Hukum Islam pada Masa Modern
fikriamiruddin.com - Secara umum, ada dua pandangan dalam penerapan hukum Islam di bawah ketentuan negara bangsa (nation-state). Pandangan pertama mengedepankan cara akomodatif. Dalam hal ini, bangunan hukum Islam diubah sesuai paradigma modern. Pada awalnya, hukum Islam lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional yang bersifat paguyuban (gemainschaft), sehingga anggota komunitasnya diikat berdasarkan identitas etnis, agama, atau yang lain.
Keseluruhan paradigma hukum Islam tradisional tersebut diubah dengan sistem patembayan (gesellschaft). Dalam sistem ini, masyarakat berada dalam sistem konstitusional negara bangsa (nation-state) dan tatanan hukum internasional modern.
Pada masyarakat negara-bangsa, pandangan kewargaan tidak lagi bisa didasarkan pada keanggotaan komunitas yang berbasis pada agama tertentu, melainkan pada kesamaan nasib bersifat nasional yang didasarkan pada konstitusi. Karena itu, keputusan dan praktek hukum Islam harus didasarkan pada alasan-alasan rasional. Seluruh warisan hukum Islam adalah bahan baku, bersama dengan hukum Barat dan hukum adat setempat dalam sistem hukum nasional.
Namun, penerapannya harus dalam proses demokrasi dan berdasarkan pada alasan-alasan publik. Paradigma kedua adalah dengan mempertahankan paradigma hukum Islam semula dan mendesaknya ke dalam sistem hukum modern, baik secara ideologis maupun praktik. Ideologis dalam arti menggantikan sistem negara bangsa. Kewarganegaraannya berdasarkan keseragaman agama, yakni Islam sebagai suatu sistem yang formal.
Abul A’la Maududi dan Sayyid Qutb adalah dua tokoh pemikirnya. Negara Iran, Pakistan, dan Saudi Arabia adalah model sistem ini. Pada model ini, semua produk harus dapat diuji dengan ideologi dan doktrin Islam yang otoritasnya ada para ulama pakar hukum Islam. Dengan demikian, ulama memiliki otoritas tertinggi dalam keseluruhan produk hukum dan kebijakan pemerintahan. Prosedur demokrasi bisa saja diberlakukan, namun akhirnya harus berada di tangan para ulama tersebut.
Hukum Islam tidak bisa dipertanyakan dengan argumen publik, melainkan dengan doktrin semula. Jika hukum semula haram atau halal, maka hukum dasar itulah yang dipakai. Sistem modern hanya bertugas menerapkan hukum yang sudah jadi tersebut.
Baca Juga: Penyebab Kebekuan Pemikiran Hukum Islam
Hukum Islam, Hukum Barat, dan Hukum Adat
Setiap sistem hukum menyatakan bahwa orang-orang yang terikat dengan hukum itu harus bersedia mengakui otoritasnya. Selain itu, mereka juga harus mengakui bahwa hukum mengikat mereka, walaupun mereka melakukan pelanggaran terhadap hukum itu. Dengan demikian, penerimaan hukum Islam pun terikat dengan syarat penerimaan agama Islam. Ia merupakan kewajiban lanjutan setelah seseorang menjadi muslim.
Agama Islam dipeluk oleh banyak kelompok masyarakat yang masing-masing memiliki tradisi sosial dan hukum tersendiri. Tradisi ini diwarisi dari para pendahulunya dalam jangka waktu lama. Karena menerima Islam sebagai agama mereka, maka para anggota kelompok masyarakat tersebut secara prinsip juga mengakui otoritas hukum Islam. Namun, berbagai tradisi dan lembaga sosial yang lama tidak dapat segera dihapuskan begitu saja.
Dalam kenyataannya, para pemimpin agama Islam harus berjuang dalam jangka waktu lama. Mereka berjuang untuk mengembangkan juridiksi hukum Islam secara aktual di kalangan semua kelompok masyarakat tersebut. Dalam perjuangan ini, mereka memperoleh keberhasilan secara gemilang. Namun demikian, masih ada kelompok masyarakat tertentu, seperti orang-orang Barbar di Afrika Barat Laut, yang merasa mantap menjadi muslim dengan tetap bertahan pada hukum adat.
Meskipun demikian, para ulama pada batas tertentu berhasil menerapkan hukum Islam dan mempersatukan umat muslim. Hukum adat merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengonsolidasi etika sosial Islam. Meskipun secara teoritik, hukum mencakup setiap cabang dan hubungan sosial, namun dalam praktiknya masih banyak sekali aspek kehidupan masyarakat yang masih terabaikan.
