Kekerasan Simbolik dalam Dunia Pendidikan di Indonesia
Ilustrasi: popmama.com |
fikriamiruddin.com - Maraknya perkelahian antar pelajar yang marak terjadi sontak seolah menjadi cerminan dari budaya kekerasan yang terjadi dalam lingkaran masyarakat kita. Guru yang seharusnya menjadi figur orang tua di sekolah berubah menjadi sipir penjara yang tidak segan-segan memukul siswa jika tidak mengerjakan tugas. Inilah realita pendidikan di Indonesia, pendidikan yang penuh dengan budaya kekerasan di dalamnya. Namun, bukan hanya terjadi dalam bentuk kekerasan fisik saja, akan tetapi terjadi juga dalam bentuk kekerasan lain yang disebut oleh Pierre Bourdieu seorang tokoh Sosiologi Pendidikan Perancis sebagai “Kekerasan Simbolik”.
Kekerasan ini dengan sifatnya yang halus dan tidak terlihat justru menjadi kekerasan yang lebih berbahaya dari kekerasan fisik yang terlihat. Kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang dilakukan secara paksa untuk mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan atau disadari sebagai sebuah paksaan. Kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. Proses ini menurut Bourdieu dapat dicapai melalui proses inkalkulasi atau proses penanaman yang berlangsung secara terus-menerus. Bagi Bourdieu, dalam praktiknya sekolah hanya mengajarkan banyak gaya hidup atau habitus kelas atas, sementara siswa dari kelas bawah dipaksa mengikuti habitus mereka. Parahnya hal ini telah dianggap sebagai hal yang biasa di sekolah. Habitus kelas bawah hanya diberi porsi sangat sedikit dalam budaya dan nilai-nilai sosial di sekolah, seolah-olah budaya kelas bawah tidak layak disosialisasikan dan menjadi gaya hidup di sekolah.
Pendidikan bagi Bourdieu, hanyalah sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi kelas dominan. Sekolah pada dasarnya hanya menjalankan proses reproduksi budaya (cultural reproduction), sebuah mekanisme sekolah, dalam hubungannya dengan institusi lain, untuk membantu mengabadikan ketidaksetaraan ekonomi antargenerasi. Kelas dominan mempertahankan posisinya melalui apa yang disebut oleh Illich sebagai hidden curriculum, sekolah mempengaruhi sikap dan kebiasaan siswa dengan budaya kelas dominan. Misalnya, sekolah menawarkan kegiatan belajar tambahan, seperti les mata pelajaran bagi siswanya, tentu saja dalam hal ini adalah siswa yang memiliki materi lebih, sehingga mampu membayar dan ikut les tambahan. Selain dari kebijakan atau peraturan sekolah, terjadi kekerasan budaya yang lebih besar sifatnya dan justru berasal dari pemerintah melalui Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang dibagikan dan digunakan oleh banyak sekolah sebagai media pembelajaran pendidikan Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Nanang Martono dan sudah diterbitkan menjadi sebuah buku pada tahun 2012 yang berjudul “Kekerasan Simbolik di Sekolah”, menunjukan hasil yang memprihatinkan dimana 85% terdapat kekerasan simbolik di dalam Buku Sekolah Elektronik pada tingkat Sekolah Dasar (SD) baik secara bahasa maupun secara gambar.
Kelas dominan sebagai subjek, kekerasan simbolik terjadi di dalam kelas melalui buku-buku ajar yang mereka baca dan gunakan. Tanpa sadar, siswa kelas bawah menjadi korban dominasi, korban penindasan kelas atas secara simbolis. Seringkali mereka (siswa kelas bawah) tidak sadar ketika mereka sebenarnya hanya menjadi objek, menjadi bahan tontonan dan hiburan, menjadi bahan olokan dan ejekan dan menjadi objek belas kasihan kelas dominan. Penggunaan bahasa sebagai kekerasan simbolik dan didominasi kelas atas di dalam BSE tingkat SD terlihat dari penggunaan kata-kata yang terkandung di dalam buku tersebut. Nanang Martono didalam penelitiannya menyebutkan bahwa BSE Bahasa Indonesia dan IPS kelas 1 menggunakan istilah yang menyimbolkan kelas atas seperti misalnya kata “mama” untuk memanggil sosok ibu, kata “papa” untuk sosok ayah, “eyang putri” untuk menyebut nenek dan “eyang kakung” untuk menyebut kakek, yang pada umumnya lebih banyak digunakan oleh keluarga dari kalangan atas daripada kelas bawah.
