Pengalaman Lolos dari Kebakaran Dahsyat di Gunung Butak
fikriamiruddin.com - Mungkin kalian seringkali melihat feed Instagram para pendaki gunung yang begitu gagah berdiri mengibarkan merah putih di puncak-puncak gunung. Namun, tau kah kalian di balik foto indah itu ada cerita-cerita menyedihkan yang seakan tenggelam oleh like di Instagram.
Sebagai seorang pejalan, setidaknya saya pernah mengalami beberapa hal menyedihkan ketika mendaki gunung. Dari mulai teman seperjalanan yang sempat hilang, salah jalur, dan bahkan menyaksikan dengan mata kepala sendiri dahsyatnya kebakaran hutan di gunung.
Pengalaman yang saya sebut terakhir itu saya alami pada akhir bulan Oktober tahun 2019 lalu. Pada saat itu saya sedang mendaki gunung Butak, salah satu gunung yang berada di Jawa Timur selain gunung Semeru, Arjuno, dan Bromo yang terkenal itu.
Sekedar informasi, gunung Butak berketinggian 2.868 MDPL dengan tipe hutan hujan tropis dan hutan lumut. Gunung ini bisa ditempuh melalui dua jalur, yakni via Panderman di Kota Batu dan via Sirah Kencong di Kabupaten Blitar.
Saat itu kami memilih jalur pendakian via Panderman di Kota Batu dikarenakan lebih populer dan mudah dijangkau. Oh ya, dalam perjalanan tersebut saya ditemani oleh empat kawan lainnya. Jadi, total keseluruhan tim kami berjumlah lima orang.
Seperti pendakian-pendakian sebelumnya, saya terbiasa mengajak kawan-kawan untuk tek-tok alias naik-turun gunung pada hari itu juga tanpa menginap. Dua kawan saya dalam pendakian ini sebut saja Ade dan Den sudah terbiasa dengan cara ini.
Sialnya, dua kawan lainnya yang merupakan kawan dari Den ternyata baru pertama kali itu naik gunung. Hal tersebut terlihat dari pakaian dan peralatan yang dikenakannya nampak seperti baru semua, khas para pendaki pemula.
Saya sudah tahu betul, alih-alih memperbarui pengetahuan tentang gunung dan dunia pendakian, para pendaki pemula lebih memilih memperbarui pakaian dan peralatan, khas korban acara petualangan di TV.
Sudah saya prediksi bahwa pendakian kali ini akan terasa lebih berat dan lebih lama dari biasanya dan pastinya akan melenceng jauh dari rencana yang sudah dipersiapkan matang-matang. Hal yang paling saya sesali saat itu adalah kenapa Den tidak menceritakan kemampuan dua kawannya itu baik dari segi fisik dan pengetahuan terkait pendakian gunung.
Dengan mengetahui kemampuan rekan seperjalanan, tentu akan lebih mudah bagi kami untuk menentukan sikap dan mengambil tindakan dalam kondisi darurat. Karena itu, untuk urusan naik gunung saya selalu pilih-pilih rekan seperjalanan, pastinya harus memiliki tujuan yang sama, apakah perjalanan hanya sekedar haha-hihi ataukah untuk mencapai sebuah target.
Baca Juga: Pendakian Gunung Butak Via Panderman
Berdasarkan pengalaman saya dan kawan lainnya, kami sepakat bahwa jangan mudah menerima tawaran untuk melakukan pendakian bersama, dengan orang yang belum kita kenal dan ketahui kemampuannya.
Karena hal itu hanya akan menyusahkan diri kita sendiri dan bahkan justru malah merugikan atau membahayakan orang lain.
Singkat cerita, kami mulai mendaki pada pukul 08.00 pagi. Kami berencana pukul 12.00 siang harus sudah sampai di pos 4 Sabana, pos terakhir sebelum menuju puncak. Benar saja, rencana ini meleset, dan akhirnya kami sampai di Sabana pukul 13.30 siang.
