Pemikiran Hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal
fikriamiruddin.com - Imam Ahmad bin Hanbal mulai memberikan fatwa ketika menginjak umur 40 tahun. Sebenarnya sebelum umur tersebut, ia sudah memiliki kapasitas yang cukup untuk melakukan hal itu. Namun, Imam Ahmad memiliki prinsip bahwa ia tidak akan meriwayatkan hadis atau berfatwa ketika gurunya masih hidup. Karena itu, ia baru bersedia mengeluarkan fatwa pada tahun 204 H, tepat pada tahun ketika Imam Syafi’i meninggal dunia.
Kezuhudan dan ketakwaan Imam Ahmad yang dikenal luas menarik banyak orang untuk mendengarkan pengajiannya. Diperkirakan ada 5000 orang hadir untuk mengikuti pengajiannya di Baghdad. 500 orang di antaranya mencatat penjelasan-penjelasan fikihnya. Hal ini menunjukkan banyaknya perawi hadis dan banyaknya periwayat fikih dari Imam Ahmad.
Imam Ahmad membuka dua majelis untuk kajian-kajiannya, yakni di rumah dan masjid. Kajian di rumah diikuti oleh anak-anaknya sendiri dan para muridnya. Kajian di masjid diikuti oleh masyarakat umum dan para muridnya. Para murid yang mencatat hadis-hadisnya kurang lebih sepersepuluh yang hadir. Waktu belajar di masjid biasanya dilaksanakan setelah asar. Ini merupakan waktu istirahat, waktu jernihnya jiwa, dan kosong dari kesibukan hidup pada saat itu.
Sehingga hadis maupun fatwa yang disampaikan lebih dapat meresap ke dalam jiwa. Hal yang sama juga dilakukan Imam Abu Hanifah di masjid Kufah. Imam Ahmad selalu mengingatkan para muridnya agar aktif mencatat hadis-hadis yang ia riwayatkan, bahkan ia mewajibkan hal itu. Ada banyak riwayat yang menunjukkan bahwa para muridnya menyodorkan kepadanya fatwa-fatwanya.
Selanjutnya ia melihat catatan-catatan fatwa tersebut, dan ia mengakuinya. Pada awalnya, ia melarang mereka dengan keras untuk mencatat maupun meriwayatkan fatwa-fatwanya sendiri. Menurutnya hanya ilmu agama yang seharusnya ditulis. Ilmu agama yang dimaksud adalah al-Kitab dan as-Sunnah. Selain ilmu agama tidak boleh ditulis. Ia juga melarang para ahli hadis untuk menulis kembali buku-buku Imam Syafi’i, meskipun Imam Syafi’i memiliki kedudukan yang tinggi dalam pandangannya.
Pokoknya, yang boleh diriwayatkan kepada generasi selanjutnya hanyalah al-Kitab dan as-Sunnah, agar pendapat para tokoh dibatasi pada masanya saja dan sebagai pemecahan masalah untuk masanya saja. Imam Ahmad khawatir jika para muridnya lebih mementingkan belajar fikih hasil penggalian hukum dibandingkan belajar dari sumber asalnya, yakni al-Kitab dan as-Sunnah. Pemikiran Imam Ahmad di bidang hukum Islam dapat dirangkum sebagai berikut.
Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Imam Asy-Syafi’i
Pertama, al-Qur’an dan as-Sunnah lebih diutamakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal daripada perkataan para sahabat Nabi, termasuk pemahaman mereka terhadap kedua sumber hukum tersebut. Imam Ahmad melarang seorang muslim mewarisi harta non-muslim sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw. Ia tidak mengikuti pendapat Mu’adz bin Jabal dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang berpendapat sebaliknya.
Kedua, pendapat sahabat Nabi diterima oleh Imam Ahmad selama tidak terbantah oleh pendapat sahabat lainnya. Jika ada perbedaan pendapat, maka diadakan seleksi dengan menganalisis kedekatannya pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketiga, Hadis Mursal (perawi tingkat sahabat Nabi tidak disebutkan) dijadikan sebagai rujukan dalam penyelesaian kasus hukum, padahal Imam Syafi’i sendiri sudah meninggalkannya, karena hadis mursal tergolong hadis yang lemah.
