Eksistensi Filsafat dan Agama
fikriamiruddin.com - Secara historis, filsafat telah berusaha untuk mengatasi ketegangan antara kecenderungan akal untuk membentuk kerangka teoritis formal mengenai realitas kehidupan di satu pihak. Di pihak lain kenyataan mengenai realitas kehidupan dialami sebagai sesuatu yang senantiasa mengalir, berubah, tanpa bentuk yang pasti dan menyangkut sedemikian banyak aspek sekaligus.
Plato meyakini bahwasannya refleksi akal budi manusia mampu menyaring peristiwa-peristiwa nyata yang partikular dan unik dalam rangka mendapatkan idea yang inti, abadi dan universal. Fokus refleksi ini semestinya diarahkan pada persoalan “kebenaran” yang bersifat abstrak. Sedangkan Aristoteles sedikit lain prosedurnya yang inti dan universal itu tidak didapatkan terutama melalui refleksi.
Hakekat dari realitas itu terdapat dalam realitas kehidupan, dalam seluruh mobilitas dan perubahannya. Maka dari itu yang diperlukan bukanlah merenungi kebenaran pada tingkat abstrak, namun memahami hakekat gerakan dan perubahan itu saja. Tidak ada dunia abstrak ide-ide inti tersendiri. Abstraksi hanyalah prosedur cara kita memahami realitas konkret. Para filosof abad pertengahan berada di antara kedua tradisi itu, namun dengan keyakinan baru bahwa wahyu Tuhan menjamin ditemukannya inti semesta kehidupan.
Baca Juga: 9 Karakteristik Pemikiran Filsafat
Realitas pengalaman sendiri tak memungkinkan manusia sampai pada yang inti. Wahyu Tuhan akan membantu memahami realitas melalui rahmat-Nya dan penyelenggaraan-illahi-Nya sendiri. Pada tingkatan formulasi manusiawi sendiri manusia hanya akan sampai pada rumusan-rumusan negatif (teologia negativa), sebab bahasa manusia selalu terbatas. Dalam hal ini tentu saja filsafat lantas bercampur baur dengan teologi.
Penalaran akal adalah sesuatu yang sama bagi setiap orang, setiap bangsa atau tiap zaman. Berbagai paham yang akar kulturalnya berbeda sekalipun bila direnungi akan sampai pada prinsip-prinsip rasional yang sama, permanen dan universal. Maka berdasarkan “logika fakta” yang positivistik-empiristik, dikombinasikan dengan ambisi Cartesian yang rasionalistik, filsafat abad pencerahan terobsesi hendak mencari pondasi paling kokoh dan tak tergoyahkan bagi pengetahuan.
Tegangan yang semestinya dihadapi kemudian adalah di satu pihak secara “internal” subjek harus mengandalkan kemampuan logika nalarnya, di pihak lain ia memerlukan kenyataan “eksternal” juga seakurat dan sepasti mungkin melalui daya tangkap indriawinya. Tegangan antara ambisi foundationalism dan tendensi representasionalism ini berlanjut terus sejak Descartes, Locke, Kant hingga Hegel dan kemudian bermuara pada Husserl.
Persoalannya adalah bahawa proyek ontologis semacam itu de facto telah mendorong filsafat menjadi ego-logis, antroposentris dan monolitik. Akan tetapi, juga mengakibatkan sains menjadi instrumentalistik. Akibat dari ini semua adalah menguatnya sisi ideologis filsafat dan pengetahuan Barat, yang berdampak pada segala jenis pengetahuan lain dianggap non-ilmiah dan tidak valid. Eksploitasi alam besar-besaran hingga melahirkan persoalan ekologis yang cukup parah. Merupakan pola berpikir pragmatis instrumental yang menganggap sepele penalaran reflektif yang menyangkut nilai dan makna dan dengan itu melahirkan pemiskinan moralitas.
Baca Juga: Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Filsafat selalu mencoba menyelesaikan persoalan dengan mencari evidensi apodiktik atau mengacu pada kebenaran abadi. Akan tetapi, bagi Ponty kita sudah selalu mengalami kebenaran, yakni pengalaman menyatu dengan dunia tadi. Maka dari itu dengan begitu Merleau-Ponty menggeser pusat grativikasi filsafat dari kesadaran Subjek ke pengalaman kesatuan dengan dunia realitas.