Tak lama berselang, di Sabana ini kami kemudian memutuskan untuk beristirahat sejenak dan makan siang sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak. Setelah beres, kami segera berkemas untuk melanjutkan perjalanan ke puncak gunung Butak.
Namun, dalam perjalanan ke puncak ini saya hanya ditemani oleh Ade dan Den. Hal tersebut lantaran dua kawan dari Den sudah merasa kepayahan dan memutuskan beristirahat saja di Sabana sambil menunggu kami dari puncak.
Perjalanan dari Sabana menuju puncak hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam. Setelah sampai di puncak, kami lantas mengabadikan beberapa momen. Tanpa di sangka, dari arah gunung Kawi berhembus kepulan asap putih.
Awalnya kami mengira asap tersebut adalah kabut putih biasa khas gunung. Namun, dugaan kami ternyata salah. Hal tersebut lantaran ketika kami mulai berjalan menjauh meninggalkan sabana, di tengah perjalanan kami melihat kepulan asap disertai kobaran api.
Berhentilah kami sejenak dan mengamati sekitar, terdengar samar suara “Krotok-krotok...” khas daun dan ranting terbakar. Benar saja, tak lama berselang kami menyaksikan pohon terbakar dan “Gedebuk...” suara pohon tumbang tepat di tengah jalur yang akan kami lewati.
Saat itu juga kobaran api dari sebelah kiri jalur mulai merambat menyebrang ke kanan jalur. “Sialan”, Den mengumpat, sebab si Jago Merah mulai melahap apa pun di sekitarnya. Jalan keluar satu-satunya adalah kami harus kembali ke Sabana.
Sore itu kami meratapi nasib bersama, namun tetap tenang. Sebab, kepanikan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Ade mengusulkan untuk turun melalui jalur sirah kencong di Blitar. Saya menolak, sebab di antara kami minim sekali pengetahuan mengenai jalur itu.
Belum tentu juga jalur itu aman-aman saja, bisa jadi di jalur itu juga ada kebakaran atau bahaya lain yang mengancam. Maka kami memutuskan untuk mengamankan diri di dekat mata air sabana sampai kobaran api mereda.
Setelah capek menunggu, akhirnya keempat kawan seperjalanan saya itu semua tertidur pulas. Hanya saya seoranglah yang masih terjaga dan terus mengamati kobaran api, dengan harapan semoga cepat mereda dan keadaan lekas membaik.
Syahdan, tak lama berselang asap mulai menipis, lantas saya membangunkan kawan-kawan dan mengajaknya bergegas, sebelum keadaan mulai tak terkendali lagi. Dengan setengah berlari kami mulai menerjang dan melompat pepohonan tumbang yang kini lebih mirip arang itu.
Sambil terus berjalan, kami tercengang melihat satu per satu pohon mulai tumbang dengan aroma kayu bakar yang begitu menyengat dan asap yang terasa pedih di mata.
Perjalanan kami kembali terhambat ketika bukit yang berada tepat di atas kami ternyata mulai di lahap kobaran api dan membuat pepohonan di atasnya tumbang. Kami mulai berlari sekuat tenaga menjauh dari bukit itu.
Baca Juga: Pendakian Gunung Panderman Via Batu
Sebab, telat seper sekian detik saja mungkin sudah jadi apa kami nantinya. Setelah 30 menit setengah berlari sampailah kami di pos 3. Di pos 3 ini keadaan mulai terkendali, namun kami tetap bergegas untuk turun.
Singkat cerita, sampailah kami di basecamp. Lantas kami segera lapor kepada petugas yang ada di sana. Dan benar saja ternyata kebakaran juga terjadi secara serentak di gunung Kawi, Panderman, dan Arjuno.
Bahkan, di desa yang terdapat di kaki gunung Arjuno, petugas bercerita kepada kami bahwa baru saja terjadi angin puting beliung dan masyarakat diharuskan mengungsi.
Entah ada apa dengan hari itu? Yang pasti kami bersyukur bisa lolos dari kobaran api yang hampir memanggang badan kami itu. Alhamdulillah~
Mungkin cukup sekian cerita kali ini, silahkan baca juga: Pendakian Gunung Semeru Via Ranu Pane. Terima kasih banyak semoga bermanfaat.
