Pengertian Hukum Islam Menurut Para Ahli
fikriamiruddin.com - Menurut bahasa, “hukm” berarti halangan, keputusan dan pemisahan. Kata ini kemudian berkembang hingga menjadi hukum dan hikmah. Keduanya berfungsi sama, yakni menghalangi seseorang untuk berbuat jahat dan memisahkan hal yang benar dan salah; serta memberikan keputusan untuk suatu persoalan. Hukum menggunakan pendekatan legal-formal, sedangkan hikmah dengan pendekatan kultur-substansial.
Menurut istilah, hukum didefinisikan secara berbeda oleh Ulama Sunni dan Mu’tazilah. Bagi para ulama Sunni, hukum adalah titah atau perintah Allah yang ditujukan kepada orang yang berakal dan dewasa dalam bentuk tuntunan, pilihan, atau terkait dengan sebab, syarat dan penghalang hukum.
Sedangkan menurut ulama Mu’tazilah, hukum adalah sesuatu yang ditetapkan oleh Allah dalam bentuk perbuatan yang sesuai dengan apa yang ada dalam sifat akal, karena teks al-Qur’an dan Sunnah berfungsi sebagai pembuka rahasia hukum dan akal bebas untuk mendapatkannya. Dalam konsepsi Barat, hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur manusia itu sendiri. Kata “hukum Islam” tidak ditemukan sama sekali dalam al-Qur’an, Sunnah, dan literatur hukum dalam Islam.
Namun, yang terdapat dalam al-Qur’an adalah kata syari’ah, fiqh, hukum Allah, dan yang seakar dengannya. Kata “hukum Islam” merupakan terjemahan dari term “Islamic law” dari literatur Barat. Hasbi Ash Shiddieqy, memberikan definisi hukum Islam, yakni “koleksi daya upaya para pakar Fikih dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”.
Baca Juga: Pengertian Fikih Menurut Para Ahli dalam Islam
Untuk lebih jauh memahami penjelasan mengenai hukum Islam, alangkah baiknya kita ketahui terlebih dahulu arti kata “hukum”. Agar mudah dipahami, definisi yang diambil oleh Muhammad Muslehuddin dari Oxford English Dictionary perlu diungkapkan. Menurut pendapatnya hukum adalah sekumpulan aturan, baik yang berasal dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai aturan yang mengikat bagi anggotanya.
Apabila hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum Islam berarti “Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah mengenai tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”. Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa hukum Islam mencakup hukum Syari’ah dan hukum Fikih, sebab arti keduanya terkandung di dalamnya.
Penting untuk diketahui bahwa karakter utama suatu hukum adalah mengikat anggotanya. Jika tidak ada ikatannya, maka tidak bisa dikatakan sebagai hukum. Ikatan suatu hukum adalah pemberlakuan sanksi atas orang yang melanggar. Tentu saja sanksi ini bersifat legal yang dalam hadis dinyatakan dengan bihaqq al-Islam. Maka dari itu, hukum Islam berarti peraturan perundang-undangan Islam.
Dalam bahasa Arab, peraturan perundang-undangan diistilahkan dengan al-Qanun. Dalam Mu’jam al-Washith disebutkan, Qanun adalah setiap perkara yang bersifat menyeluruh dan relevan dengan seluruh bagian-bagiannya. Dari perkara ini, hukum dari bagian-bagiannya dapat diketahui. Definisi yang lain mengungkapkan, bahwa Qanun adalah kaidah integral yang membawahi hukum-hukum yang parsial.
Jadi, Qanun adalah seperangkat hukum yang dibuat manusia untuk mengatur persoalan hidup mereka dan mengatur hubungan mereka satu sama lain, baik individu maupun masyarakat, atau antar negara. Ketika Qanun dipadukan dengan syariat Islam, maka ia melibatkan al-Qur’an dan Sunnah dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Keterlibatan al-Qur’an dan Sunnah dapat berbentuk dua hal.
