Gunung Bekel 1238 Mdpl Sisi Lain Gunung Penanggungan Via Pos Pendakian Jolotundo
Posko Pendakian Jolotundo |
fikriamiruddin.com - Perjalanan ini diawali dari Kota Surabaya, sama seperti perjalanan sebelumnya, perjalanan ini dilakukan oleh tiga orang. Perjalanan ini kami awali pada pukul 06:00 pagi dari Surabaya kami mengambil jalur ke arah Krian lalu Mojosari baru kemudian menuju kaki Gunung Penanggungan tepatnya di Candi atau Pertitraan Jolotundo. Jolotundo dapat dikatakan sebagai tempat wisata sejarah, budaya, dan spiritual. Banyak sekali orang berbondong-bondong datang entah untuk sekedar berwisata maupun melakukan sebuah ritual. Di jolotundo ini pula terdapat sebuah pos serta jalur pendakian menuju puncak Gunung Penanggungan, Puncak Gunung Bekel, serta puncak-puncak lainnya yang konon katanya terdapat lima puncak.
Alasan kami memilih jalur pendakian Jolotundo adalah selain tidak terlalu ramai pendaki dan cenderung sepi, pada jalur pendakian ini pula terdapat banyak sekali situs-situs sejarah berupa Candi maupun peninggalan lainnya yang konon katanya merupakan bekas sisa kerajaan Majapahit. Selain itu juga jalur pendakian ini juga terkenal akan suasana mistis, percabangan jalur yang banyak, serta vegetasinya yang sangat rapat. Karena tujuan kami ke hutan dan Gunung selain untuk mencari ketenangan juga untuk mempererat hubungan kami pada Alam semesta dan tentu saja mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dari kesemuanya itu pasti nanti harapannya ketika kami pulang ke rumah masing-masing kami bisa lebih mensyukuri nikmat serta lebih berbahagia tentunya.
Setelah menempuh perjalanan dari Kota Surabaya selama kurang lebih satu jam tiga puluh menit, maka sampailah kami di kaki Gunung Penanggungan. Kemudian kami berhenti di sebuah toko kecil di pinggir jalan perkampungan untuk membeli beberapa perlengkapan dan logistik yang diperlukan dalam proses pendakian. Setelah semuanya dirasa cukup, lantas kami bergegas menuju pertitraan Jolotundo. Karena pada hari libur maka banyak sekali masyarakat yang gowes menuju Jolotundo ini. Setelah sampai kami langsung saja memarkirkan kendaraan kami di tempat yang telah disediakan. Untuk parkir roda dua di Jolotundo ini dikenakan tarif Rp. 5000 untuk satu kendaraan sekali masuk. Tidak lama berselang kami kemudian beradaptasi serta mengakrapkan diri dengan suasana sekitar. Pagi itu suasananya sedang berkabut ditambah dengan rimbunnya pepohonan yang menjulang tinggi serta semerbak aroma dupa yang harum mewangi menambah suasana sekitar seperti hidup pada jaman kerajaraan Majapahit dan membuat berangan-angan tentang kehiduapan pada jaman dahulu.
Setelah dirasa cukup untuk beradaptasi, kami kemudian menuju posko pendakian. Akan tetapi pagi itu posko pendakian sepi dan tidak ada orang sama sekali. Kemudian ada ibu-ibu yang menghampiri kami memberitahukan bahwa pendakian sedang libur atau ditutup dikarenakan cuaca sedang buruk ditambah ada beberapa jalur pendakian yang longsor dan air curah juga debit airnya cukup tinggi. Sehingga dengan nada bercanda ibu-ibu tersebut menyarankan kami untuk jangan muncak lebih baik mandi-mandi saja di Jolotundo. Tidak berhenti sampai disitu, kemudian ibu-ibu tersebut menanyakan asal kami serta perihal tujuan kami datang kesini. Setelah kami menjelaskan asal dan tujuan kami mendaki, kemudian ibu-ibu tersebut menyarankan kami untuk berhati-hati dan juga menasehati kami serta memberi pengetahuan terkait larangan, himbauan, dan tantangan yang dihadapi. Setelah sama-sama saling meyakinkan akhirnya ibu-ibu tersebut mengijinkan kami untuk ke puncak dengan catatan ketika tujuan dan hajat sudah tercapai segera turun dan menemui ibu tersebut agar beliau tidak khawatir.
