak se-kabupaten, lantaran saya bersekolah di salah satu SMP favorit di kota saya.
Baca Juga: Menebak Karakter Orang Berdasarkan Unsur Semesta yang Mendominasi
Hingga pada akhirnya, saya memutuskan untuk banting setir mencari alternatif prestasi di bidang non-akademik. Namun, orangtua saya kurang setuju dengan aktivitas di bidang non-akademik. Dan masih saja berekspektasi berlebihan dengan saya harus berprestasi di bidang akademik.
Dengan ekspektasi berlebihan itu, orangtua berpikir bahwa bidang akademik adalah yang terbaik bagi anaknya. Pada saat itu, mereka tidak tahu bagaimana posisi menjadi anak yang dihantui dan terbebani dengan ekspektasi itu.
Namun, demi membahagiakan mereka dengan cara lain, saya tetap bersikeras untuk bisa berprestasi di bidang non-akademik. Pada awalnya memang diremehkan, bahkan oleh orangtua sendiri, dan itu cukup berat memang.
Hingga pada akhirnya, saya mampu meyakinkan orangtua dengan bukti prestasi-prestasi non-akademik yang pernah saya raih. Yang membuat saya senang adalah ternyata saya mampu melewati dan merobohkan tembok ekspektasi yang berlebihan itu.
Di sisi lain, teman saya sebut saja namanya Bunga. Dia justru harus menghadapi toxic parents yang cukup complicated. Setidaknya dia menghadapi tiga indikasi toxic parents, yakni orangtua yang menjadi monster, menjadi rentenir, dan selalu menyalahkan anak.
Hal itu dialaminya sedari duduk di bangku SMP hingga saat ini. Ketika duduk di bangku SD dia masih ikut neneknya di desa, sedangkan kedua orangtuanya bekerja di kota. Sewaktu di desa dirinya mengaku mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup.
Namun, ketika dirinya diboyong orangtuanya ke kota, justru dia tidak merasakan kasih sayang dan perhatian yang cukup. Orangtuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga semua urusan rumah tangga dari mulai memasak, mencuci, dan lain sebagainya dilimpahkan kepadanya.
Tak hanya itu, ketika kedua orangtuanya pulang kerja, selalu marah-marah nggak jelas dan terkadang dia menjadi korban kemarahannya. Hingga tak jarang membentak dan memukulnya tanpa ada alasan yang jelas.
Padahal, seharusnya rumah adalah tempat paling nyaman dan orangtua sudah selayaknya memberikan rasa aman untuk anak-anaknya. Lain halnya dengan Bunga, justru dirinya tidak pernah nyaman dan betah di rumahnya sendiri.
Orangtua Bunga tak jarang juga sering mengungkit tentang besarnya biaya yang telah dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan Bunga. Hal itu dijadikan alat oleh orangtua Bunga agar dirinya selalu mengikuti kemauan orangtuanya.
Padahal, bukankah sudah selayaknya orangtua berkorban banyak demi masa depan anaknya. Dengan demikian, anak tentu berhak menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa dikekang maupun dipaksa untuk mewujudkan mimpi orangtua yang belum tercapai.
Karena itu, lingkaran setan toxic parents ini akan sangat berbahaya jika dibiarkan berlarut tanpa solusi. Hal itu lantaran akan memengaruhi tumbuh kembang anak. Misalnya kurang percaya diri, insecure, kurang bahagia, depresi, dan bahkan anak bisa menjadi pemurung.
Atau mungkin bisa berujung pada persoalan yang lebih besar dan kompeks. Hingga pada akhirnya anak juga akan bertumbuh menjadi toxic person. Dalam hal ini, bukan tidak mungkin lingkaran setan toxic parents ini menjadi siklus abadi yang akan sulit terputus.
Maka dari itu, kita harus mengenali dan menyadari indikasi toxic parents atau bahkan toxic person di sekitar kita. Jangan sampai kita terpengaruh dengan perilaku dan ucapan buruk mereka.
Terkadang orang menjadi toxic itu lantaran adanya permasalahan pada masa lalu yang menumpuk dan belum terselesaikan, sehingga mereka tidak bisa bahagia dengan diri mereka sendiri.
Baca Juga: Nasihat Bagi Kalian yang Kehilangan Semangat Hidup
Memang butuh waktu yang sedikit lama untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan kedewasaan untuk menerima bahwa toxic parents melakukan hal-hal buruk kepada kita.
Seperti yang pernah saya lakukan, fokus dan curahkan energi serta emosi kita untuk berprestasi dan sukses. Sehingga bukan tidak mungkin nantinya kita bisa mandiri secara finansial dan tidak lagi bergantung pada toxic parents kita.
Bersyukurlah selalu dan ikhlaskan apabila toxic parents mungkin tidak mengakui pencapaian kita, bahkan sampai kita dewasa. Tetap semangat, kita masih memiliki banyak orang lain yang positif dan mencintai kita.
Berdamailah dengan diri sendiri dan berbahagialah selalu, sebisa mungkin putuslah lingkaran setan toxics parents di lingkungan kita. Yakinlah selalu ada banyak alternatif untuk berbakti kepada kedua orangtua. Tenang saja.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Lelucon Sebagai Alternatif Perlawanan. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Tips Menghadapi Lingkaran Setan Toxic Parents"
Posting Komentar