Akal di Atas Wahyu dan Setiap Pemikir Bisa Benar
fikriamiruddin.com - Asumsi dasar peranan akal adalah kesejarahan manusia. Hukum Islam tidak diam, melainkan bergerak secara terus menerus. Gerakan hukum Islam ini seiring dengan perubahan sosial masyarakat. Peranan penting dalam perubahan sosial adalah akal manusia. Oleh karena itu, peradaban manusia tidak sama dari generasi ke generasi. Peradaban di suatu kawasan berbeda dengan peradaban di kawasan lain.
Keniscayaan membawa hukum Islam untuk menggunakan peranan akal manusia lebih besar. Pesan wahyu juga mengakui peranan akal sekaligus memerintahkan manusia agar mendayagunakannya secara optimal. Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an maupun riwayat-riwayat al-Sunnah yang menegaskan peranan akal. Selain itu, wahyu pun terbatas dalam memberikan penjelasan hukum Islam secara detail.
Oleh karena itu, akal mendapatkan porsi yang lebih besar dalam mengembangkan hukum Islam. Dalam hal ini, wahyu hanya berperan sebagai prinsip moral yang teknisnya dikembangkan oleh akal. Petunjuk teknis yang disampaikan oleh wahyu harus dilihat dari sisi prinsip moralnya. Petunjuk teknis wahyu ini bisa diabaikan dan lebih memperhatikan petunjuk teknis akal selama prinsip moralnya sama.
Sanksi potong tangan yang ditegaskan al-Qur’an, misalnya, dapat diganti dengan sanksi penjara, dikarenakan kedua sanksi ini memiliki prinsip moral yang sama, yakni pemidanaan kejahatan pencurian. Selain petunjuk teknis, akal juga memiliki hukum logika dalam menemukan kebenaran hukum. Setidaknya, terdapat empat teori kebenaran akal, yakni korespondensi, koherensi, pragmatisme, dan performatif.
Baca Juga: Wahyu di Atas Akal: Kebenaran Sejati Hanya Satu
Teori korespondensi menyatakan bahwa sesuatu itu dianggap benar apabila sesuai dengan fakta atau realitas. Teori koherensi justru melihat kebenaran dari konsistensi suatu pernyataan dengan kebenaran sebelumnya. Teori pragmatisme memandang kemanfaatan sebagai ukuran kebenaran. Semakin banyak nilai manfaat dan semakin banyak orang yang merasakan manfaat tersebut, semakin tinggi nilai kebenarannya.
Teori performatif berasumsi bahwa suatu pernyataan itu menciptakan realitas. Teori-teori kebenaran di atas, sebenarnya, telah dikembangkan oleh para pakar hukum Islam sebagai metode pengambilan keputusan hukum. Metode tersebut dituangkan dalam ilmu Ushul Fikih. Mereka menggunakan metode rasional untuk menjawab kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Kaum rasionalis justru memandang konsep hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak terlepas dari sejarah peradaban manusia. Bagi mereka, hukum wahyu harus dikonstruksi oleh akal, karena hukum wahyu diturunkan sesuai dengan kondisi peradaban manusia zaman Nabi Saw. Dengan latar budaya masyarakat Arab, atau pada masa yang berbeda peradabannya dengan masa Nabi Saw, maka terjadi ketegangan antara hukum dengan realitas sosial.
Akibatnya, ketertiban masyarakat atau kemaslahatan umat Islam sebagai tujuan hukum Islam akan sulit tercapai. Dengan asumsi ini, kaum rasionalis meyakini kebaikan dan keutamaan akal. Mereka percaya, bahwa hukum Islam yang didasarkan pada akal lebih baik daripada dasar wahyu secara tekstual. Hukum Islam rasionalis lebih akomodatif dengan perkembangan zaman, sehingga hukum Islam dapat relevan untuk masa apapun dan pada kawasan manapun.
Bagi mereka, terdapat perbedaan antara istilah praktek hukum Islam yang “sama dengan praktek” Nabi Saw. Dengan praktek yang “tidak bertentangan” dengan praktek Nabi Saw. Istilah “sama” berbeda dengan istilah “tidak bertentangan”. Kata kunci ini untuk membedakan pandangan kaum rasionalis dan kaum literalis. Sebagai ilustrasi, bentuk empat persegi panjang pasti “tidak sama” dan “bertentangan” dengan bentuk lingkaran.
