Lelucon Sebagai Alternatif Perlawanan
fikriamiruddin.com - Ternyata, tak hanya Corona yang membutuhkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Kini nampaknya muncul indikasi akan adanya PLBB (Pembatasan Lelucon Berskala Besar). Boleh jadi, kemungkinan besar hanya pihak-pihak tertentu saja yang berhak melempar lelucon dan kita sebagai rakyat biasa hanya boleh meresponnya dengan tertawa.
Indikasi pembatasan lelucon atau humor ini setidaknya dapat kita lihat dari dua hal. Pertama, terkait dengan kasus Novel Baswedan yang kemudian direspon dengan kritik bertajuk komedi oleh Bintang Emon.
Dalam video berdurasi singkat yang diunggah Bintang Emon melalui akun media sosialnya, sudah tampak jelas bahwa apa yang disampaikannya itu hanyalah bagian luar alias tipis-tipis dari kasus itu sendiri. Yang sebenarnya juga sudah banyak dibahas oleh media-media mayor.
Namun, kemudian yang menjadi persoalan adalah justru kritik yang disampaikan dengan balutan komedi khas komika ini malah dipermasalahkan. Hingga pada akhirnya netizen dengan akun bot ramai menyerang karakter Bintang Emon.
Tak main-main, Bintang Emon yang oleh rekan-rekan komikanya dianggap sebagai orang yang emang sulit diajak “asik-asik”, dan bahkan dalam rekam jejaknya tidak punya riwayat kenakalan yang cukup serius.
Justru akhirnya disangkutpautkan dengan narkoba berjenis sabu. Serangan kepada Bintang Emon tersebut dilancarkan netizen dengan akun bot melalui sebuah meme yang bisa dinilai dari sisi desain grafis dan estetis tidak ada menarik-menariknya sama sekali.
Baca Juga: Jika Hukum Sebesar Itu Saja Diterabas, Entah Berapa Ukuran Rakyat di Mata Mereka?
Kedua, terkait seorang warga Kepulauan Sula-Maluku Utara yang bernama Ismail Ahmad, dipanggil oleh pihak kepolisian setempat lantaran unggahan leluconnya tentang polisi di akun media sosial Facebook.
Padahal, Mail hanya mengunggah lelucon yang pernah disampaikan oleh KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang sebenarnya sudah populer sedari dulu. Ya, lelucon Gus Dur terkait ‘tiga polisi jujur’ adalah salah satu kritik melalui lelucon yang paling terkenal.
Dalam lelucon tersebut Gus Dur menyebut bahwa hanya ada tiga polisi jujur, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Polisi Hoegeng (Kapolri pada tahun 1968-1971). Lelucon tersebut sebenarnya adalah bentuk sindiran sekaligus kritik agar Polri bisa bekerja lebih baik.
Namun, ternyata lelucon yang diunggah Mail tersebut justru dianggap mencemarkan nama baik institusi Polri. Meskipun tidak diproses lantaran Mail bersedia minta maaf, namun pemanggilan terhadap Mail oleh Polres Sula adalah bentuk pembatasan kebebasan perpendapat dan tentu saja berlelucon di Indonesia.
Dari dua kasus di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa saat ini ternyata melawan dengan lelucon saja sudah mulai tidak aman.
Padahal, kata Gus Dur lelucon adalah sarana yang dipakai masyarakat untuk bisa bertahan menghadapi tekanan, kepahitan, dan kesengsaraan. Dan kini nampaknya satu-satunya sarana untuk merespon keresahan masyarakat itu akan dibatasi layaknya mobilitas sosial.
Ya, mau bagaimana lagi, apabila dengan lelucon saja bisa dipanggil dan mendapatkan intimidasi, lantas dengan cara apalagi rakyat bisa bertahan menghadapi kekacauan ini?
Di era normal baru ini, masyarakat kita memang dipaksa untuk beradaptasi dengan cara-cara baru yang memang sengaja disetting untuk membatasi mobilitas sosial untuk menghadapi pandemi Corona.
Namun, di sisi lain bisa jadi ada pihak-pihak tertentu yang juga ingin membatasi kebebasan berpendapat, berpikir, dan bahkan berlelucon di negeri ini. Karena itu, boleh jadi di era tatanan normal baru ini lelucon juga akan diatur sedemikian rupa.
Misalnya saja, apabila kita telisik berdasarkan unsur-unsur lelucon setidaknya ada tiga, yakni subjek lelucon, objek lelucon, dan media lelucon. Ketiga hal inilah yang terkait satu sama lain untuk mengundang hiburan yang dilengkapi tawa.
Boleh jadi mulai saat ini subjek lelucon alias orang yang melempar lelucon harus memiliki sertifikasi khusus dari penguasa. Selain itu, tema-tema dan isi lelucon yang disampaikan harus lulus uji materi atau lulus sensor dari lembaga terkait.
Untuk media lelucon sendiri, yang biasanya setiap orang bebas melempar lelucon melalui media sosial dan media-media alternatif lain. Boleh jadi mulai saat ini media yang boleh menayangkan komedi atau lelucon adalah media milik pemerintah, misalnya TVRI.
Baca Juga: Berdamai dengan Corona, Perang Melawan Rakyat
Sedangkan untuk objek lelucon alias orang yang menerima lelucon, siapa lagi kalau bukan kita-kita ini sebagai rakyat. Ya, boleh jadi rakyat hanya boleh menjadi penerima pasif dari lelucon-lelucon yang dilemparkan oleh pihak-pihak yang berwenang dan memiliki sertifikasi.