Selain itu juga, bentuk dominasi kelas atas tercermin dari ilustrasi aktivitas yang menjadi contoh dan diceritakan dalam BSE. Kegiatan/aktivitas yang menjadi contoh dalam BSE terutama Bahasa Indonesia kelas 1 SD sebagian besar adalah kegiatan-kegiatan kelas atas seperti pergi ke pantai Bali, kebun binatang, kebun raya, puncak dan taman hiburan. Walaupun ada kegiatan pergi ke desa tetapi lebih diceritakan desa sebagai tempat yang terpencil, kuno dan tempat orang kota menjadi subjek yang lebih tinggi dari orang desa. Selain dari kalimat, bentuk kekerasan simbolik terlihat dari penggunaan gambar-gambar di dalam BSE tingkat SD. Di dalam BSE Bahasa Indonesia, gambar-gambar yang tertera 78,3% menggunakan gambar-gambar yang mencerminkan kelas atas dan hanya 21,7% yang menggambarkan kelas bawah. Gambar yang mayoritas digunakan di dalam BSE Bahasa Indonesia seperti: gambar rumah dan denah rumah yang memiliki garasi dan mobil di dalamnya, gambar ruangan dalam yang sehat dan bersih identik dengan adanya sofa, lukisan dinding, vas bunga, televisi, radio, kipas angin, kulkas, meja makan dan ruang belajar yang besar. Selain itu juga, gambaran mengenai kamar pribadi pun sangat dominasi kelas atas dimana mayoritas menggambarkan kamar pribadi dengan tempat tidur luas, jendela, meja belajar, dan kasur yang empuk dan nyaman. Buku BSE tersebut mengajarkan bahwa rumah sehat dan bersih harus seperti itu, rumah yang terbaik adalah memiliki garasi dan mobil dan kamar pribadi harus memiliki tempat tidur yang luas beserta perlengkapan lainnya yang tentu saja ini semua dimiliki oleh kelas atas.
Lalu, dimana anak petani, anak tukang becak, dan anak pemulung berada? Mungkin jawabannya adalah mereka “mereka berada di luar sana, jauh dari sekolah ini” atau “mereka tidak mungkin berada di ruang kelas ini, sehingga tidak perlu diceritakan”. Kehidupan orang miskin seolah-olah hanya digambarkan sebagai sebuah hiburan, tontonan, bahan cerita, dan bahan puisi. Kehidupan mereka hanyalah pelengkap dan penghias saja sebagai cerminan bahwa mereka malas, udik, kampungan, dan terpencil. Kekerasan simbolik ini yang sehari-hari menghajar dan meracuni siswa habis-habisan tanpa kita sadari. Di tengah kita mempeributkan kekerasan fisik dan kerusakan moral yang dilakukan oleh para pelajar.
Kekerasan simbolik juga terjadi di pendidikan perguruan tinggi, langsung saja penulis jelaskan sedikit mulai dari ketika Dosen datang dan masuk kelas, kelas yang semula ramai dan bising seketika menjadi sunyi dan damai. Hal ini menunjukan bahwa si pemilik modal simbolik “Dosen” menggunakan kekuatannya dan berhadapan dengan agen “Mahasiswa” yang memiliki kekuatan lebih lemah, karena itu Mahasiswa berusaha merubah tindakannya. Maka hal ini menunjukan terjadinya kekerasan sismbolik. Ketika Dosen mulai masuk kelas terlihat si Dosen membawa gadget mahal seperti laptop dan jam tangan terkenal. Sehingga membuat mahasiswa bingung dan bertanya-tanya sehingga merasa dibawah kelas dari seorang dosen. Simbol-simbol seperti ini menyampaikan pesan bahwa Dosen menempatkan diri sebagai orang kelas atas dan memegang kekuasaan atau peran penting dalam struktur kelas. Sehingga rasa minder telah berhasil memaksa mahasiswa secara efektif, ketimbang yang dapat dilakukan oleh teguran atau nasehat eksplisit dari Dosen.
Kekuasaan simbolik dan pemaknaan sistem sebagai sesuatu yang sah (legitimate). Maka, menimbulkan Mahasiswa sering merasa minder dan hormat yang berlebih terhadap Dosen sebagai pemegang kekuasaan dalam struktur kelas tersebut. Melihat kekerasan simbolik yang dilakukan Dosen sebagai sesuatu yang sah, Mahasiswa ikut terlibat dalam ketundukannya (subordination) sendiri. Perasaan minder dan hormat telah memaksa Mahasiswa secara efektif. Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategori-kategori pemikiran terhadap agen-agen sosial terdominasi (Mahasiswa), yang menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang adil. Ini merupakan penggabungan struktur tak sadar yang cenderung mengulang struktur-struktur tindakan dari pihak yang dominan (Dosen). Mahasiswa kemudian memandang posisi Dosen ini sebagai yang benar. Kekerasan simbolik dalam arti tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan memaksakan legitimasi dalam hal tatanan kelas.
Daftar Bacaan: Nanang Martono. Kekerasan Simbolik di Sekolah (Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu). Jakarta: Rajawali Pres, 2012.
0 Response to "Kekerasan Simbolik dalam Dunia Pendidikan di Indonesia"
Posting Komentar