Lantas kemudian kami segera mempersiapkan diri serta mengecek perlengkapan, logistik, serta perlengkapan. Ditambah juga brifing mengenai keadaan cuaca serta tantangan yang akan kami hadapi dan solusi yang ditawarkan jika hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Setelah semuanya siap ibu-ibu tersebut kembali mendatangi kami dan menanyakan berani atau tidak? Kemudian kami serentak menjawab berani dikarenakan tekad kami sudah bulat dan sudah terplanning dengan rapi. Pada saat berpamitan mau naik, ibu-ibu tersebut berkata pada kami bahwa karcis pendakian habis dan belum dicetak ulang, ditambah tidak ada pemberitahuan dari pihak pengelola tentang tutup atau bukanya kegiatan pendakian. Akan tetapi kami tetap diijinkan naik dengan diberikan fotocopy peta jalur pendakian. Dan ibu-ibu tersebut kembali menyarankan apabila bertemu petugas di atas dan ditanya terkait karcis bilang saja habis dan hanya diberi peta jalur pendakian saja. Dan apabila pada akhirnya disuruh untuk turun kembali, ibu-ibu tersebut menyarankan untuk turun saja agar tidak rame dan tidak berbuntut panjang.
Selesai berpamitan kami lantas berdo’a agar diberikan kesehatan, kekuatan, keselamatan, serta terhindar dari rintangan, halangan, dan marabahaya apapun. Tidak lama berselang kami mulai berjalan naik dengan mengikuti peta jalur yang sudah diberikan kepada kami. Seperti dugaan kami jalur pendakian ini sangat sepi dan sunyi sehingga kami tidak berpapasan dengan seorang pendaki pun. Jalur ini diawali dengan melewati perkebunan warga sehingga jika beruntung akan bertemu beberapa warga yang sedang berladang. Oh ya sebenarnya untuk mencapai puncak Gunung Bekel sebenarnya terdapat dua jalur, jalur yang pertama yaitu melalui Candi Kama. Yang kedua melalui Candi Pura. Akan tetapi menurut penuturan warga dan informasi yang kami terima, untuk jalur yang melalui Candi Kama tersebut jalurnya sedikit hilang karena jarang dilalui para pendaki, ditambah juga ada informasi bahwasannya daerah jalur melalui Candi Kama tersebut baru saja terjadi longsor.
Peta Jalur Pendakian Via Jolotundo |
Sehingga kemudian kami memutuskan untuk memilih jalur melalui Candi Pura, selain karena jalurnya sudah jelas, jalur ini pun searah menuju Puncak Gunung Penanggungan. Jalur yang kami lewati ini juga akan menemui beberapa situs sejarah seperti halnya Candi Bayi, Candi Putri, Candi Pura, dan Candi Naga. Baru kemudian dapat sampai di Puncak Gunung Bekel yang beberapa masyarakat menyebutnya Candi Bekel. Setelah berjalan kurang lebih 40 menit sampailah kami di Candi Bayi. Di sekitar Candi Bayi ini terdapat tanah lapang yang lumayan luas sehingga cocok sebagai tempat ngecamp (berkemah) ditambah view pemandangan alam sekitar yang sangat pemanjakan indriawi. Benar saja di Candi Bayi ini kami bertemu dengan beberapa pendaki yang sedang ngecamp. Setelah bertegur sapa kami lantas istirahat sejenak, tidak lama berselang kami langsung melanjutkan perjalanan. Setelah melewati Candi Bayi kita akan menemukan sebuah curah yang bernama watu talang, dan untuk melanjutkan perjalanan kami harus menyebrang curah watu talang tersebut. Menurut penuturan warga sekitar jika curah sedang banjir dan airnya deras kita disarankan untuk tidak menyebrang alias menunggu sampai debit airnya mengecil.
