Pengertian Ibadah dalam Hukum Islam
fikriamiruddin.com - Dalam bahasa Arab, kata ibadah berasal dari tiga huruf, yakni ‘ain, ba’ dan dal. Dari ketiga huruf ini kemudian terlahir makna di antaranya pengabdian, penyembahan, ketaatan, merendahkan diri dan doa. Makna-makna ini menunjukkan sikap dan perbuatan dari pihak paling rendah kepada pihak paling tinggi. Pihak paling rendah ini berada dalam kekuasaan pihak paling tinggi. Inilah gambaran dari kedudukan manusia dan makhluk lainnya yang berada dalam kekuasaan Allah Tuhan Semesta Alam.
Oleh karena itu, sangat tidak wajar apabila manusia tidak tunduk dan patuh kepada Allah, sesungguhnya Allah tidak membutuhkan kepatuhan dan pengabdian manusia, justru manusia yang membutuhkan kepatuhan dan pengabdian tersebut. Menurut hukum Islam, ibadah dibagi ke dalam dua bentuk. Bentuk pertama adalah ibadah dalam pengertian yang luas. Dalam hal ini, sikap dan tindakan manusia ditujukan untuk tunduk kepada Allah Swt.
Boleh jadi, manusia berhubungan dengan sesama manusia, namun, hubungan ini dimaksudkan sebagai ibadah kepada Allah Swt. Hubungan tersebut tidak ditujukan untuk kemaksiatan atau kebencian, justru untuk saling kerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan. Seseorang yang bekerja keras demi mendapatkan hasil yang halal dapat dikatakan beribadah kepada Allah dalam pengertian yang luas.
Makan dan minum tidak bernilai ibadah, apabila dimaksudkan untuk menghasilkan energi semata. Jika energi ini untuk aktivitas kebaikan, maka makan dan minum dinilai ibadah. Sebaliknya, makan dan minum menjadi maksiat, apabila energinya dimanfaatkan untuk kegiatan yang dilarang oleh Allah Swt.
Baca Juga: Pengertian Hukum Islam Menurut Para Ahli
Ibadah secara luas sulit diketahui. Ada lima syarat agar perbuatan dan perkataan seseorang dapat dinilai ibadah. Pertama, tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kedua, dilandasi dengan niat yang suci dan ikhlas. Ketiga, membawa kebaikan. Keempat, tidak mengandung kerusakan dan bahaya. Kelima, tidak menghalangi kewajiban agama. Maka dari itu, hukum Islam yang memandang perbuatan yang tampak tidak bisa menerima pengertian ibadah secara luas.
Hukum Islam hanya mengakui ibadah dalam bentuk kedua, yakni dalam pengertian yang sempit. Dalam pengertian yang sempit, hukum Islam menunjuk pada perbuatan ritual sebagai ibadah. Perbuatan ini murni ditujukan kepada Allah Swt. Dalam artian, tidak ada tujuan lain selain Allah, jika ada tujuan selain Allah, maka tujuan ini akan merusak ibadah. Inilah yang kemudian menjerumuskan seseorang pada kemusyrikan.
Dikarenakan pentingnya tujuan dalam beribadah, para ulama mazhab Syafi’i menjadikan niat sebagai syaratnya ibadah. Tanpa niat saja, ibadah dianggap tidak sah, apalagi dengan niat yang salah, tentu hal ini akan membuat rusaknya ibadah. Ulama mazhab Hanafi juga memperhatikan niat dalam ibadah. Hanya saja, mereka menilai niat sebagai penyempurna ibadah, bukan sebagai syarat.
Dalam artian, ibadah yang dilaksanakan tanpa niat tetap dinilai sah. Namun, pelaksanaan ini belum sempurna dikatakan sebagai ibadah, dikarenakan tujuannya belum dimurnikan semata-mata untuk Allah. Orang yang meninggalkan makan, minum, dan berhubungan seks sejak waktu sahur hingga terbenamnya matahari dapat pula dikatakan puasa atau bukan puasa. Boleh jadi, orang yang melakukan ini dimaksudkan untuk diet.