Sebagai seorang pejalan, setidaknya saya pernah mengalami beberapa hal menyedihkan ketika mendaki gunung. Dari mulai teman seperjalanan yang sempat hilang, salah jalur, dan bahkan menyaksikan dengan mata kepala sendiri dahsyatnya kebakaran hutan di gunung.
Pengalaman yang saya sebut terakhir itu saya alami pada akhir bulan Oktober tahun 2019 lalu. Pada saat itu saya sedang mendaki gunung Butak, salah satu gunung yang berada di Jawa Timur selain gunung Semeru, Arjuno, dan Bromo yang terkenal itu.
Sekedar informasi, gunung Butak berketinggian 2.868 MDPL dengan tipe hutan hujan tropis dan hutan lumut. Gunung ini bisa ditempuh melalui dua jalur, yakni via Panderman di Kota Batu dan via Sirah Kencong di Kabupaten Blitar.
Saat itu kami memilih jalur pendakian via Panderman di Kota Batu dikarenakan lebih populer dan mudah dijangkau. Oh ya, dalam perjalanan tersebut saya ditemani oleh empat kawan lainnya. Jadi, total keseluruhan tim kami berjumlah lima orang.
Seperti pendakian-pendakian sebelumnya, saya terbiasa mengajak kawan-kawan untuk tek-tok alias naik-turun gunung pada hari itu juga tanpa menginap. Dua kawan saya dalam pendakian ini sebut saja Ade dan Den sudah terbiasa dengan cara ini.
Sialnya, dua kawan lainnya yang merupakan kawan dari Den ternyata baru pertama kali itu naik gunung. Hal tersebut terlihat dari pakaian dan peralatan yang dikenakannya nampak seperti baru semua, khas para pendaki pemula.
Saya sudah tahu betul, alih-alih memperbarui pengetahuan tentang gunung dan dunia pendakian, para pendaki pemula lebih memilih memperbarui pakaian dan peralatan, khas korban acara petualangan di TV.
Sudah saya prediksi bahwa pendakian kali ini akan terasa lebih berat dan lebih lama dari biasanya dan pastinya akan melenceng jauh dari rencana yang sudah dipersiapkan matang-matang. Hal yang paling saya sesali saat itu adalah kenapa Den tidak menceritakan kemampuan dua kawannya itu baik dari segi fisik dan pengetahuan terkait pendakian gunung.
Dengan mengetahui kemampuan rekan seperjalanan, tentu akan lebih mudah bagi kami untuk menentukan sikap dan mengambil tindakan dalam kondisi darurat. Karena itu, untuk urusan naik gunung saya selalu pilih-pilih rekan seperjalanan, pastinya harus memiliki tujuan yang sama, apakah perjalanan hanya sekedar haha-hihi ataukah untuk mencapai sebuah target.
Baca Juga: Pendakian Gunung Butak Via Panderman
Berdasarkan pengalaman saya dan kawan lainnya, kami sepakat bahwa jangan mudah menerima tawaran untuk melakukan pendakian bersama, dengan orang yang belum kita kenal dan ketahui kemampuannya.
Karena hal itu hanya akan menyusahkan diri kita sendiri dan bahkan justru malah merugikan atau membahayakan orang lain.
Singkat cerita, kami mulai mendaki pada pukul 08.00 pagi. Kami berencana pukul 12.00 siang harus sudah sampai di pos 4 Sabana, pos terakhir sebelum menuju puncak. Benar saja, rencana ini meleset, dan akhirnya kami sampai di Sabana pukul 13.30 siang.
Tak lama berselang, di Sabana ini kami kemudian memutuskan untuk beristirahat sejenak dan makan siang sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak. Setelah beres, kami segera berkemas untuk melanjutkan perjalanan ke puncak gunung Butak.