Situs Candi Bayi |
Setelah berjalan melewati curah sekitar kurang lebih 22 menit sampailah kami di Candi Putri, di Candi Putri ini kami bertemu satu rombongan pendaki yang menuturkan bahwa mereka melewati jalur pos pendakian Kedungudi. Dan ketika kami lama mengobrol tujuan mereka mendaki adalah untuk melihat dan mengenal situs-situs sejarah yang ada di sepanjang jalur pendakian. Setelah puas mengobrol kami bergegas melanjutkan perjalanan terlebih dahulu, tidak lama berselang kami menemui percabangan jalur yang lurus dan belok ke kiri. Lalu kami memutuskan untuk berhenti, dan mensiasati satu orang tetap berada di percabangan jalur dan dua orang lainnya mengecek pada kedua jalur yang bercabang tersebut. Setelah kembali kami menyimpulkan untuk belok ke kiri dikarenakan penanda jalur berupa rafia banyak terpasang di beberapa pohon. Ternyata jalur yang kami lewati tersebut terhenti pada sebuah tanah lapang yang memuat 2-3 tenda yang menyadarkan kami bahwa ini sebuah tempat Camp (berkemah). Tidak berfikir panjang kami kemudian memutuskan untuk turun kembali di percabangan jalur. Setelah sampai di percabangan jalur kami teringat bahwa sebelum tanah lapang belok kiri terdapat jalur dan beberapa penanda rafia yang sama dengan sebelumnya.
Karena penasaran kami memutuskan kembali naik dan mengecek jalur tersebut dengan tetap berhati-hati dengan catatan harus tetap berjalan selama masih ada penanda jalur, jika tanda-tanda jalur sudah tidak ada dan sudah mentok kami bersepakat untuk kembali turun. Benar saja tidak lama berselang terdapat beberapa pohon tumbang yang menutupi jalur, sehingga hal tersebut membuat kami sedikit ragu, akan tetapi keraguan tersebut terpatahkan akibat setelah pohon tumbang tersebut terdapat beberapa penanda jalur yang sama dengan sebelumnya. Sehingga kemudian kami memutuskan untuk melewati pohon tumbang tersebut. Setelah semua anggota tim kami berhasil melewati pohon tumbang tersebut, tidak lama kemudian kami dipanggil oleh seorang bapak-bapak yang memberitahukan bahwa jalur yang kami lewati salah. Menurut penuturan bapak tersebut jalur itu merupakan jalur penjaring / pencari burung yang memang berhenti di situ, bisa saja di lewati tapi sangat berbahaya dikarenakan jalur benar-benar belum terbuka ditambah dengan bapak tersebut menuturkan bahwa daerah tersebut merupakan habitat babi hutan.
Kemudian bapak tersebut mengajak kami turun kembali dan mengantarkan kami pada jalur yang seharusnya kami lewati. Karena bapak tersebut mempunyai tujuan yang sama ke Puncak Bekel kami memutuskan untuk berjalan bersama-sama. Setelah kurang lebih sekitar 33 menit ditambah dengan beberapa kali salah jalur sampailah kami di Candi Pura, yang sebenarnya hanya membutuhkan waktu sekitar kurang lebih 10 menit saja dari Candi Putri. Setelah itu kami berkenalan dan bapak yang mengantarkan kami ke Candi Pura tersebut, bapak tersebut bernama Pak Didik. Beliau setiap satu minggu sekali selalu menyempatkan naik ke Gunung Penanggungan Via Jolotundo untuk merawat dan mengontrol jalur. Tak lama kemudian rombongan dari anak Pak Didik dan kawan-kawannya datang, lantas kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak Bekel. Karena jalur menuju Puncak Bekel ini jalurnya belum terlalu jelas, maka kami beserta Pak Didik memutuskan untuk membuka jalur agar lebih jelas, sembari memberikan penanda juga. Perjalanan kami menuju Puncak Bekel ini ditemani oleh kabut yang cukup tebal dengan jarak pandang hanya sekitar 5 meter saja. Setelah berjalan sekitar kurang lebih 50 menit sembari merapikan dan memperjelas penanda jalur sampailah kami di Candi Naga.