Sebagaimana puasa, gerakan shalat juga bisa dimaksudkan untuk ibadah atau untuk meditasi. Pergi haji pun juga bisa dimaksudkan sebagai wisata. Tanpa niat, sulit membedakan mandi sunnah Jum’at dan mandi biasa. Selain niat yang ikhlas, ibadah harus dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Jadi, niat ikhlas saja tidak cukup untuk diterimanya ibadah.
Baca Juga: Pengertian Fikih Menurut Para Ahli dalam Islam
Hampir semua ibadah telah ditentukan petunjuk teknisnya oleh Rasulullah Saw. Petunjuk ini tidak saja dengan sabda, namun Rasulullah sering memberikan dan menjadi contoh yang diamati oleh para sahabat. Dari laporan para sahabat ini, ulama menetapkan kategori ibadah dan tata cara pelaksanaannya.
Tata ibadah dalam petunjuk al-Qur’an tidak rinci sebagaimana petunjuk Sunnah Rasullullah Saw. Dalam menjelaskan ibadah, Rasulullah Saw mengemukakan juga keutamaan masing-masing ibadah, disamping tata cara pelaksanaannya. Namun, semua penjelasan Rasulullah Saw diterima oleh sahabat yang berbeda. Dalam suatu waktu, ada sahabat yang menyaksikan dan ada yang tidak hadir.
Di lain waktu, sahabat yang tidak hadir menyaksikan, sedangkan sahabat yang semula hadir tidak menyaksikan. Perbedaan penerimaan ini kemudian menjadikan salah satu sebab perbedaan ulama dalam menjelaskan hukum ibadah. Apapun perbedaan ulama mengenai ibadah, tetap harus memiliki dasar yang bersumber dari Rasulullah Saw. Ibadah tanpa dasar tidak boleh dilaksanakan.
Dalam suatu kaidah Fikih, “Pada dasarnya, hukum pelaksanaan ibadah itu haram hingga ada dasar yang memperbolehkannya”. Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pengertian Syari’ah Menurut Para Ahli dalam Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Oleh karena itu, sangat tidak wajar apabila manusia tidak tunduk dan patuh kepada Allah, sesungguhnya Allah tidak membutuhkan kepatuhan dan pengabdian manusia, justru manusia yang membutuhkan kepatuhan dan pengabdian tersebut. Menurut hukum Islam, ibadah dibagi ke dalam dua bentuk. Bentuk pertama adalah ibadah dalam pengertian yang luas. Dalam hal ini, sikap dan tindakan manusia ditujukan untuk tunduk kepada Allah Swt.
Boleh jadi, manusia berhubungan dengan sesama manusia, namun, hubungan ini dimaksudkan sebagai ibadah kepada Allah Swt. Hubungan tersebut tidak ditujukan untuk kemaksiatan atau kebencian, justru untuk saling kerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan. Seseorang yang bekerja keras demi mendapatkan hasil yang halal dapat dikatakan beribadah kepada Allah dalam pengertian yang luas.
Makan dan minum tidak bernilai ibadah, apabila dimaksudkan untuk menghasilkan energi semata. Jika energi ini untuk aktivitas kebaikan, maka makan dan minum dinilai ibadah. Sebaliknya, makan dan minum menjadi maksiat, apabila energinya dimanfaatkan untuk kegiatan yang dilarang oleh Allah Swt.
Baca Juga: Pengertian Hukum Islam Menurut Para Ahli
Ibadah secara luas sulit diketahui. Ada lima syarat agar perbuatan dan perkataan seseorang dapat dinilai ibadah. Pertama, tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kedua, dilandasi dengan niat yang suci dan ikhlas. Ketiga, membawa kebaikan. Keempat, tidak mengandung kerusakan dan bahaya. Kelima, tidak menghalangi kewajiban agama. Maka dari itu, hukum Islam yang memandang perbuatan yang tampak tidak bisa menerima pengertian ibadah secara luas.