Namun, dalam perjalanan ke puncak ini saya hanya ditemani oleh Ade dan Den. Hal tersebut lantaran dua kawan dari Den sudah merasa kepayahan dan memutuskan beristirahat saja di Sabana sambil menunggu kami dari puncak.
Perjalanan dari Sabana menuju puncak hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam. Setelah sampai di puncak, kami lantas mengabadikan beberapa momen. Tanpa di sangka, dari arah gunung Kawi berhembus kepulan asap putih.
Awalnya kami mengira asap tersebut adalah kabut putih biasa khas gunung. Namun, dugaan kami ternyata salah. Hal tersebut lantaran ketika kami mulai berjalan menjauh meninggalkan sabana, di tengah perjalanan kami melihat kepulan asap disertai kobaran api.
Berhentilah kami sejenak dan mengamati sekitar, terdengar samar suara “Krotok-krotok...” khas daun dan ranting terbakar. Benar saja, tak lama berselang kami menyaksikan pohon terbakar dan “Gedebuk...” suara pohon tumbang tepat di tengah jalur yang akan kami lewati.
Saat itu juga kobaran api dari sebelah kiri jalur mulai merambat menyebrang ke kanan jalur. “Sialan”, Den mengumpat, sebab si Jago Merah mulai melahap apa pun di sekitarnya. Jalan keluar satu-satunya adalah kami harus kembali ke Sabana.
Sore itu kami meratapi nasib bersama, namun tetap tenang. Sebab, kepanikan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Ade mengusulkan untuk turun melalui jalur sirah kencong di Blitar. Saya menolak, sebab di antara kami minim sekali pengetahuan mengenai jalur itu.
Belum tentu juga jalur itu aman-aman saja, bisa jadi di jalur itu juga ada kebakaran atau bahaya lain yang mengancam. Maka kami memutuskan untuk mengamankan diri di dekat mata air sabana sampai kobaran api mereda.
Setelah capek menunggu, akhirnya keempat kawan seperjalanan saya itu semua tertidur pulas. Hanya saya seoranglah yang masih terjaga dan terus mengamati kobaran api, dengan harapan semoga cepat mereda dan keadaan lekas membaik.
Syahdan, tak lama berselang asap mulai menipis, lantas saya membangunkan kawan-kawan dan mengajaknya bergegas, sebelum keadaan mulai tak terkendali lagi. Dengan setengah berlari kami mulai menerjang dan melompat pepohonan tumbang yang kini lebih mirip arang itu.
Sambil terus berjalan, kami tercengang melihat satu per satu pohon mulai tumbang dengan aroma kayu bakar yang begitu menyengat dan asap yang terasa pedih di mata.
Perjalanan kami kembali terhambat ketika bukit yang berada tepat di atas kami ternyata mulai di lahap kobaran api dan membuat pepohonan di atasnya tumbang. Kami mulai berlari sekuat tenaga menjauh dari bukit itu.
Baca Juga: Pendakian Gunung Panderman Via Batu
Sebab, telat seper sekian detik saja mungkin sudah jadi apa kami nantinya. Setelah 30 menit setengah berlari sampailah kami di pos 3. Di pos 3 ini keadaan mulai terkendali, namun kami tetap bergegas untuk turun.
Singkat cerita, sampailah kami di basecamp. Lantas kami segera lapor kepada petugas yang ada di sana. Dan benar saja ternyata kebakaran juga terjadi secara serentak di gunung Kawi, Panderman, dan Arjuno.
Bahkan, di desa yang terdapat di kaki gunung Arjuno, petugas bercerita kepada kami bahwa baru saja terjadi angin puting beliung dan masyarakat diharuskan mengungsi.
Entah ada apa dengan hari itu? Yang pasti kami bersyukur bisa lolos dari kobaran api yang hampir memanggang badan kami itu. Alhamdulillah~
Mungkin cukup sekian cerita kali ini, silahkan baca juga: Pendakian Gunung Semeru Via Ranu Pane. Terima kasih banyak semoga bermanfaat.
0 Response to "Pengalaman Lolos dari Kebakaran Dahsyat di Gunung Butak"
Posting Komentar