Situs Candi Pura |
Di Candi Naga ini kami sangat mengapresiasi Pak Didik beserta rombongannya anaknya yang membantu membersihkan dan merawat Candi yang merupakan situs bersejarah. Lantas akhirnya kamudian kami ikut serta untuk kerja bhakti membersihkan Candi Naga tersebut. Setelah selesai rombongan anak Pak Didik serta kawan-kawannya memutuskan untuk turun kembali ke Candi Bayi dikarenakan mereka ngecamp di sana. Kemudian kami berserta Pak Didik melanjutkan perjalanan menuju Puncak Bekel. Akan tetapi rencananya Pak Didik akan turun melewati jalur Candi Kama untuk mengontrol jalur yang kabarnya telah terjadi longsor. Sedangkan kami rencananya setelah sampai Puncak Bekel akan turun kembali melalui jalur yang sama. Setelah berjalan sekitar kurang lebih 25 menit sampailah kami di Puncak Gunung Bekel dengan ditemani hujan badai.
Situs Candi Naga |
Setelah bersantai sejenak di Puncak dan mendokumentasikannya dengan beberapa foto, kami memutuskan untuk segera turun dikarenakan cuaca kurang bersahabat dengan jarak pandang sekitar 5 meter saja. Dari Puncak Bekel kami berpamitan dengan Pak Didik dikarenakan jalur yang akan kami lewati berbeda. Akan tetapi dalam perjalanan turun kami merasa Pak Didik tetap mengawasi kami agar tetap pada jalur yang tepat dikarenakan cuaca sedang tidak bersahabat, jika sedikit saja lengah akan keluar pada jalur semestinya. Benar saja karena tidak tega dan khawatir akhirnya Pak Didik memutuskan untuk mengawal kami sampai pada jalur yang benar-benar jelas. Setelah dirasa jalur sudah aman dan jelas Pak Didik lantas kembali naik untuk turun melewati jalur satunya, sedangkan kami kembali ke arah Candi Naga. Tidak lama berselang sampailah kami di Candi Naga, di sini kami memutuskan untuk membuat bivak sederhana dengan memanfaatkan jas hutan dan peralatan yang tersedia untuk makan siang dan beristirahat sejenak.
Puncak Gunung Bekel Bersama Pak Didik |
Pada selang waktu istirahat kami, kami terkaget dikarenakan ternyata Pak Didik kembali turun ke Candi Naga dikarenakan menurut penuturan beliau jalur Candi Kama sedang dalam keadaan badai yang parah sehingga beliau memutuskan untuk kembali ke Candi Naga. Kemudian Pak Didik pamit untuk turun terlebih dahulu sambil mencari jamur. Tak lama kemudian kami menyusul beberapa saat setelah itu. Karena sebelumnya kami berjanji untuk mampir di Camp dekat Candi Bayi dengan anak Pak Didik, maka kami lantas bergegas untuk turun dengan ditemani hujan yang sedikit deras. Singkat cerita sampailah kami di Candi Bayi dengan bertemu rombongan anak Pak Didik beserta Pak Didik yang harap-harap cemas menunggu kehadiran kami. Pak Didik menuturkan sangat lega sekali dikarenakan semua bisa berkumpul dan beramah tamah dengan tidak ada suatu halangan yang berarti. Setelah puas bersantai di Camp Candi Bayi kami memutuskan untuk turun ke Jolotundo bersama-sama.
Foto Bersama di Situs ditemani Kabut |
Rincian Detail Pendakian*
Pos Jolotundo – Candi Bayi : 40 menit
Candi Bayi – Candi Putri : 22 menit
Candi Putri – Candi Pura : 33 menit
Candi Pura – Candi Naga : 50 menit
Candi Naga – Puncak Gunung Bekel : 25 menit
*NB : Waktu tempuh kondisional dan situasional tergantung kondisi fisik masing-masing pendaki dan kondisi cuaca
Mungkin itu saja sedikit cerita yang bisa kami bagikan semoga bisa menginformasi serta menginspirasi kawan-kawan semua.
#SalamLestari
Menarik. Jangan lupa kunjungi blog saya juga :D dheviaanggara.blogspot.com
BalasHapusSiap, terimakasih banyak sudah mampir, salam!
Hapussangat bermanfaat
BalasHapusinsyaallah awal november berangkat
Siap, terimakasih banyak sudah mampir, salam!
Hapus