Hingga pada akhirnya, boleh jadi respon tertawa yang dilakukan oleh rakyat ini akan diatur sedemikian rupa dari mulai nadanya, panjang pendeknya, makhorijul hurufnya, atau bahkan tajwidnya. Bisa saja.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Tren Minum Kopi dan Dampak yang Ditimbulkan. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Indikasi pembatasan lelucon atau humor ini setidaknya dapat kita lihat dari dua hal. Pertama, terkait dengan kasus Novel Baswedan yang kemudian direspon dengan kritik bertajuk komedi oleh Bintang Emon.
Dalam video berdurasi singkat yang diunggah Bintang Emon melalui akun media sosialnya, sudah tampak jelas bahwa apa yang disampaikannya itu hanyalah bagian luar alias tipis-tipis dari kasus itu sendiri. Yang sebenarnya juga sudah banyak dibahas oleh media-media mayor.
Namun, kemudian yang menjadi persoalan adalah justru kritik yang disampaikan dengan balutan komedi khas komika ini malah dipermasalahkan. Hingga pada akhirnya netizen dengan akun bot ramai menyerang karakter Bintang Emon.
Tak main-main, Bintang Emon yang oleh rekan-rekan komikanya dianggap sebagai orang yang emang sulit diajak “asik-asik”, dan bahkan dalam rekam jejaknya tidak punya riwayat kenakalan yang cukup serius.
Justru akhirnya disangkutpautkan dengan narkoba berjenis sabu. Serangan kepada Bintang Emon tersebut dilancarkan netizen dengan akun bot melalui sebuah meme yang bisa dinilai dari sisi desain grafis dan estetis tidak ada menarik-menariknya sama sekali.
Baca Juga: Jika Hukum Sebesar Itu Saja Diterabas, Entah Berapa Ukuran Rakyat di Mata Mereka?
Kedua, terkait seorang warga Kepulauan Sula-Maluku Utara yang bernama Ismail Ahmad, dipanggil oleh pihak kepolisian setempat lantaran unggahan leluconnya tentang polisi di akun media sosial Facebook.
Padahal, Mail hanya mengunggah lelucon yang pernah disampaikan oleh KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang sebenarnya sudah populer sedari dulu. Ya, lelucon Gus Dur terkait ‘tiga polisi jujur’ adalah salah satu kritik melalui lelucon yang paling terkenal.
Dalam lelucon tersebut Gus Dur menyebut bahwa hanya ada tiga polisi jujur, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Polisi Hoegeng (Kapolri pada tahun 1968-1971). Lelucon tersebut sebenarnya adalah bentuk sindiran sekaligus kritik agar Polri bisa bekerja lebih baik.
Namun, ternyata lelucon yang diunggah Mail tersebut justru dianggap mencemarkan nama baik institusi Polri. Meskipun tidak diproses lantaran Mail bersedia minta maaf, namun pemanggilan terhadap Mail oleh Polres Sula adalah bentuk pembatasan kebebasan perpendapat dan tentu saja berlelucon di Indonesia.
Dari dua kasus di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa saat ini ternyata melawan dengan lelucon saja sudah mulai tidak aman.
Padahal, kata Gus Dur lelucon adalah sarana yang dipakai masyarakat untuk bisa bertahan menghadapi tekanan, kepahitan, dan kesengsaraan. Dan kini nampaknya satu-satunya sarana untuk merespon keresahan masyarakat itu akan dibatasi layaknya mobilitas sosial.
Ya, mau bagaimana lagi, apabila dengan lelucon saja bisa dipanggil dan mendapatkan intimidasi, lantas dengan cara apalagi rakyat bisa bertahan menghadapi kekacauan ini?
Di era normal baru ini, masyarakat kita memang dipaksa untuk beradaptasi dengan cara-cara baru yang memang sengaja disetting untuk membatasi mobilitas sosial untuk menghadapi pandemi Corona.
Namun, di sisi lain bisa jadi ada pihak-pihak tertentu yang juga ingin membatasi kebebasan berpendapat, berpikir, dan bahkan berlelucon di negeri ini. Karena itu, boleh jadi di era tatanan normal baru ini lelucon juga akan diatur sedemikian rupa.
Misalnya saja, apabila kita telisik berdasarkan unsur-unsur lelucon setidaknya ada tiga, yakni subjek lelucon, objek lelucon, dan media lelucon. Ketiga hal inilah yang terkait satu sama lain untuk mengundang hiburan yang dilengkapi tawa.
Boleh jadi mulai saat ini subjek lelucon alias orang yang melempar lelucon harus memiliki sertifikasi khusus dari penguasa. Selain itu, tema-tema dan isi lelucon yang disampaikan harus lulus uji materi atau lulus sensor dari lembaga terkait.
Untuk media lelucon sendiri, yang biasanya setiap orang bebas melempar lelucon melalui media sosial dan media-media alternatif lain. Boleh jadi mulai saat ini media yang boleh menayangkan komedi atau lelucon adalah media milik pemerintah, misalnya TVRI.
Baca Juga: Berdamai dengan Corona, Perang Melawan Rakyat
Sedangkan untuk objek lelucon alias orang yang menerima lelucon, siapa lagi kalau bukan kita-kita ini sebagai rakyat. Ya, boleh jadi rakyat hanya boleh menjadi penerima pasif dari lelucon-lelucon yang dilemparkan oleh pihak-pihak yang berwenang dan memiliki sertifikasi.
Hingga pada akhirnya, boleh jadi respon tertawa yang dilakukan oleh rakyat ini akan diatur sedemikian rupa dari mulai nadanya, panjang pendeknya, makhorijul hurufnya, atau bahkan tajwidnya. Bisa saja.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Tren Minum Kopi dan Dampak yang Ditimbulkan. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Lelucon Sebagai Alternatif Perlawanan"
Posting Komentar