Hukum Islam untuk masyarakat muslim di masa modern kurang berpengaruh dibandingkan hukum Eropa. Kelompok modernis dan liberal sering mengambil sikap Barat dalam menghadapi persoalan hukum Islam. Sampai saat ini, mungkin hanya Arab Saudi dan sampai batas tertentu Afganistan yang tetap melestarikan hukum Islam tradisional. Namun, terdapat satu bidang yang tetap mempertahankan tatanan hukum Islam, yakni bidang yang berhubungan dengan perorangan (ahwal al-syakhsyiyyah).
Yang mencakup persoalan perkawinan, perceraian, dan pewarisan. Pelaksanaan hukum Islam di bidang ini tidak hanya menyangkut kepentingan setiap anggota masyarakat Muslim, namun juga terletak pada aturan dasarnya yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam realitasnya, bidang hubungan perseorangan ini merupakan bidang yang dituntut kalangan modern untuk diperbaharui.
Selain itu, bidang ini mengandung banyak masalah yang sering diperdebatkan antara kelompok modernis dan konservatif. Mereka memperdebatkan berbagai penyalahgunaan dalam pelaksanaan hukum Islam mengenai poligami, perceraian, pembagian waris, wakaf, dan hukum lain yang secara tidak langsung didasarkan pada al-Qur’an. Al-Qur’an telah menetapkan secara terinci bagian-bagian tertentu yang harus diberikan kepada para ahli waris.
Tidak sulit untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut secara adil apabila diterapkan terhadap benda-benda bergerak. Namun, jika diterapkan pada tanah pertanian atau modal industri, maka akibatnya secara ekonomi akan mengganggu dan merusak kondisi yang ada. Begitu juga dengan wakaf-wakaf keluarga yang bersifat tetap ternyata menjadi sebab timbulnya banyak kejahatan moral dan kerugian di bidang ekonomi.
Karena itu, timbul agitasi yang gencar di berbagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam untuk menuntut dihapusnya pelaksanaan wakaf-wakaf keluarga semacam ini. Sebenarnya, pengenalan hukum Barat di negara-negara Islam tidak dicapai tanpa kesulitan. Di Turki, misalnya, penjara dibangun sebagai kurungan bersama. Penghuninya merupakan para narapidana yang tidak diwajibkan bekerja.
Karena itu, ketika mereka mengambil Undang-Undang Hukum Pidana Italia yang antara lain menentukan kurungan sendirian (para tahanan dikurung sendiri-sendiri) dan hukum kerja paksa, maka dua ketentuan ini tak dapat dilaksanakan sampai dibangunnya penjara baru yang sesuai dengan tujuan. Permasalahan timbul di negara-negara lain dengan adanya dua macam hukum yang sama-sama berlaku dan berinteraksi, yakni hukum Barat dan hukum Islam.
Hukum Barat telah berhasil diasimilasi di berbagai daerah Islam. Jika pada mulanya mereka terusik dan terganggu, namun pada masa berikutnya terjadi kesesuaian dengan temperamen penduduk muslim. Penentangan disuarakan terhadap pengenalan hukum Barat oleh para ahli hukum Islam, namun ini tidak cukup kuat untuk menjadi rintangan yang berarti. Secara umum, setiap orang memiliki pendirian, lebih baik membiarkan syariah berjalan dengan damai daripada mengadakan pembedahan terhadap prinsip-prinsipnya secara radikal seperti dikehendaki kondisi modern.
Baca Juga: Integrasi Hukum dan Politik pada Masa Dinasti Abbasiyah
Sebaliknya, hukum keluarga selalu menjadi tempat syariah yang aman dan kokoh. Salah satu contoh dari kecenderungan untuk memerkokoh kedudukan syariah dalam cagar tradisionalnya (hukum keluarga) ini ialah Undang-Undang syariah India tahun 1937. Undang-undang ini mempertegas syariah sebagai hukum yang mendasar bagi seluruh orang Islam di India dalam hal hukum perorangan (termasuk hukum waris, hibah dan wakaf).
Tujuannya adalah hendak menghapus praktik-praktik adat yang bertentangan dengan syariah yang berlaku di masyarakat muslim tertentu. Standar dan lembaga hukum yang datang dari Barat memunculkan daya dorong bagi suatu pembaruan dalam bidang hukum keluarga. Pada awalnya, ini membuahkan jarak antara kebutuhan masyarakat dan hukum. Dampak lainnya adalah diambilnya Undang-undang Perdata dan Pidana Barat.
