Perkembangan Hukum Islam pada Masa Sahabat
fikriamiruddin.com - Para sahabat merupakan para penerus perjuangan Nabi Muhammad Saw dalam melaksanakan dakwah Islam. Mereka juga menerapkan ajaran Islam dalam realitas kehidupan sehari-hari. Dakwah yang mereka lakukan telah jauh melampaui dakwah pada masa Nabi Muhammad Saw. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin al-Khathab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib).
Pada saat itu wilayah kekuasaan pemerintah Madinah sudah menjangkau negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Saat itu, ajaran Islam harus berhadapan dengan masyarakat baru yang beragam dengan berbagai persoalan yang kompleks, baik dari segi hukum, moral, budaya, maupun ekonomi. Semua persoalan ini membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap ajaran Islam untuk menyelesaikannya.
Dikarenakan lamanya bergaul dengan Nabi Muhammad Saw dan kesaksian terhadap proses turunnya ayat al-Qur’an, para sahabat selalu menyikapi masalah-masalah dengan merujuk pada al-Qur’an dan ketetapan Nabi Muhammad Saw dalam as-Sunnah. Jika mereka menemukan jawaban dari sumber hukum Islam, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, dalam memecahkan suatu masalah, maka sumber hukum tersebut menjadi rujukan utama dan tidak menengok ke sumber lainnya.
Namun, seringkali permasalahan yang muncul itu tidak disebutkan dalam kedua sumber hukum Islam. Dalam hal ini, mereka terdorong untuk menggali kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah untuk menemukan etika-moral, kaidah dasar, dan esensi yang ada di dalamnya. Temuan nilai-nilai itu sangat berguna untuk menjawab masalah-masalah yang baru. Karena itu, perkembangan baru yang mengiringi perluasan wilayah Islam sangat membantu dalam memperkaya warisan hukum Islam.
Selain itu, juga menantang para sahabat untuk bekerja lebih keras dalam memahami kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka seringkali bermusyawarah dalam memecahkan masalah-masalah yang muncul di masyarakat. Bila kesepakatan telah dicapai, maka baru diputuskan hukum dari masalah-masalah tersebut yang kemudian dikenal dengan Ijma’. Ijma’ sering dilakukan secara bersama dalam bentuk musyawarah, karena para sahabat belum tersebar luas.
Baca Juga: Karakteristik Hukum Islam pada Masa Sahabat
Meskipun usaha penggalian hukum (ijtihad) biasanya rawan menimbulkan perbedaan pendapat, namun usaha para sahabat ini justru menghasilkan suatu kesepakatan. Meski demikian, perbedaan pendapat (ikhtilaf) merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari. Benih-benih perbedaan pendapat ini telah mulai tumbuh sejak masa pemerintahan khalifah ketiga, Utsman bin Affan.
Utsman merupakan khalifah pertama yang mengizinkan para sahabat untuk meninggalkan Madinah dan menyebar ke berbagai daerah. Saat itu, lebih dari 300 sahabat pergi ke daerah-daerah di luar Madinah seperti Kufah, Bashrah, Mesir dan Syam. Penyebaran sahabat ke berbagai tempat ini memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum Islam, baik di masa sahabat dan terutama pada masa para murid sahabat (tabi’in).
Hal ini, terutama disebabkan oleh situasi, adat kebiasaan, dan kebudayaan. Selain itu, perbedaan pemahaman para sahabat dalam menyikapi berbagai permasalahan yang muncul juga memberikan pengaruh pada perkembangan hukum Islam. Ibnu al-Qayyim mencatat, bahwa hukum Islam masa sahabat ini disebarkan oleh para pengikut empat sahabat terkemuka, yakni Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Abbas.
Masyarakat Madinah mengambil pelajaran hukum Islam dari Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar; masyarakat Mekkah dari Abdullah bin Abbas; dan murid sahabat (tabi’in) juga mengembangkan hukum Islam. Di antara mereka adalah Atha’ bin Rubah, Amr bin Dinar, Ubaidah bin Umair, Ikrimah di Mekkah; Amr bin Salamah, Hasan Bashri, Sakhtayani, dan Abdullah bin Auf di Basrah.
Alqamah bin Qais an-Nakha’i, Syuraih bin Haris, dan Ubadah bin Salmani di Kufa; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdullah di Mesir; Hisyam bin Yusuf dan Abdurrazzaq bin Hammam di Yaman; dan banyak lagi pra pakar hukum Islam di Irak.
Baca Juga: Pembentukan Sumber Hukum Islam Periode Madaniyyah
Perbedaan pendapat semakin berkembang ketika terjadi berbagai pergolakan politik di wilayah-wilayah Islam. Kekacauan politik sejak terbunuhnya Khalifah Utsman, kemudian dilanjutkan dengan berpindahnya pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Irak pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kemudian dilanjutkan dengan konfrontasi antara Khalifah Ali dengan Muawiyah, semakin memperuncing perbedaan pendapat yang sudah ada.
Lebih dari itu, perbedaan pendapat (ikhtilaf) berubah menjadi pertikaian kelompok (iftirad) serta menimbulkan aliran-aliran dan sekte-sekte baru, seperti halnya Syi’ah, Khawarij, Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Sekte-sekte ini memecahkan kesatuan umat Islam. Meskipun aliran-aliran ini bersifat teologis, namun mereka memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan hukum Islam.