Bagi Imam Ahmad, meski sahabat yang tidak disebut itu kurang populer atau diragukan oleh muridnya, sahabat masih lebih baik daripada muridnya. Karena itu, sebelum melakukan Qiyas, menurutnya lebih baik mengkaji hadis-hadis Nabi Muhammad Saw, termasuk hadis mursal. Hadis yang lemah diterima Imam Ahmad selama bukan hadis yang batil dan munkar, serta tidak diceritakan oleh perawi yang diduga tidak dipercaya.
Keempat, fatwa murid sahabat Nabi juga diakui oleh Imam Ahmad. Menurut Imam Ahmad, fatwa seorang murid sahabat Nabi wajib diikuti. Jika seorang tidak menemukan hukum di dalam al-Qur’an, as-Sunnah, maupun fatwa sahabat Nabi, maka ia wajib mengambil fatwa murid sahabat Nabi. Kelima, Qiyas diambil dalam keadaan terpaksa, yakni semua rujukan di atas tidak menyatakan langsung tentang ketentuan-ketentuan hukum atas persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Cakupan Qiyas dalam mazhab Hambali sangat luas, yakni penggalian hukum di luar sumber hukum al-Qur’an dan Sunnah, serta pendapat sahabat Nabi muridnya. Jadi, istihsan, mashlahah, dan sebagainya disebut sebagai kelompok Qiyas.
Pemikiran hukum Islam dan hadis dari Imam Ahmad yang diterima para muridnya tersebut dapat eksis hingga saat ini lantaran usaha murid dari para murid Imam Ahmad. Salah satu yang terkenal adalah Ahmad bin Muhammad bin Harun yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar al-Khallal. Ia telah mengumpulkan persoalan hukum Islam yang dialamatkan kepada Imam Ahmad. Ia menyusun riwayat Imam Ahmad bersama para muridnya di masjid Jami’ al-Huda, Baghdad.
Berangkat dari diskusi ini, mazhab Hambali menyebar dan berkembang. Al-Khallal berhasil menyusun kumpulan riwayat Imam Ahmad dalam 20 jilid besar. Karya Imam Ahmad yang terkenal adalah “al-Musnad”. Kitab ini merupakan kumpulan hadis-hadis yang diterima Imam Ahmad sejak pertama kali ia menerima hadis pada umur 16 tahun pada tahun 180 H sampai akhir hayatnya.
Imam Ahmad memang tidak suka mencatat dan menulis, kecuali menulis hadis Nabi Muhammad Saw. Al-Musnad yang ditulis sepanjang hidupnya berserakan di berbagai bahan. Pada saat merasa ajalnya sudah dekat, Imam Ahmad mengumpulkan anak-anak dan murid pilihannya. Ia mendiktekan kepada mereka hadis-hadis yang dicatatnya hingga menjadi sebuah kumpulan catatan hadis, namun belum tersusun secara sistematis.
Karena itu, penyusun al-Musnad yang diterima hingga saat ini adalah putra Imam Ahmad, yakni Abdullah bin Ahmad. Abdullah memasukkan semua riwayat yang telah didiktekan ayahnya kepada dirinya dan para murid pilihannya dalam al-Musnad. Namun, ia juga menambahkan di dalamnya hadis-hadis yang ia terima dari ayahnya, selama ia berguru kepada ayahnya. Abdullah merupakan putra Imam Ahmad yang sejak awal direncanakan ayahnya untuk meneruskan kepakarannya di bidang hadis.
Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Mazhab Hanafi
Karena itu, para ulama sepakat bahwa Abdullah bin Ahmad adalah orang yang paling layak menceritakan hadis dari ayahnya sendiri. Abdullah bin Ahmad menyusun al-Musnad menurut nama urutan sahabat Nabi. Ia mengumpulkan hadis-hadis yang diriwayatkan Abu Bakar dalam suatu kumpulan. Demikian pula, riwayat Umar, Utsman, Ali, dan seluruh sahabat Nabi yang lain. Ia juga menyusun hadis berdasarkan urutan nama murid sahabat (tabi’in) dengan cara yang sama.