Turki memandang bahwa satu-satunya jalan untuk menembus kebuntuan ini ialah dengan menyingkirkan syariah dan sebagai gantinya, memungut hukum keluarga Swiss pada tahun 1927. Namun, tidak ada negara Islam lain yang mengikuti pola ini. Dengan tekad hendak mempertahankan pengaruh hukum agama, maka dicari dan ditemukan piranti-piranti hukum. Dengan piranti-piranti ini, doktrin syariah pun bisa disesuaikan dengan kehidupan modern. Hanya sedikit negara saja yang tidak terlibat dalam perkembangan ini.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Ketegangan Hukum dan Politik pada Masa Dinasti Abbasiyah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Keseluruhan paradigma hukum Islam tradisional tersebut diubah dengan sistem patembayan (gesellschaft). Dalam sistem ini, masyarakat berada dalam sistem konstitusional negara bangsa (nation-state) dan tatanan hukum internasional modern.
Pada masyarakat negara-bangsa, pandangan kewargaan tidak lagi bisa didasarkan pada keanggotaan komunitas yang berbasis pada agama tertentu, melainkan pada kesamaan nasib bersifat nasional yang didasarkan pada konstitusi. Karena itu, keputusan dan praktek hukum Islam harus didasarkan pada alasan-alasan rasional. Seluruh warisan hukum Islam adalah bahan baku, bersama dengan hukum Barat dan hukum adat setempat dalam sistem hukum nasional.
Namun, penerapannya harus dalam proses demokrasi dan berdasarkan pada alasan-alasan publik. Paradigma kedua adalah dengan mempertahankan paradigma hukum Islam semula dan mendesaknya ke dalam sistem hukum modern, baik secara ideologis maupun praktik. Ideologis dalam arti menggantikan sistem negara bangsa. Kewarganegaraannya berdasarkan keseragaman agama, yakni Islam sebagai suatu sistem yang formal.
Abul A’la Maududi dan Sayyid Qutb adalah dua tokoh pemikirnya. Negara Iran, Pakistan, dan Saudi Arabia adalah model sistem ini. Pada model ini, semua produk harus dapat diuji dengan ideologi dan doktrin Islam yang otoritasnya ada para ulama pakar hukum Islam. Dengan demikian, ulama memiliki otoritas tertinggi dalam keseluruhan produk hukum dan kebijakan pemerintahan. Prosedur demokrasi bisa saja diberlakukan, namun akhirnya harus berada di tangan para ulama tersebut.
Hukum Islam tidak bisa dipertanyakan dengan argumen publik, melainkan dengan doktrin semula. Jika hukum semula haram atau halal, maka hukum dasar itulah yang dipakai. Sistem modern hanya bertugas menerapkan hukum yang sudah jadi tersebut.
Baca Juga: Penyebab Kebekuan Pemikiran Hukum Islam
Hukum Islam, Hukum Barat, dan Hukum Adat
Setiap sistem hukum menyatakan bahwa orang-orang yang terikat dengan hukum itu harus bersedia mengakui otoritasnya. Selain itu, mereka juga harus mengakui bahwa hukum mengikat mereka, walaupun mereka melakukan pelanggaran terhadap hukum itu. Dengan demikian, penerimaan hukum Islam pun terikat dengan syarat penerimaan agama Islam. Ia merupakan kewajiban lanjutan setelah seseorang menjadi muslim.
Agama Islam dipeluk oleh banyak kelompok masyarakat yang masing-masing memiliki tradisi sosial dan hukum tersendiri. Tradisi ini diwarisi dari para pendahulunya dalam jangka waktu lama. Karena menerima Islam sebagai agama mereka, maka para anggota kelompok masyarakat tersebut secara prinsip juga mengakui otoritas hukum Islam. Namun, berbagai tradisi dan lembaga sosial yang lama tidak dapat segera dihapuskan begitu saja.
Dalam kenyataannya, para pemimpin agama Islam harus berjuang dalam jangka waktu lama. Mereka berjuang untuk mengembangkan juridiksi hukum Islam secara aktual di kalangan semua kelompok masyarakat tersebut. Dalam perjuangan ini, mereka memperoleh keberhasilan secara gemilang. Namun demikian, masih ada kelompok masyarakat tertentu, seperti orang-orang Barbar di Afrika Barat Laut, yang merasa mantap menjadi muslim dengan tetap bertahan pada hukum adat.
Meskipun demikian, para ulama pada batas tertentu berhasil menerapkan hukum Islam dan mempersatukan umat muslim. Hukum adat merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengonsolidasi etika sosial Islam. Meskipun secara teoritik, hukum mencakup setiap cabang dan hubungan sosial, namun dalam praktiknya masih banyak sekali aspek kehidupan masyarakat yang masih terabaikan.
Hukum Islam untuk masyarakat muslim di masa modern kurang berpengaruh dibandingkan hukum Eropa. Kelompok modernis dan liberal sering mengambil sikap Barat dalam menghadapi persoalan hukum Islam. Sampai saat ini, mungkin hanya Arab Saudi dan sampai batas tertentu Afganistan yang tetap melestarikan hukum Islam tradisional. Namun, terdapat satu bidang yang tetap mempertahankan tatanan hukum Islam, yakni bidang yang berhubungan dengan perorangan (ahwal al-syakhsyiyyah).