Baca Juga: Pengertian Syari’ah Menurut Para Ahli dalam Islam
Pertama, peraturan perundang-undangan menyesuaikan dan menyamakan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam hal ini, semua ketetapan hukum, sanksi, bahkan hukum acaranya yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan mengikuti persis dengan al-Qur’an dan Sunnah. Kondisi ini dapat berlaku di negara Islam yang menerapkan hukum Islam secara tekstual. Menurut hukum ini, korupsi yang memenuhi standar nishab akan diberi sanksi potong tangan.
Selain itu, pelaku minum-minuman keras akan didera sebanyak 70 kali dan seterusnya. Kedua, rumusan peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan al-Qur’an dan Sunnah, meski cara penerapannya tidak sama. Dalam bentuk ini, tujuan syari’ah dirumuskan terlebih dahulu, kemudian merumuskan hukum yang mengarah pada tujuan tersebut.
Tujuan syari’ah adalah kemaslahatan, yakni ketertiban, ketentraman, dan kesejahteraan masyarakat. Rumusan hukum bisa tidak sama dengan klausul syari’ah, namun ia dinilai mampu membuat ketertiban dan ketentraman masyarakat. Pelaku maksiat dapat diancam sanksi penjara dan denda apabila hal ini mampu menggaapai tujuan syari’ah.
Berdasarkan dua bentuk di atas, peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak dapat dinyatakan sebagai hukum Islam menurut bentuk yang pertama. Proses pembuatannya tidak melalui syari’ah terlebih dahulu. Peraturan perundang-undangan tersebut dibuat oleh manusia dan mengikuti peraturan perundang-undangan Barat yang dipengaruhi oleh undang-undang Romawi.
Padahal, antara hukum Islam dan undang-undang Romawi sangat berbeda, baik pertumbuhan, sumber, filsafat, tujuan, maupun sistemnya. Bentuk kedua, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dapat dinyatakan sebagai hukum Islam. meskipun dibuat oleh manusia, peraturan perundang-undangan tersebut terbukti membuat ketentraman, keamanan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Hampir semua rumusannya tidak bertentangan dengan tujuan syari’ah tersebut. Tidak ada pasal yang membiarkan kemaksiatan, kejahatan dan kerusakan. Hanya saja, pelaksanaan dan penegakan hukumnya masih perlu dibenahi. Inilah pentingnya politik hukum yang melibatkan kekuasaan dalam pelaksanaan hukum.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Studi Hukum Islam Sebagai Muara Ilmu Keislaman. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Menurut istilah, hukum didefinisikan secara berbeda oleh Ulama Sunni dan Mu’tazilah. Bagi para ulama Sunni, hukum adalah titah atau perintah Allah yang ditujukan kepada orang yang berakal dan dewasa dalam bentuk tuntunan, pilihan, atau terkait dengan sebab, syarat dan penghalang hukum.
Sedangkan menurut ulama Mu’tazilah, hukum adalah sesuatu yang ditetapkan oleh Allah dalam bentuk perbuatan yang sesuai dengan apa yang ada dalam sifat akal, karena teks al-Qur’an dan Sunnah berfungsi sebagai pembuka rahasia hukum dan akal bebas untuk mendapatkannya. Dalam konsepsi Barat, hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur manusia itu sendiri. Kata “hukum Islam” tidak ditemukan sama sekali dalam al-Qur’an, Sunnah, dan literatur hukum dalam Islam.
Namun, yang terdapat dalam al-Qur’an adalah kata syari’ah, fiqh, hukum Allah, dan yang seakar dengannya. Kata “hukum Islam” merupakan terjemahan dari term “Islamic law” dari literatur Barat. Hasbi Ash Shiddieqy, memberikan definisi hukum Islam, yakni “koleksi daya upaya para pakar Fikih dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”.
Baca Juga: Pengertian Fikih Menurut Para Ahli dalam Islam
Untuk lebih jauh memahami penjelasan mengenai hukum Islam, alangkah baiknya kita ketahui terlebih dahulu arti kata “hukum”. Agar mudah dipahami, definisi yang diambil oleh Muhammad Muslehuddin dari Oxford English Dictionary perlu diungkapkan. Menurut pendapatnya hukum adalah sekumpulan aturan, baik yang berasal dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai aturan yang mengikat bagi anggotanya.