Baca Juga: Pengertian Mu’amalah dalam Hukum Islam
Bentuk empat persegi panjang juga “tidak sama” dengan bentuk diamond atau bujur sangkar, namun ketiganya “tidak bertentangan” satu sama lain, dikarenakan memiliki prinsip empat sudut. Dari ilustrasi ini, orang yang makan dengan sendok dan garpu tidak sama dengan cara makan dengan tangan sebagaimana praktek Nabi Saw. Namun, secara prinsip, kedua cara makan ini tidak bertentangan.
Zakat fitrah dengan uang tidak dikenal pada zaman Nabi, namun diperbolehkan oleh Madzhab Hanafi, dikarenakan tidak bertentangan dengan zakat fitrah yang pada dasarnya bisa dimanfaatkan untuk memenuhi makanan pokok. Dengan pemikiran ini, kaum rasionalis sulit dikenali, mengingat mereka tidak menggunakan atribut keagamaan yang menonjol. Kehidupan mereka membaur dengan masyarakat yang lain (inklusif).
Cita-cita mereka bukan menegakkan hukum Islam secara formalitas, melainkan penerimaan masyarakat pada hukum Islam. Bukan masyarakat yang mengikuti al-Qur’an dan Sunnah, melainkan sebaliknya, hukum al-Qur’an dan Sunnah yang mengikuti perkembangan masyarakat. Boleh untuk saat ini belum tentu boleh di kemudian hari.
Pemikiran kaum rasionalis di atas, tidak lepas dari kelemahan, di antara kelemahannya yang serius adalah relativitas kebenaran hukum. Semua orang berhak dianggap benar (kullu mujtahid mushib). Demikian ini pendapat Madzhab Hanafi, kaum Mu’tazilah dan kelompok rasionalis lainnya. Akibatnya, sulit menemukan pemikiran hukum yang kuat dan mengikat. Akibat selanjutnya adalah terkikisnya kewibawaan para pakar hukum Islam.
Umat Islam pun dibuat bingung, lantaran adanya kebebasan membuat keputusan hukum, kebebasan mempraktekkan hukum, dan kebebasan memilih rujukan hukum. Pada akhirnya, ketertiban hukum sulit dicapai. Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pengertian Ibadah dalam Hukum Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Keniscayaan membawa hukum Islam untuk menggunakan peranan akal manusia lebih besar. Pesan wahyu juga mengakui peranan akal sekaligus memerintahkan manusia agar mendayagunakannya secara optimal. Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an maupun riwayat-riwayat al-Sunnah yang menegaskan peranan akal. Selain itu, wahyu pun terbatas dalam memberikan penjelasan hukum Islam secara detail.
Oleh karena itu, akal mendapatkan porsi yang lebih besar dalam mengembangkan hukum Islam. Dalam hal ini, wahyu hanya berperan sebagai prinsip moral yang teknisnya dikembangkan oleh akal. Petunjuk teknis yang disampaikan oleh wahyu harus dilihat dari sisi prinsip moralnya. Petunjuk teknis wahyu ini bisa diabaikan dan lebih memperhatikan petunjuk teknis akal selama prinsip moralnya sama.
Sanksi potong tangan yang ditegaskan al-Qur’an, misalnya, dapat diganti dengan sanksi penjara, dikarenakan kedua sanksi ini memiliki prinsip moral yang sama, yakni pemidanaan kejahatan pencurian. Selain petunjuk teknis, akal juga memiliki hukum logika dalam menemukan kebenaran hukum. Setidaknya, terdapat empat teori kebenaran akal, yakni korespondensi, koherensi, pragmatisme, dan performatif.
Baca Juga: Wahyu di Atas Akal: Kebenaran Sejati Hanya Satu
Teori korespondensi menyatakan bahwa sesuatu itu dianggap benar apabila sesuai dengan fakta atau realitas. Teori koherensi justru melihat kebenaran dari konsistensi suatu pernyataan dengan kebenaran sebelumnya. Teori pragmatisme memandang kemanfaatan sebagai ukuran kebenaran. Semakin banyak nilai manfaat dan semakin banyak orang yang merasakan manfaat tersebut, semakin tinggi nilai kebenarannya.