Urutan seperti ini cukup menyulitkan para pencari hadis yang hendak mencari hadis yang tema tertentu untuk menyelesaikan suatu masalah. Meski demikian, urutan tersebut memiliki manfaat bagi orang yang hendak meneliti dan mengkaji corak hukum Islam para sahabat Nabi maupun murid sahabat Nabi. Dari hadis yang mereka sampaikan dapat disimpulkan corak hukum Islam yang dikembangkannya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Imam Malik: Tokoh Pendiri Mazhab Maliki. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Kezuhudan dan ketakwaan Imam Ahmad yang dikenal luas menarik banyak orang untuk mendengarkan pengajiannya. Diperkirakan ada 5000 orang hadir untuk mengikuti pengajiannya di Baghdad. 500 orang di antaranya mencatat penjelasan-penjelasan fikihnya. Hal ini menunjukkan banyaknya perawi hadis dan banyaknya periwayat fikih dari Imam Ahmad.
Imam Ahmad membuka dua majelis untuk kajian-kajiannya, yakni di rumah dan masjid. Kajian di rumah diikuti oleh anak-anaknya sendiri dan para muridnya. Kajian di masjid diikuti oleh masyarakat umum dan para muridnya. Para murid yang mencatat hadis-hadisnya kurang lebih sepersepuluh yang hadir. Waktu belajar di masjid biasanya dilaksanakan setelah asar. Ini merupakan waktu istirahat, waktu jernihnya jiwa, dan kosong dari kesibukan hidup pada saat itu.
Sehingga hadis maupun fatwa yang disampaikan lebih dapat meresap ke dalam jiwa. Hal yang sama juga dilakukan Imam Abu Hanifah di masjid Kufah. Imam Ahmad selalu mengingatkan para muridnya agar aktif mencatat hadis-hadis yang ia riwayatkan, bahkan ia mewajibkan hal itu. Ada banyak riwayat yang menunjukkan bahwa para muridnya menyodorkan kepadanya fatwa-fatwanya.
Selanjutnya ia melihat catatan-catatan fatwa tersebut, dan ia mengakuinya. Pada awalnya, ia melarang mereka dengan keras untuk mencatat maupun meriwayatkan fatwa-fatwanya sendiri. Menurutnya hanya ilmu agama yang seharusnya ditulis. Ilmu agama yang dimaksud adalah al-Kitab dan as-Sunnah. Selain ilmu agama tidak boleh ditulis. Ia juga melarang para ahli hadis untuk menulis kembali buku-buku Imam Syafi’i, meskipun Imam Syafi’i memiliki kedudukan yang tinggi dalam pandangannya.
Pokoknya, yang boleh diriwayatkan kepada generasi selanjutnya hanyalah al-Kitab dan as-Sunnah, agar pendapat para tokoh dibatasi pada masanya saja dan sebagai pemecahan masalah untuk masanya saja. Imam Ahmad khawatir jika para muridnya lebih mementingkan belajar fikih hasil penggalian hukum dibandingkan belajar dari sumber asalnya, yakni al-Kitab dan as-Sunnah. Pemikiran Imam Ahmad di bidang hukum Islam dapat dirangkum sebagai berikut.
Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Imam Asy-Syafi’i
Pertama, al-Qur’an dan as-Sunnah lebih diutamakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal daripada perkataan para sahabat Nabi, termasuk pemahaman mereka terhadap kedua sumber hukum tersebut. Imam Ahmad melarang seorang muslim mewarisi harta non-muslim sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw. Ia tidak mengikuti pendapat Mu’adz bin Jabal dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang berpendapat sebaliknya.
Kedua, pendapat sahabat Nabi diterima oleh Imam Ahmad selama tidak terbantah oleh pendapat sahabat lainnya. Jika ada perbedaan pendapat, maka diadakan seleksi dengan menganalisis kedekatannya pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketiga, Hadis Mursal (perawi tingkat sahabat Nabi tidak disebutkan) dijadikan sebagai rujukan dalam penyelesaian kasus hukum, padahal Imam Syafi’i sendiri sudah meninggalkannya, karena hadis mursal tergolong hadis yang lemah.
Bagi Imam Ahmad, meski sahabat yang tidak disebut itu kurang populer atau diragukan oleh muridnya, sahabat masih lebih baik daripada muridnya. Karena itu, sebelum melakukan Qiyas, menurutnya lebih baik mengkaji hadis-hadis Nabi Muhammad Saw, termasuk hadis mursal. Hadis yang lemah diterima Imam Ahmad selama bukan hadis yang batil dan munkar, serta tidak diceritakan oleh perawi yang diduga tidak dipercaya.