Apabila hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum Islam berarti “Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah mengenai tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”. Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa hukum Islam mencakup hukum Syari’ah dan hukum Fikih, sebab arti keduanya terkandung di dalamnya.
Penting untuk diketahui bahwa karakter utama suatu hukum adalah mengikat anggotanya. Jika tidak ada ikatannya, maka tidak bisa dikatakan sebagai hukum. Ikatan suatu hukum adalah pemberlakuan sanksi atas orang yang melanggar. Tentu saja sanksi ini bersifat legal yang dalam hadis dinyatakan dengan bihaqq al-Islam. Maka dari itu, hukum Islam berarti peraturan perundang-undangan Islam.
Dalam bahasa Arab, peraturan perundang-undangan diistilahkan dengan al-Qanun. Dalam Mu’jam al-Washith disebutkan, Qanun adalah setiap perkara yang bersifat menyeluruh dan relevan dengan seluruh bagian-bagiannya. Dari perkara ini, hukum dari bagian-bagiannya dapat diketahui. Definisi yang lain mengungkapkan, bahwa Qanun adalah kaidah integral yang membawahi hukum-hukum yang parsial.
Jadi, Qanun adalah seperangkat hukum yang dibuat manusia untuk mengatur persoalan hidup mereka dan mengatur hubungan mereka satu sama lain, baik individu maupun masyarakat, atau antar negara. Ketika Qanun dipadukan dengan syariat Islam, maka ia melibatkan al-Qur’an dan Sunnah dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Keterlibatan al-Qur’an dan Sunnah dapat berbentuk dua hal.
Baca Juga: Pengertian Syari’ah Menurut Para Ahli dalam Islam
Pertama, peraturan perundang-undangan menyesuaikan dan menyamakan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam hal ini, semua ketetapan hukum, sanksi, bahkan hukum acaranya yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan mengikuti persis dengan al-Qur’an dan Sunnah. Kondisi ini dapat berlaku di negara Islam yang menerapkan hukum Islam secara tekstual. Menurut hukum ini, korupsi yang memenuhi standar nishab akan diberi sanksi potong tangan.
Selain itu, pelaku minum-minuman keras akan didera sebanyak 70 kali dan seterusnya. Kedua, rumusan peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan al-Qur’an dan Sunnah, meski cara penerapannya tidak sama. Dalam bentuk ini, tujuan syari’ah dirumuskan terlebih dahulu, kemudian merumuskan hukum yang mengarah pada tujuan tersebut.
Tujuan syari’ah adalah kemaslahatan, yakni ketertiban, ketentraman, dan kesejahteraan masyarakat. Rumusan hukum bisa tidak sama dengan klausul syari’ah, namun ia dinilai mampu membuat ketertiban dan ketentraman masyarakat. Pelaku maksiat dapat diancam sanksi penjara dan denda apabila hal ini mampu menggaapai tujuan syari’ah.
Berdasarkan dua bentuk di atas, peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak dapat dinyatakan sebagai hukum Islam menurut bentuk yang pertama. Proses pembuatannya tidak melalui syari’ah terlebih dahulu. Peraturan perundang-undangan tersebut dibuat oleh manusia dan mengikuti peraturan perundang-undangan Barat yang dipengaruhi oleh undang-undang Romawi.
Padahal, antara hukum Islam dan undang-undang Romawi sangat berbeda, baik pertumbuhan, sumber, filsafat, tujuan, maupun sistemnya. Bentuk kedua, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dapat dinyatakan sebagai hukum Islam. meskipun dibuat oleh manusia, peraturan perundang-undangan tersebut terbukti membuat ketentraman, keamanan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Hampir semua rumusannya tidak bertentangan dengan tujuan syari’ah tersebut. Tidak ada pasal yang membiarkan kemaksiatan, kejahatan dan kerusakan. Hanya saja, pelaksanaan dan penegakan hukumnya masih perlu dibenahi. Inilah pentingnya politik hukum yang melibatkan kekuasaan dalam pelaksanaan hukum.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Studi Hukum Islam Sebagai Muara Ilmu Keislaman. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Pengertian Hukum Islam Menurut Para Ahli"
Posting Komentar