Sehingga dalam hal ini semua pengetahuan kita berakar pada postulat-postulat makna yang telah muncul sepanjang sejarah. Maka dari itu filsafat perlu memanfaatkan segala khazanah makna itu sambil tetap selalu memperkarakannya dalam kaitan dengan pengalaman konkret. Dalam rangka itu misalnya, ketika kini bermunculan kesadaran baru bahwa realitas adalah jaringan hubungan-hubungan, maka dalam berfilsafat pun diperlukan metafor-metafor baru dan cara pandang baru.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Perbedaan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
Plato meyakini bahwasannya refleksi akal budi manusia mampu menyaring peristiwa-peristiwa nyata yang partikular dan unik dalam rangka mendapatkan idea yang inti, abadi dan universal. Fokus refleksi ini semestinya diarahkan pada persoalan “kebenaran” yang bersifat abstrak. Sedangkan Aristoteles sedikit lain prosedurnya yang inti dan universal itu tidak didapatkan terutama melalui refleksi.
Hakekat dari realitas itu terdapat dalam realitas kehidupan, dalam seluruh mobilitas dan perubahannya. Maka dari itu yang diperlukan bukanlah merenungi kebenaran pada tingkat abstrak, namun memahami hakekat gerakan dan perubahan itu saja. Tidak ada dunia abstrak ide-ide inti tersendiri. Abstraksi hanyalah prosedur cara kita memahami realitas konkret. Para filosof abad pertengahan berada di antara kedua tradisi itu, namun dengan keyakinan baru bahwa wahyu Tuhan menjamin ditemukannya inti semesta kehidupan.
Baca Juga: 9 Karakteristik Pemikiran Filsafat
Realitas pengalaman sendiri tak memungkinkan manusia sampai pada yang inti. Wahyu Tuhan akan membantu memahami realitas melalui rahmat-Nya dan penyelenggaraan-illahi-Nya sendiri. Pada tingkatan formulasi manusiawi sendiri manusia hanya akan sampai pada rumusan-rumusan negatif (teologia negativa), sebab bahasa manusia selalu terbatas. Dalam hal ini tentu saja filsafat lantas bercampur baur dengan teologi.
Penalaran akal adalah sesuatu yang sama bagi setiap orang, setiap bangsa atau tiap zaman. Berbagai paham yang akar kulturalnya berbeda sekalipun bila direnungi akan sampai pada prinsip-prinsip rasional yang sama, permanen dan universal. Maka berdasarkan “logika fakta” yang positivistik-empiristik, dikombinasikan dengan ambisi Cartesian yang rasionalistik, filsafat abad pencerahan terobsesi hendak mencari pondasi paling kokoh dan tak tergoyahkan bagi pengetahuan.
Tegangan yang semestinya dihadapi kemudian adalah di satu pihak secara “internal” subjek harus mengandalkan kemampuan logika nalarnya, di pihak lain ia memerlukan kenyataan “eksternal” juga seakurat dan sepasti mungkin melalui daya tangkap indriawinya. Tegangan antara ambisi foundationalism dan tendensi representasionalism ini berlanjut terus sejak Descartes, Locke, Kant hingga Hegel dan kemudian bermuara pada Husserl.
Persoalannya adalah bahawa proyek ontologis semacam itu de facto telah mendorong filsafat menjadi ego-logis, antroposentris dan monolitik. Akan tetapi, juga mengakibatkan sains menjadi instrumentalistik. Akibat dari ini semua adalah menguatnya sisi ideologis filsafat dan pengetahuan Barat, yang berdampak pada segala jenis pengetahuan lain dianggap non-ilmiah dan tidak valid. Eksploitasi alam besar-besaran hingga melahirkan persoalan ekologis yang cukup parah. Merupakan pola berpikir pragmatis instrumental yang menganggap sepele penalaran reflektif yang menyangkut nilai dan makna dan dengan itu melahirkan pemiskinan moralitas.
Baca Juga: Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Filsafat selalu mencoba menyelesaikan persoalan dengan mencari evidensi apodiktik atau mengacu pada kebenaran abadi. Akan tetapi, bagi Ponty kita sudah selalu mengalami kebenaran, yakni pengalaman menyatu dengan dunia tadi. Maka dari itu dengan begitu Merleau-Ponty menggeser pusat grativikasi filsafat dari kesadaran Subjek ke pengalaman kesatuan dengan dunia realitas.
Sehingga dalam hal ini semua pengetahuan kita berakar pada postulat-postulat makna yang telah muncul sepanjang sejarah. Maka dari itu filsafat perlu memanfaatkan segala khazanah makna itu sambil tetap selalu memperkarakannya dalam kaitan dengan pengalaman konkret. Dalam rangka itu misalnya, ketika kini bermunculan kesadaran baru bahwa realitas adalah jaringan hubungan-hubungan, maka dalam berfilsafat pun diperlukan metafor-metafor baru dan cara pandang baru.
Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Perbedaan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.
0 Response to "Eksistensi Filsafat dan Agama"
Posting Komentar