Keempat, fatwa murid sahabat Nabi juga diakui oleh Imam Ahmad. Menurut Imam Ahmad, fatwa seorang murid sahabat Nabi wajib diikuti. Jika seorang tidak menemukan hukum di dalam al-Qur’an, as-Sunnah, maupun fatwa sahabat Nabi, maka ia wajib mengambil fatwa murid sahabat Nabi. Kelima, Qiyas diambil dalam keadaan terpaksa, yakni semua rujukan di atas tidak menyatakan langsung tentang ketentuan-ketentuan hukum atas persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Cakupan Qiyas dalam mazhab Hambali sangat luas, yakni penggalian hukum di luar sumber hukum al-Qur’an dan Sunnah, serta pendapat sahabat Nabi muridnya. Jadi, istihsan, mashlahah, dan sebagainya disebut sebagai kelompok Qiyas.
Pemikiran hukum Islam dan hadis dari Imam Ahmad yang diterima para muridnya tersebut dapat eksis hingga saat ini lantaran usaha murid dari para murid Imam Ahmad. Salah satu yang terkenal adalah Ahmad bin Muhammad bin Harun yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar al-Khallal. Ia telah mengumpulkan persoalan hukum Islam yang dialamatkan kepada Imam Ahmad. Ia menyusun riwayat Imam Ahmad bersama para muridnya di masjid Jami’ al-Huda, Baghdad.
Berangkat dari diskusi ini, mazhab Hambali menyebar dan berkembang. Al-Khallal berhasil menyusun kumpulan riwayat Imam Ahmad dalam 20 jilid besar. Karya Imam Ahmad yang terkenal adalah “al-Musnad”. Kitab ini merupakan kumpulan hadis-hadis yang diterima Imam Ahmad sejak pertama kali ia menerima hadis pada umur 16 tahun pada tahun 180 H sampai akhir hayatnya.
Imam Ahmad memang tidak suka mencatat dan menulis, kecuali menulis hadis Nabi Muhammad Saw. Al-Musnad yang ditulis sepanjang hidupnya berserakan di berbagai bahan. Pada saat merasa ajalnya sudah dekat, Imam Ahmad mengumpulkan anak-anak dan murid pilihannya. Ia mendiktekan kepada mereka hadis-hadis yang dicatatnya hingga menjadi sebuah kumpulan catatan hadis, namun belum tersusun secara sistematis.
Karena itu, penyusun al-Musnad yang diterima hingga saat ini adalah putra Imam Ahmad, yakni Abdullah bin Ahmad. Abdullah memasukkan semua riwayat yang telah didiktekan ayahnya kepada dirinya dan para murid pilihannya dalam al-Musnad. Namun, ia juga menambahkan di dalamnya hadis-hadis yang ia terima dari ayahnya, selama ia berguru kepada ayahnya. Abdullah merupakan putra Imam Ahmad yang sejak awal direncanakan ayahnya untuk meneruskan kepakarannya di bidang hadis.
Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Mazhab Hanafi
Karena itu, para ulama sepakat bahwa Abdullah bin Ahmad adalah orang yang paling layak menceritakan hadis dari ayahnya sendiri. Abdullah bin Ahmad menyusun al-Musnad menurut nama urutan sahabat Nabi. Ia mengumpulkan hadis-hadis yang diriwayatkan Abu Bakar dalam suatu kumpulan. Demikian pula, riwayat Umar, Utsman, Ali, dan seluruh sahabat Nabi yang lain. Ia juga menyusun hadis berdasarkan urutan nama murid sahabat (tabi’in) dengan cara yang sama.
Urutan seperti ini cukup menyulitkan para pencari hadis yang hendak mencari hadis yang tema tertentu untuk menyelesaikan suatu masalah. Meski demikian, urutan tersebut memiliki manfaat bagi orang yang hendak meneliti dan mengkaji corak hukum Islam para sahabat Nabi maupun murid sahabat Nabi. Dari hadis yang mereka sampaikan dapat disimpulkan corak hukum Islam yang dikembangkannya.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Imam Malik: Tokoh Pendiri Mazhab Maliki. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Pemikiran Hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal"
Posting Komentar