Hukum Islam hanya mengakui ibadah dalam bentuk kedua, yakni dalam pengertian yang sempit. Dalam pengertian yang sempit, hukum Islam menunjuk pada perbuatan ritual sebagai ibadah. Perbuatan ini murni ditujukan kepada Allah Swt. Dalam artian, tidak ada tujuan lain selain Allah, jika ada tujuan selain Allah, maka tujuan ini akan merusak ibadah. Inilah yang kemudian menjerumuskan seseorang pada kemusyrikan.
Dikarenakan pentingnya tujuan dalam beribadah, para ulama mazhab Syafi’i menjadikan niat sebagai syaratnya ibadah. Tanpa niat saja, ibadah dianggap tidak sah, apalagi dengan niat yang salah, tentu hal ini akan membuat rusaknya ibadah. Ulama mazhab Hanafi juga memperhatikan niat dalam ibadah. Hanya saja, mereka menilai niat sebagai penyempurna ibadah, bukan sebagai syarat.
Dalam artian, ibadah yang dilaksanakan tanpa niat tetap dinilai sah. Namun, pelaksanaan ini belum sempurna dikatakan sebagai ibadah, dikarenakan tujuannya belum dimurnikan semata-mata untuk Allah. Orang yang meninggalkan makan, minum, dan berhubungan seks sejak waktu sahur hingga terbenamnya matahari dapat pula dikatakan puasa atau bukan puasa. Boleh jadi, orang yang melakukan ini dimaksudkan untuk diet.
Sebagaimana puasa, gerakan shalat juga bisa dimaksudkan untuk ibadah atau untuk meditasi. Pergi haji pun juga bisa dimaksudkan sebagai wisata. Tanpa niat, sulit membedakan mandi sunnah Jum’at dan mandi biasa. Selain niat yang ikhlas, ibadah harus dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Jadi, niat ikhlas saja tidak cukup untuk diterimanya ibadah.
Baca Juga: Pengertian Fikih Menurut Para Ahli dalam Islam
Hampir semua ibadah telah ditentukan petunjuk teknisnya oleh Rasulullah Saw. Petunjuk ini tidak saja dengan sabda, namun Rasulullah sering memberikan dan menjadi contoh yang diamati oleh para sahabat. Dari laporan para sahabat ini, ulama menetapkan kategori ibadah dan tata cara pelaksanaannya.
Tata ibadah dalam petunjuk al-Qur’an tidak rinci sebagaimana petunjuk Sunnah Rasullullah Saw. Dalam menjelaskan ibadah, Rasulullah Saw mengemukakan juga keutamaan masing-masing ibadah, disamping tata cara pelaksanaannya. Namun, semua penjelasan Rasulullah Saw diterima oleh sahabat yang berbeda. Dalam suatu waktu, ada sahabat yang menyaksikan dan ada yang tidak hadir.
Di lain waktu, sahabat yang tidak hadir menyaksikan, sedangkan sahabat yang semula hadir tidak menyaksikan. Perbedaan penerimaan ini kemudian menjadikan salah satu sebab perbedaan ulama dalam menjelaskan hukum ibadah. Apapun perbedaan ulama mengenai ibadah, tetap harus memiliki dasar yang bersumber dari Rasulullah Saw. Ibadah tanpa dasar tidak boleh dilaksanakan.
Dalam suatu kaidah Fikih, “Pada dasarnya, hukum pelaksanaan ibadah itu haram hingga ada dasar yang memperbolehkannya”. Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pengertian Syari’ah Menurut Para Ahli dalam Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Pengertian Ibadah dalam Hukum Islam"
Posting Komentar