Teori performatif berasumsi bahwa suatu pernyataan itu menciptakan realitas. Teori-teori kebenaran di atas, sebenarnya, telah dikembangkan oleh para pakar hukum Islam sebagai metode pengambilan keputusan hukum. Metode tersebut dituangkan dalam ilmu Ushul Fikih. Mereka menggunakan metode rasional untuk menjawab kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Kaum rasionalis justru memandang konsep hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak terlepas dari sejarah peradaban manusia. Bagi mereka, hukum wahyu harus dikonstruksi oleh akal, karena hukum wahyu diturunkan sesuai dengan kondisi peradaban manusia zaman Nabi Saw. Dengan latar budaya masyarakat Arab, atau pada masa yang berbeda peradabannya dengan masa Nabi Saw, maka terjadi ketegangan antara hukum dengan realitas sosial.
Akibatnya, ketertiban masyarakat atau kemaslahatan umat Islam sebagai tujuan hukum Islam akan sulit tercapai. Dengan asumsi ini, kaum rasionalis meyakini kebaikan dan keutamaan akal. Mereka percaya, bahwa hukum Islam yang didasarkan pada akal lebih baik daripada dasar wahyu secara tekstual. Hukum Islam rasionalis lebih akomodatif dengan perkembangan zaman, sehingga hukum Islam dapat relevan untuk masa apapun dan pada kawasan manapun.
Bagi mereka, terdapat perbedaan antara istilah praktek hukum Islam yang “sama dengan praktek” Nabi Saw. Dengan praktek yang “tidak bertentangan” dengan praktek Nabi Saw. Istilah “sama” berbeda dengan istilah “tidak bertentangan”. Kata kunci ini untuk membedakan pandangan kaum rasionalis dan kaum literalis. Sebagai ilustrasi, bentuk empat persegi panjang pasti “tidak sama” dan “bertentangan” dengan bentuk lingkaran.
Baca Juga: Pengertian Mu’amalah dalam Hukum Islam
Bentuk empat persegi panjang juga “tidak sama” dengan bentuk diamond atau bujur sangkar, namun ketiganya “tidak bertentangan” satu sama lain, dikarenakan memiliki prinsip empat sudut. Dari ilustrasi ini, orang yang makan dengan sendok dan garpu tidak sama dengan cara makan dengan tangan sebagaimana praktek Nabi Saw. Namun, secara prinsip, kedua cara makan ini tidak bertentangan.
Zakat fitrah dengan uang tidak dikenal pada zaman Nabi, namun diperbolehkan oleh Madzhab Hanafi, dikarenakan tidak bertentangan dengan zakat fitrah yang pada dasarnya bisa dimanfaatkan untuk memenuhi makanan pokok. Dengan pemikiran ini, kaum rasionalis sulit dikenali, mengingat mereka tidak menggunakan atribut keagamaan yang menonjol. Kehidupan mereka membaur dengan masyarakat yang lain (inklusif).
Cita-cita mereka bukan menegakkan hukum Islam secara formalitas, melainkan penerimaan masyarakat pada hukum Islam. Bukan masyarakat yang mengikuti al-Qur’an dan Sunnah, melainkan sebaliknya, hukum al-Qur’an dan Sunnah yang mengikuti perkembangan masyarakat. Boleh untuk saat ini belum tentu boleh di kemudian hari.
Pemikiran kaum rasionalis di atas, tidak lepas dari kelemahan, di antara kelemahannya yang serius adalah relativitas kebenaran hukum. Semua orang berhak dianggap benar (kullu mujtahid mushib). Demikian ini pendapat Madzhab Hanafi, kaum Mu’tazilah dan kelompok rasionalis lainnya. Akibatnya, sulit menemukan pemikiran hukum yang kuat dan mengikat. Akibat selanjutnya adalah terkikisnya kewibawaan para pakar hukum Islam.
Umat Islam pun dibuat bingung, lantaran adanya kebebasan membuat keputusan hukum, kebebasan mempraktekkan hukum, dan kebebasan memilih rujukan hukum. Pada akhirnya, ketertiban hukum sulit dicapai. Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pengertian Ibadah dalam Hukum Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Akal di Atas Wahyu dan Setiap Pemikir Bisa Benar"
Posting Komentar