Yang mencakup persoalan perkawinan, perceraian, dan pewarisan. Pelaksanaan hukum Islam di bidang ini tidak hanya menyangkut kepentingan setiap anggota masyarakat Muslim, namun juga terletak pada aturan dasarnya yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam realitasnya, bidang hubungan perseorangan ini merupakan bidang yang dituntut kalangan modern untuk diperbaharui.
Selain itu, bidang ini mengandung banyak masalah yang sering diperdebatkan antara kelompok modernis dan konservatif. Mereka memperdebatkan berbagai penyalahgunaan dalam pelaksanaan hukum Islam mengenai poligami, perceraian, pembagian waris, wakaf, dan hukum lain yang secara tidak langsung didasarkan pada al-Qur’an. Al-Qur’an telah menetapkan secara terinci bagian-bagian tertentu yang harus diberikan kepada para ahli waris.
Tidak sulit untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut secara adil apabila diterapkan terhadap benda-benda bergerak. Namun, jika diterapkan pada tanah pertanian atau modal industri, maka akibatnya secara ekonomi akan mengganggu dan merusak kondisi yang ada. Begitu juga dengan wakaf-wakaf keluarga yang bersifat tetap ternyata menjadi sebab timbulnya banyak kejahatan moral dan kerugian di bidang ekonomi.
Karena itu, timbul agitasi yang gencar di berbagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam untuk menuntut dihapusnya pelaksanaan wakaf-wakaf keluarga semacam ini. Sebenarnya, pengenalan hukum Barat di negara-negara Islam tidak dicapai tanpa kesulitan. Di Turki, misalnya, penjara dibangun sebagai kurungan bersama. Penghuninya merupakan para narapidana yang tidak diwajibkan bekerja.
Karena itu, ketika mereka mengambil Undang-Undang Hukum Pidana Italia yang antara lain menentukan kurungan sendirian (para tahanan dikurung sendiri-sendiri) dan hukum kerja paksa, maka dua ketentuan ini tak dapat dilaksanakan sampai dibangunnya penjara baru yang sesuai dengan tujuan. Permasalahan timbul di negara-negara lain dengan adanya dua macam hukum yang sama-sama berlaku dan berinteraksi, yakni hukum Barat dan hukum Islam.
Hukum Barat telah berhasil diasimilasi di berbagai daerah Islam. Jika pada mulanya mereka terusik dan terganggu, namun pada masa berikutnya terjadi kesesuaian dengan temperamen penduduk muslim. Penentangan disuarakan terhadap pengenalan hukum Barat oleh para ahli hukum Islam, namun ini tidak cukup kuat untuk menjadi rintangan yang berarti. Secara umum, setiap orang memiliki pendirian, lebih baik membiarkan syariah berjalan dengan damai daripada mengadakan pembedahan terhadap prinsip-prinsipnya secara radikal seperti dikehendaki kondisi modern.
Baca Juga: Integrasi Hukum dan Politik pada Masa Dinasti Abbasiyah
Sebaliknya, hukum keluarga selalu menjadi tempat syariah yang aman dan kokoh. Salah satu contoh dari kecenderungan untuk memerkokoh kedudukan syariah dalam cagar tradisionalnya (hukum keluarga) ini ialah Undang-Undang syariah India tahun 1937. Undang-undang ini mempertegas syariah sebagai hukum yang mendasar bagi seluruh orang Islam di India dalam hal hukum perorangan (termasuk hukum waris, hibah dan wakaf).
Tujuannya adalah hendak menghapus praktik-praktik adat yang bertentangan dengan syariah yang berlaku di masyarakat muslim tertentu. Standar dan lembaga hukum yang datang dari Barat memunculkan daya dorong bagi suatu pembaruan dalam bidang hukum keluarga. Pada awalnya, ini membuahkan jarak antara kebutuhan masyarakat dan hukum. Dampak lainnya adalah diambilnya Undang-undang Perdata dan Pidana Barat.
Turki memandang bahwa satu-satunya jalan untuk menembus kebuntuan ini ialah dengan menyingkirkan syariah dan sebagai gantinya, memungut hukum keluarga Swiss pada tahun 1927. Namun, tidak ada negara Islam lain yang mengikuti pola ini. Dengan tekad hendak mempertahankan pengaruh hukum agama, maka dicari dan ditemukan piranti-piranti hukum. Dengan piranti-piranti ini, doktrin syariah pun bisa disesuaikan dengan kehidupan modern. Hanya sedikit negara saja yang tidak terlibat dalam perkembangan ini.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Ketegangan Hukum dan Politik pada Masa Dinasti Abbasiyah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Hukum Islam pada Masa Modern"
Posting Komentar