Misalnya, para pakar hukum Islam Syi’ah hanya mau menerima hadis jika diriwayatkan oleh imam mereka sendiri dan lain sebagainya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pembentukan Sumber Hukum Islam Periode Makkiyah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Pada saat itu wilayah kekuasaan pemerintah Madinah sudah menjangkau negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Saat itu, ajaran Islam harus berhadapan dengan masyarakat baru yang beragam dengan berbagai persoalan yang kompleks, baik dari segi hukum, moral, budaya, maupun ekonomi. Semua persoalan ini membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap ajaran Islam untuk menyelesaikannya.
Dikarenakan lamanya bergaul dengan Nabi Muhammad Saw dan kesaksian terhadap proses turunnya ayat al-Qur’an, para sahabat selalu menyikapi masalah-masalah dengan merujuk pada al-Qur’an dan ketetapan Nabi Muhammad Saw dalam as-Sunnah. Jika mereka menemukan jawaban dari sumber hukum Islam, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, dalam memecahkan suatu masalah, maka sumber hukum tersebut menjadi rujukan utama dan tidak menengok ke sumber lainnya.
Namun, seringkali permasalahan yang muncul itu tidak disebutkan dalam kedua sumber hukum Islam. Dalam hal ini, mereka terdorong untuk menggali kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah untuk menemukan etika-moral, kaidah dasar, dan esensi yang ada di dalamnya. Temuan nilai-nilai itu sangat berguna untuk menjawab masalah-masalah yang baru. Karena itu, perkembangan baru yang mengiringi perluasan wilayah Islam sangat membantu dalam memperkaya warisan hukum Islam.
Selain itu, juga menantang para sahabat untuk bekerja lebih keras dalam memahami kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka seringkali bermusyawarah dalam memecahkan masalah-masalah yang muncul di masyarakat. Bila kesepakatan telah dicapai, maka baru diputuskan hukum dari masalah-masalah tersebut yang kemudian dikenal dengan Ijma’. Ijma’ sering dilakukan secara bersama dalam bentuk musyawarah, karena para sahabat belum tersebar luas.
Baca Juga: Karakteristik Hukum Islam pada Masa Sahabat
Meskipun usaha penggalian hukum (ijtihad) biasanya rawan menimbulkan perbedaan pendapat, namun usaha para sahabat ini justru menghasilkan suatu kesepakatan. Meski demikian, perbedaan pendapat (ikhtilaf) merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari. Benih-benih perbedaan pendapat ini telah mulai tumbuh sejak masa pemerintahan khalifah ketiga, Utsman bin Affan.
Utsman merupakan khalifah pertama yang mengizinkan para sahabat untuk meninggalkan Madinah dan menyebar ke berbagai daerah. Saat itu, lebih dari 300 sahabat pergi ke daerah-daerah di luar Madinah seperti Kufah, Bashrah, Mesir dan Syam. Penyebaran sahabat ke berbagai tempat ini memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum Islam, baik di masa sahabat dan terutama pada masa para murid sahabat (tabi’in).
Hal ini, terutama disebabkan oleh situasi, adat kebiasaan, dan kebudayaan. Selain itu, perbedaan pemahaman para sahabat dalam menyikapi berbagai permasalahan yang muncul juga memberikan pengaruh pada perkembangan hukum Islam. Ibnu al-Qayyim mencatat, bahwa hukum Islam masa sahabat ini disebarkan oleh para pengikut empat sahabat terkemuka, yakni Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Abbas.
Masyarakat Madinah mengambil pelajaran hukum Islam dari Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar; masyarakat Mekkah dari Abdullah bin Abbas; dan murid sahabat (tabi’in) juga mengembangkan hukum Islam. Di antara mereka adalah Atha’ bin Rubah, Amr bin Dinar, Ubaidah bin Umair, Ikrimah di Mekkah; Amr bin Salamah, Hasan Bashri, Sakhtayani, dan Abdullah bin Auf di Basrah.
Alqamah bin Qais an-Nakha’i, Syuraih bin Haris, dan Ubadah bin Salmani di Kufa; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdullah di Mesir; Hisyam bin Yusuf dan Abdurrazzaq bin Hammam di Yaman; dan banyak lagi pra pakar hukum Islam di Irak.
Baca Juga: Pembentukan Sumber Hukum Islam Periode Madaniyyah
Perbedaan pendapat semakin berkembang ketika terjadi berbagai pergolakan politik di wilayah-wilayah Islam. Kekacauan politik sejak terbunuhnya Khalifah Utsman, kemudian dilanjutkan dengan berpindahnya pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Irak pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kemudian dilanjutkan dengan konfrontasi antara Khalifah Ali dengan Muawiyah, semakin memperuncing perbedaan pendapat yang sudah ada.
Lebih dari itu, perbedaan pendapat (ikhtilaf) berubah menjadi pertikaian kelompok (iftirad) serta menimbulkan aliran-aliran dan sekte-sekte baru, seperti halnya Syi’ah, Khawarij, Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Sekte-sekte ini memecahkan kesatuan umat Islam. Meskipun aliran-aliran ini bersifat teologis, namun mereka memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan hukum Islam.
Misalnya, para pakar hukum Islam Syi’ah hanya mau menerima hadis jika diriwayatkan oleh imam mereka sendiri dan lain sebagainya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pembentukan Sumber Hukum Islam Periode Makkiyah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Perkembangan Hukum Islam pada Masa Sahabat"
Posting Komentar